Resensi ini telah dimuat Ruangdiskusi.com pada 30 Januari 2019
Sumber gambar: alfinrizalisme.wordpress.com
Membaca prolog Alfin Rizal berjudul Aku Ingin Lahir dan Mati Seperti Hujan, mengingatkan saya dengan potongan puisinya George Douglas Johnson yang pernah dikutip Dimas Indiana Senja dalam Kulminasi; Kumpulan Cerpen Penulis Emerging Ubud Writers and Readers Festival 2016, /aku ingin mati ketika kau mencintaiku/ ah, siapa yang menghendaki hidup/ tatkala cinta tak bisa lagi dipertanyakan/ dan tak ada lagi yang bisa dipersembahkan? Meskipun Alfin tidak setajam Johnson saat memuisikan gejolak hatinya.
Membaca ulang penafsiran Muafiqul Khalid bertajuk Kaleidoskop Cinta dalam Asmaragama yang dimuat Kibul.in (11/08) saya sepakat, "Sejatinya cinta adalah pembebas dari perasaan takut, tapi dalam puisi (Alfin Rizal) ini, ia justru ketakutan dengan cinta itu sendiri". Apa yang sejatinya menjadi ketakutan Alfin hingga ia kembali menuliskan ketakutan atau lebih tepatnya kekhawatiran yang 'baru' ke dalam sehujan puisinya?
Daruz Armedian, cerpenis kondang yang kesehariannya (bisa jadi) tidak pernah lepas dari kehidupan Alfin Rizal paska lahirnya Asmaragama dan satu atap di Komunitas Kutub berhasil membuat Perkara Menuliskan Hujan. Meskipun besar kemungkinan dalam keseharian mereka penuh canda tawa, kali ini Daruz serius membahas hujan.Â
Tak tanggung-tanggung, mengawali pengantar, ia mengintip kutipan Jorge Luis Borges---membuktikan tulisannya digarap dengan kesadaran penuh. Di bagian kelima, Daruz mengungkapkan maksud buku puisi ini ditulis; menghapus kesedihan yang melekat pada orang lain. Dua kali, Daruz menuliskan si penulis berusaha ingin "menyambuhkan luka seseorang" pada alenia yang sama. Tentu bagi pembaca, ini semacam kata kunci.
Membaca bagian pertama perihal Mengunjungi Hujan, saya menemukan judul Aku Tak Akan Berhenti yang persis dengan lirik lagu Wali Band, Doaku Untukmu Sayang. Berharap menjadi satu tujuan dengan lirik lagu ini, Alfin mengakhiri puisinya dengan dua baris kalimat, /aku tak akan berhenti mencintaimu walau/ tuhan begitu peduli pada luka-lukaku.Â
Satu pengharapan dengan pungkasan lirik lagu Wali, /aku tak akan berhenti/ menemani dan menyayangimu/ hingga matahari tak terbit lagi/ bahkan bila aku mati/ ku kan berdoa pada ilahi/ tuk satukan kami di surga nanti. Satu awalan yang cantik untuk membuka lembar demi lembar puisinya sambil menikmati alunan musik.
Barangkali, menjadi kekasih seorang penyair di hadapan puisi yang dibaca bukan sesuatu yang melanggar undang-undang dan agama (memijam istilah Daruz). Maka dengan hati-hati membuka tiap bagian puisi Alfin hukumnya 'sunah'. Meskipun /aku air mata yang bergenang kesepian/ memantulkan warna malam usai hujan.Â
Tidak melulu puisi Alfin menggambarkan harapan pengorbanan meskipun doa adalah salah satu 'organ'-nya, melainkan kesepian yang berkali-lipat membuat pembaca merasakan hal yang sama.Â
Seperti ketika Aroma Hujan mengundang gerimis yang fasih menciptakan rasa, /aroma itu/ irama hujan/ yang pecah dan mampir/ mengepung kedua kuping/ lekas kulepas rinduku/ sebelum surut gerimis/ memilih kita dari isak/ tangis cinta yang/ gagal kita buat. Gagal kita buat.
24 puisi di bagian satu, 26 di bagian dua, dan 2 puisi setengah jadi yang meminta pembaca untuk menuliskan puisi tentang hujan digarap dengan apik. Alfin menyebut Hujan Kita pada bagian ketiga, sebagai media komunikasi dengan pembaca -tetapi justru terlihat betul bahwa Alfin membutuhkan jawaban dari tanda tanya tentang semesta- termasuk perihal hujan. Ia menerima segala jawaban sekalipun baginya adalah realita yang menyesakkan.
Membaca puisi-puisi Alfin Rizal, ada ketakutan yang tiba-tiba muncul untuk menghakimi dirinya yang cengeng menghadapi cinta, /cara terbaik merindukanu:/ ialah berusaha memilikimu/ lalu ziarah ke segala arah/ selein ke tempat kau berumah/ lalu, di bait yang lain, /cepat atau lambat/ kita akan jadi kenangan.Â
Serupa membaca M. Dihlyz Yasir ketika menulis di kolom Berdikaribook (2/11) bertajuk Puisi dalam Pandangan Remaja Masa Kini seolah ingin menegaskan bahwa puisi seringkali diidentikan dengan kecengengan dan kebaperan---terlebih di kalangan kaum Adam. Â
Apakah Alfin sedang menciptakan hujan yang menetes di sepasang matanya? Meskipun cengeng tidak melulu diidentikkan dengan air mata, namun ia memuisikan Bulu Mata; ketika air mata menyentuhnya, /apakah bulu matamu/ sudah basah malam ini?/ punyaku basah, hujan/ tiba-tiba turun/ deras sekali. Di akhir, ia menulis, /segalaya jadi museum pertanyaan/ sejak kau menolak jadi segala jawaban/ untukku. Apakah ini menjadi simbol 'penolakan' dari seseorang?
Hampir mengamini Kaleidoskop Cinta-nya Muafiqul Khalid, kerapuhan yang diistilahkan keputusasaan dalam puisi Asmaragama masih terasa kental. Mengapa harus tercipta keputusasaan? Simak puisi utuh Jika Ada yang Ketiga: /jika ada yang ketiga/ di antara kita berdua/ ia bernama kesunyian/ saat bersama kesunyian/ aku selalu bicara tentang kamu/ meski saat bersamamu/ aku sering melupakan kesunyian/ jika ada yang ketiga di antara kita berdua/ ia berupa dunia yang segalanya telah tiada.Â
Apakah ini jawaban dari kesimpulan Daruz perihal 'mengobati luka seseorang?' Mengapa tidak seteguh ketika menulis, /tetapi tuhan, diam-diam/ ternyata menjelma angin/ menjaga hangatku/ selama inginku. Jika begitu, seharusnya ia optimis untuk menjadi keras kepala sebagaimana Rerimbun Embun, /dan sebab rindu-rindu ini sulit kuredam/ padamu, doaku tak pernah padam. Termasuk puisinya yang akrab dalam ingatan, /cintaku keras kepala/ sukar ditukar dan ditakar kadarnya.
Sungguh, membaca puisi-puisi penyair berlatar belakang seni rupa yang pandai menyusun diksi juga lihai membuat remuk-redam hati pembacanya, seolah membuat saya tidak ingin peduli lagi dengan istilah rumit: hidrologi, kondensasi, presipitasi, evaporasi, transpirasi, sampai rindu siklonal.Â
Mengapa Alfin repot-repot membuat istilah neko-neko---sedangkan intinya satu; /sekering itu/ semua tanpamu. Barangkali penulis kebingungan mengungkapkan rindunya yang bertubi-tubi atau perasaan yang membuatnya meracau tanpa henti, meskipun ia paham, /hingga kini---sampai puisi/ kembali membicarakan kita/ lewat kata-kata yang/ kian asing dan usang. Adakah yang lebih membahagian dari terwujudnya Kauku ?, /kau air/ dan akulah basahnya/ kau api/ dan akulah suhunya/ kau aku/ dan cintalah puncaknya.
Alfin tidak sedang cengeng, ia mencoba menerima apa yang didapatkannya. Ia berlapang dada membiarkan pembaca menuliskan pula keinginannya, /jika kau menjadi hujan, siapa yang paling rindu kau basahi? Alfin mengawali dengan jawaban dirinya, /udara/ jika aku menjadi hujan/ dialah yang paling rindu kubasahi/ rindu tanpa batas, tanpa balas.Â
Penyair yang lahir di bulan hujan ini memiliki banyak pertanyaan dalam puisi-puisinya perihal kepastian. Tetapi setegar hatinya yang tidak perlu merindu jawaban---bagi Alfin, merdeka ialah ketika mencintai tanpa memaksa dicintai.
Mengunjungi Hujan yang Berteduh di Matamu, saya sepakat bahwa Alfin Rizal ingin menyembuhkan luka seseorang. Namun bagi pembacanya yang mengambil peran sebagai 'seseorang' yang dimaksud, saya gagal sembuh---justru sebaliknya, menemukan 'kekasihnya' yang jatuh-bangun menghadapi situasi hatinya sendiri.Â
Walaupun sehujan puisi yang ia ciptakan ini membuktikan bahwa dirinya tidak pernah membenci hujan. Seumpama kesedihan, ia mengambil sisi teduh saat hujan turun. Sama halnya ketika ia menutup bait-bait aksaranya dengan pesan, "Jangan salahkan hujan saat ia turun dan membuatmu pilu sebab rindu. Hujan sudah menanggung rindu yang lebih berat dan banyaknya melebihi rintiknya sendiri."
Sebagai pembaca, saya ingin menjadi hujan yang rindu membasahi lautan. Sebab, ada atau tidak adanya hujan, lautan telah menjelma muara paling basah. Barangkali itulah yang orang-orang ketahui, meskipun di hadapan penyair, lautan kering dan cintalah muara paling basah setelah kau dan aku bersatu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H