24 puisi di bagian satu, 26 di bagian dua, dan 2 puisi setengah jadi yang meminta pembaca untuk menuliskan puisi tentang hujan digarap dengan apik. Alfin menyebut Hujan Kita pada bagian ketiga, sebagai media komunikasi dengan pembaca -tetapi justru terlihat betul bahwa Alfin membutuhkan jawaban dari tanda tanya tentang semesta- termasuk perihal hujan. Ia menerima segala jawaban sekalipun baginya adalah realita yang menyesakkan.
Membaca puisi-puisi Alfin Rizal, ada ketakutan yang tiba-tiba muncul untuk menghakimi dirinya yang cengeng menghadapi cinta, /cara terbaik merindukanu:/ ialah berusaha memilikimu/ lalu ziarah ke segala arah/ selein ke tempat kau berumah/ lalu, di bait yang lain, /cepat atau lambat/ kita akan jadi kenangan.Â
Serupa membaca M. Dihlyz Yasir ketika menulis di kolom Berdikaribook (2/11) bertajuk Puisi dalam Pandangan Remaja Masa Kini seolah ingin menegaskan bahwa puisi seringkali diidentikan dengan kecengengan dan kebaperan---terlebih di kalangan kaum Adam. Â
Apakah Alfin sedang menciptakan hujan yang menetes di sepasang matanya? Meskipun cengeng tidak melulu diidentikkan dengan air mata, namun ia memuisikan Bulu Mata; ketika air mata menyentuhnya, /apakah bulu matamu/ sudah basah malam ini?/ punyaku basah, hujan/ tiba-tiba turun/ deras sekali. Di akhir, ia menulis, /segalaya jadi museum pertanyaan/ sejak kau menolak jadi segala jawaban/ untukku. Apakah ini menjadi simbol 'penolakan' dari seseorang?
Hampir mengamini Kaleidoskop Cinta-nya Muafiqul Khalid, kerapuhan yang diistilahkan keputusasaan dalam puisi Asmaragama masih terasa kental. Mengapa harus tercipta keputusasaan? Simak puisi utuh Jika Ada yang Ketiga: /jika ada yang ketiga/ di antara kita berdua/ ia bernama kesunyian/ saat bersama kesunyian/ aku selalu bicara tentang kamu/ meski saat bersamamu/ aku sering melupakan kesunyian/ jika ada yang ketiga di antara kita berdua/ ia berupa dunia yang segalanya telah tiada.Â
Apakah ini jawaban dari kesimpulan Daruz perihal 'mengobati luka seseorang?' Mengapa tidak seteguh ketika menulis, /tetapi tuhan, diam-diam/ ternyata menjelma angin/ menjaga hangatku/ selama inginku. Jika begitu, seharusnya ia optimis untuk menjadi keras kepala sebagaimana Rerimbun Embun, /dan sebab rindu-rindu ini sulit kuredam/ padamu, doaku tak pernah padam. Termasuk puisinya yang akrab dalam ingatan, /cintaku keras kepala/ sukar ditukar dan ditakar kadarnya.
Sungguh, membaca puisi-puisi penyair berlatar belakang seni rupa yang pandai menyusun diksi juga lihai membuat remuk-redam hati pembacanya, seolah membuat saya tidak ingin peduli lagi dengan istilah rumit: hidrologi, kondensasi, presipitasi, evaporasi, transpirasi, sampai rindu siklonal.Â
Mengapa Alfin repot-repot membuat istilah neko-neko---sedangkan intinya satu; /sekering itu/ semua tanpamu. Barangkali penulis kebingungan mengungkapkan rindunya yang bertubi-tubi atau perasaan yang membuatnya meracau tanpa henti, meskipun ia paham, /hingga kini---sampai puisi/ kembali membicarakan kita/ lewat kata-kata yang/ kian asing dan usang. Adakah yang lebih membahagian dari terwujudnya Kauku ?, /kau air/ dan akulah basahnya/ kau api/ dan akulah suhunya/ kau aku/ dan cintalah puncaknya.
Alfin tidak sedang cengeng, ia mencoba menerima apa yang didapatkannya. Ia berlapang dada membiarkan pembaca menuliskan pula keinginannya, /jika kau menjadi hujan, siapa yang paling rindu kau basahi? Alfin mengawali dengan jawaban dirinya, /udara/ jika aku menjadi hujan/ dialah yang paling rindu kubasahi/ rindu tanpa batas, tanpa balas.Â
Penyair yang lahir di bulan hujan ini memiliki banyak pertanyaan dalam puisi-puisinya perihal kepastian. Tetapi setegar hatinya yang tidak perlu merindu jawaban---bagi Alfin, merdeka ialah ketika mencintai tanpa memaksa dicintai.
Mengunjungi Hujan yang Berteduh di Matamu, saya sepakat bahwa Alfin Rizal ingin menyembuhkan luka seseorang. Namun bagi pembacanya yang mengambil peran sebagai 'seseorang' yang dimaksud, saya gagal sembuh---justru sebaliknya, menemukan 'kekasihnya' yang jatuh-bangun menghadapi situasi hatinya sendiri.Â