"Apa yang dapat kamu simpulkan dari teks yang kamu baca tadi?"
"Engga tahu, bu."Â
Begitulah selalu respons peserta didik setelah membaca sebuah teks, disertai dengan gelengan kepala. Sebagai seorang guru bahasa Indonesia, malu rasanya kalau saya menyerah. Di sekolah, persoalan literasi membaca dan menulis selalu diserahkan kepada guru bahasa Indonesia. Apapun yang berkaitan dengan bacaan, tulis-menulis, guru bahasa Indonesialah yang paling tahu!
Mari sejenak kita tinggalkan persoalan peringkat negara kita tercinta dalam urusan literasi dan nilai PISA. Terlalu luas jika kita bicara tentang seluruh peserta didik dari Sabang sampai Merauke dengan kondisi lingkungan yang sudah pasti berbeda-beda. Saya akan bicara dalam lingkup sekolah tempat saya mengajar. Sekolah SMP Negeri 19 Kota Tangerang Selatan yang letaknya di tengah-tengah kota, dihimpit perumahan elite dan hiruk pikuk kota besar. Bagaimana literasi membacanya? Jawabannya sama seperti jawaban peserta didik saya (ketika ditanya apa isi buku yang dibacanya), gelengan kepala! Mungkin sedikit ditambah hembusan nafas yang cukup panjang dari saya.
Saya lalu berpikir, cara apa yang bisa saya lakukan untuk meningkatkan keterampilan membaca peserta didik saya? Paling tidak mereka paham makna kata yang mereka baca. Percayalah, meskipun sehari-hari mereka berbicara bahasa Indonesia, tetapi masih banyak kosakata yang mereka tidak tahu maknanya. Saya berpikir keras untuk menjawab pertanyaan saya sendiri, sekeras saya berpikir untuk menjawab pertanyaan teman-teman saya ketika saya mengambil kuliah jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
"Mau ngapain jadi guru bahasa Indonesia? Kan sehari-hari udah ngomong bahasa Indonesia?"
PenemuanÂ
Mungkin dulu saya tidak mampu menjawab pertanyaan teman-teman saya untuk apa menjadi guru bahasa Indonesia? tapi saya harus siap menjawab dengan pasti dan mantap ketika peserta didik saya menanyakan untuk apa belajar bahasa Indonesia? bahasa Indonesia, sama dengan bahasa-bahasa lain di dunia, masuk ke segala aspek kehidupan, termasuk profesi seseorang. Jadi dokter, jadi guru, polisi, pemain sinetron, selama masih di Indonesia, mereka kan akan bicara dengan bahasa Indonesia.
Sambil terus berpikir, saya teringat beragam tingkah peserta didik saya yang beragam. Ada yang tidak bisa diam, banyak bicara, ada juga yang pemalu. Ah, kelak mereka akan menjadi orang-orang hebat. Mereka akan dapat pekerjaan yang halal dan baik. Ya, saya selalu mendoakan pekerjaan yang halal dan baik untuk mereka, sebab sekarang makin marak kasus-kasus dari profesi yang keren keren, tapi belum tentu halal dan baik. Kasus yang dengan cepat dipecahkan oleh netizen, tapi lambat dipecahkan penegak hukum. Netizen memang detektif luar biasa.
Detektif? Bagaimana kalau detektif?
 Tiba-tiba saja profesi itu terngiang-ngiang dipikiran saya. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, jarang sekali menyinggung profesi detektif, paling sering profesi penulis dan penyair.
Ini akan jadi sesuatu yang luar biasa menyenangkan. Batin saya optimis.
MerencanakanÂ
Ketika mendapatkan ide tersebut, saya mulai memikirkan akan jadi dalam bentuk apakah Si Detektif ini? Jadi model, metode, teknik, atau strategi pembelajaran? Kalau dilihat dari nama-namanya saja sudah serius, sedangkan dunia anak-anak tidak serius-serius amat. Mereka suka sekali bermain. Bermain saja tidak cukup. Maka bermain sambil belajar pasti seru. Menyenangkan sekaligus menambah pengetahuan. Saya putuskan Si Detektif ini akan muncul dalam bentuk permainan. Namanya Permainan Detektif Bahasa. Â
Sebagai guru, saya  berperan untuk mendesain pembelajaran inovatif dalam praktik baik ini. Saya mulai membuat perangkat pembelajaran, memilih model pembelajaran apa yang tepat untuk dikombinasikan dalam praktik baik ini. Akhirnya saya memilih model pembelajaran Problem Based Learning yang akan saya kombinasikan dengan Permainan Detektif Bahasa. Materi pelajaran yang saya ambil untuk praktik baik ini adalah materi teks prosedur.
TantanganÂ
Praktik baik ini tentu saja memiliki tantangan. Beberapa tantangan tersebut antara lain, perlu persiapan lebih dalam pelaksanannya, seperti menyiapkan media pembelajaran power point dengan tema detektif, dan menyiapkan LKPD berupa papan kata dan teka-teki silang. Tantangan lain yang saya hadapi yaitu dari segi manajemen waktu. Karena sifatnya berupa permainan yang saya sisipkan dalam pembelajaran, maka saya harus mengatur waktu sebaik mungkin agar tidak terlena dan sintaks pembelajaran tetap berjalan secara sistematis. Semua tantangan itu tidak begitu berat dibandingkan rasa optimis saya dalam melaksanakan praktik baik ini.
AksiÂ
Tibalah di hari yang paling saya tunggu-tunggu. Hari pelaksanaan praktik baik ini. Seperti biasa, kegiatan pembelajaran dimulai dengan menyapa peserta didik, berdoa, dan mengecek kehadiran. Rasanya cukup gugup ketika masuk bagian apersepsi. Saya mulai memberikan pertanyaan,
"Apakah kalian tahu profesi detektif?"
Beberapa peserta didik hening, ada yang mengangguk juga. Saya ingat sorot mata mereka yang penasaran. Meskipun saya tahu mereka lelah setelah kegiatan pramuka hari itu. Lalu salah satu peserta didik menjawab.
"Detektif itu mata-mata kan bu?"
Saya tersenyum. Ternyata baru sebatas itu pengetahuan mereka tentang profesi detektif. Lalu saya menjelaskan tentang profesi detektif kepada mereka serta peran bahasa Indonesia dalam profesi tersebut. Saya kemudian menampilkan media pembelajaran dan sedikit bernarasi dengan menampilkan tokoh fiktif ciptaan saya bernama Detektif O.
Di kegiatan inti pembelajaran, saya mulai memberikan mereka sebuah permasalahan. Permasalahannya, mereka harus mencari sebuah kotak rahasia berisi teka teki yang harus mereka pecahkan. Kotak itu sebelumnya sudah saya sembunyikan di beberapa sudut kelas. Masing-masing perwakilan dari kelompok yang saya beri nama tim investigasi, mencari kotak tersebut. Kelaspun mulai riuh. Perwakilan tim investigasi mulai mencari-cari ke beberapa sudut kelas untuk menemukan kotak rahasia, lalu teman satu timnya saling memberitahu dan menyemangati. Ketika mereka berhasil menemukan kotak tersebut, terlihat raut wajah puas dan sorak kegirangan khas anak-anak.
Setelah mereka berhasil menemukan kotak rahasia, mereka mulai membuka isi di dalam kotak itu satu persatu. Ada infografik, papan kata, dan teka-teki silang. Saya mulai menjelaskan cara kerja penyelidikan mereka. Mereka harus membaca infografik dengan teliti, setelah itu mereka mencatat kata yang tidak mereka tahu maknanya di papan kata. Ketika mereka sudah menemukan kata-kata tersebut, mereka boleh mencari maknanya di KBBI daring dengan bantuan gawai yang mereka bawa. Jika penyelidikan satu sudah selesai, mereka bisa lanjut ke penyelidikan dua, yaitu mengisi teka-teki silang. Di akhir kegiatan pembelajaran, mereka mempresentasikan papan kata yang sudah mereka isi.
DampakÂ
Dampak dari praktik baik ini di antaranya nilai peserta didik meningkat, pemahaman peserta didik terhadap kosakata baru juga meningkat, dan tentunya antusiasme saat pembelajaran begitu terasa. Dalam praktik baik ini, saya tidak melulu mengukurnya dengan peningkatan nilai. Saya sadar, ketika saya hanya berekspektasi tinggi pada nilai peserta didik, dan ekspektasi itu tidak berhasil dicapai, saya akan kecewa. Lebih dari sekedar nilai, saya melihat peserta didik saya mengetahui banyak kosakata baru. Ketika saya bertanya,
"Apa makna dari kata imun?" lalu mereka menjawab,
"Kekebalan tubuh."Â
Itu saja rasanya sudah membuat bahagia, sebab sebelumnya mereka tidak tahu makna kata imun, konsumsi, dan lain sebagainya. Â Dampak lain yang juga menurut saya begitu penting adalah antusiasme mereka saat belajar. Sorot mata penuh semangat, rasa penasaran, dan keceriaan, begitu terlihat di wajah mereka. Beberapa guru mungkin senang bila peserta didik mendengarkan dengan penuh ketenangan, tapi bagi saya sorot mata penuh antusias saat belajar adalah bahasa cinta paling dalam dari murid untuk gurunya.
Dengan rasa antusias, manusia buka hanya sekedar jasad.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H