Mohon tunggu...
Dodi Muthofar Hadi
Dodi Muthofar Hadi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Manjadda Wajadda

"Satu peluru hanya bisa menembus satu kepala, tapi satu tulisan bisa menembus puluhan bahkan ribuan kepala"

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Suasana Romantis di Padepokan Al-Furqon

13 Oktober 2015   12:27 Diperbarui: 21 Oktober 2015   12:20 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita sebelumnya

Cerita selanjutnya

Dodi bertanya-tanya dalam hati, sambil berlari kecil di atas treadmill, kenapa bisa wati mereferensikan untuk bertemu Hadi? Pertanyaan itu coba dia ingin tanyakan nanti saat ketemu Hadi. Setelah selesai 10 menit di treadmill, kemudian dia press body dengan barbel yang dia mampu. Setelah hampir 1 jam berpindah-pindah alat dan merasakan lemak ditubuhnya sudah cukup terbakar, dia mulai keluar dari gym itu. Sementara wati dah dari tadi sudah tidak ada di situ lagi, mungkin dia sudah menemukan nasabah barunya dengan pembiayaan baru untuk nasabahnya itu.

Hari ini , sehari setelah pertemuannya dengan Wati rencana akan menelpon Hadi, dan mencari keberadaan Agus. Setelah selesai menelepon Sheih Hadi, dan berhasil mendapatkan alamat Agus mereka mendapatkan kesepakatan untuk ketemu pada Hari Sabtu pagi sampai siang di Padepokan Al Furqon di Tangerang.

Hari demi hari Dodi isi dengan fitnes, selesai dengan aktifitas ngegym hari Jum’at itu, Dodi biasanya mandi dan nongkrong di depan laptop atau nonton TV. Tapi berhubung hari Jum’at, dia bergegas mandi dan pergi menunaikan Ibadah Jum’at di masjid dekat rumahnya Tebet Jakarta Pusat. Habis sholat Jum’at dia sempatkan untuk berziarah kemakam, kemudian makan siang dan nonton TV. Apesnya kalau dah nonton TV kadang TVnya yang nonton dia tidur. Apalagi setelah fitnes, badannya capek dengan suasana siang yang panas, sehabis sholat Jum’at, maka dia akan terbangun saat adzan ashar memanggilnya untuk sholat ‘Ashar.

Dari satu kelas seangkatan dia di kampusnya Dodi mungkin satu-satunya yang masih sendiri dan masih belum menikah. Mereka adalah mahasiswa angkatan 1997 namun tahun lulusnya berbeda-beda. Hadi termasuk yang tercepat lulusnya, dengan predikat “ a summa cum laude graduate” , di tahun ke-4 Wati yang lulus, kemudian di tahun ke 5 Agus lulus, dan di tahun ke 6 Dodi baru lulus.

Dodi masih merasa gak enak sudah merepotkan Wati. Kenapa harus bilang Wati bahwa dirinya tidak jadi ambil job itu. Tapi nasi sudah jadi bubur, setelah sholat Ashar dia bergegas ke Tangerang. Dia berencana menemui Sheih Hadi sekalain sholat malam di sana. Sebab di sana setiap malam Sabtu dan Minggu di 1/3 malam terakhir selalu melaksanakan sholat malam berjamaah. Surat yang dibacapun panjang-panjang, maklumlah disanakan Padepokan Tahfidz Quran. Pada setiap rakaat pertama dibaca 1 juz dari Al Quran kemudian diulangi ½ juz nya di rakaat ke dua. Dodi meski belum terbiasa sholat dengan bacaan Al Quran yang panjang seperti itu, namun dia merasa suka mengikutinya. Sebagai sebuah romantisme tersendiri saat berada di lingkungan para calon hafidz, dan mengikuti sholat malam bersama mereka.

Kesempatan itu juga akan dia gunakan untuk bertanya sama Sheih Hadi, bagaimana bisa Wati yang notabene bukan aktifis SKI dan berjilbab juga setelah lulus kuliah bisa mereferensikan sheih Hadi kepada dirinya. Dodi memang gak banyak tahu bahwa mereka berdua sebenarnya bukan teman akrab, hanya Wati adala teman akrab istrinya Hadi. Mereka bertiga Dodi, Wati dan Hadi satu kelas hanya dalam semester2 awal. Maklum mata kuliah setelah semester atas MK yang mereka ambil sudah beda, Dodi jatah SKSnya per semester hanya separuhnya saja dan yang lainnya selalu full.

Meski demikian Sheih Hadi bukanlah orang yang sombong, bahkan dia tetap rendah hati dengan pencapaiannya sebagai aktifis dakwah dan juga peraih predikat summa cum laude. Dodi suka dengan kesederhanaan Sheih Hadi itu meskipun dia sembunyikan. Dia cenderung bersikap sama ke semua teman-temannya, tidak ada yang dianggapnya spesial. Secantik apapun, sepintar apapun, atau sebaliknya sekalipun bagi Dodi adalah sama teman gue, kata orang Jakarta.

Suasana pedesaan yang asri, banyak ladang persawahan dikanan kiri jalan menambah pemandangan menjadi tak berujung hingga bertemunya langit dan bumi. Di ujung persawahan yang nan luas itu seolah-olah langit yang berwarna biru itu ditarik oleh bumi dan bersatu dalam titik pandang yang sama. Namun di saat melihat ke arah utara jalan maka akan terlihat ada gunung menjulang seolah-lah menyentuh awan yang putih di langit.

Pada hari Jum'at sore itu seorang laki-laki berperawakan sedang sedang bersepeda ke arah timur menuju sebuah padepokan yang berada di ujung jalan. Tepat di ujung jalan itu berdiri sebuah gapura yang bertuliskan PADEPOKAN AL FURQON. Ponpes itu berdiri tepat di pertigaan ujung jalan, sehingga jalan itu setelah berujung di gapura ponpes, membelah menjadi dua arah yakni ke kanan (selatan) dan ke kiri (utara).

Lelaki-laki itu tampak masih muda, kira-kira berusia 35 sampai 37 tahun yang jelas belum 40 tahun. Dia memakai jubah hitam tebal, rapi menjulang sampai pertengahan betisnya dengan setelan celana hitam di atas mata kakinya. Dengan terompah sebuah sandal jepit dari bahan kulit dengan jahitan disekelilingnya berwarna hitam pula.

Lelaki itu berhenti tepat di depan gapura padepokan, kemudian dia menuntun sepedanya masuk ke dalam melalui gapura itu. Satu meter dari gapura di bagian dalam ada jembatan yang seolah memisahkan antara gapura dengan halaman padepokan. Yang dibawah jembatan ada kolam ikan yang airnya jernih mengililingi padepokan dengan pengaturan sirkulasi air yang rapi dan jernih airnya.

Terlihat banyak anak-anak sedang bermain bola di halaman dan salah satu dari mereka menghampiri lelaki tadi. Lelaki itu bernama Syeih Hadi, dia adalah pemimpin padepokan tersebut.

Syeih Hadi : assalamu’alaikum

Santri : wa’alaikumussalam warohmatullah wabarokatuh

Syeih Hadi : “biar saya saja yang masukkan sepeda ini Imam, lanjutkan saja kamu bermain bola”

Imam : “jangan gitu sheih, saya kan juga ingin bisa naik sepeda onthel. Jadi karena belum bisa saat ini biarkan saya menuntunnya dulu, ntar kalau dah besar biar bisa naik sepeda besar ini”

Imam adalah salah satu santri di padepokan itu, umurnya baru 4 tahun namun sudah memiliki hafalan 1 juz Al Quran. Imam suka naik sepeda, namun belum bisa naik sepada milik syeih yang merupakan sepeda onthel gazelle. Meskipun sepeda tua namun terawat dengan baik, warna catnya coklat tua mengkilat , dengan asesoris yang lengkap termasuk juga kantong kulit kecil berwarna hijau lumut terletak dibawah jok sepeda yang berisi kunci sepeda.

Syeih Hadi menyerahkan sepedanya kepada Imam dan menemaninya berjalan memotong luas halaman sehingga anak-anak yang sedang bermain bola berhenti sejenak. Luas halaman padepokan itu kurang lebih 10 x 5 meter. Dari ujung utara sampai selatan memanjang 10 meter dan lebarnya 5 meter. Di bagian luar sebelum pagar ada kolam selebar 1,5 meter mengelilingi luasnya padepokan luasnya 15 x 30 meter. Dengan pintu masuk ada 4 dengan gapura besar 1. Padepokan itu berisi halaman, rumah sheih, Masjid, asrama santri, perpustakaan, serta gedung pendidikan yang bertingkat 3 dengan segala fasilitasnya termasuk komputer, laboratorium, dan area untuk hafalan.

Setelah sampai di garasi, sheih Hadi kali ini tidak membiarkan Imam langsung pamitan.

Sheih Hadi : “Imam sekarang ikut Sheih minum teh, jangan menolak karena sheih ingin minum teh bareng kamu”

Imam : 86 sheih

Sheih Hadi sambil geleng-geleng kepada dan mengusap kepala Imam kemudian berjalan bersama menuju ke teras rumah sheih. Seperti biasa istri sheih sudah menyambut di depan pintu.

Sheih : “Umi tolong bawahan 2 cangkir teh ke teras, ni aku ajak Imam untuk minum teh”

Umi : “Silahkan duduk dulu Imam, umi ambilkan tehnya”

Tidak berselang lama muncul dari rumah seorang gadis kecil yang kurang lebih berumur 2 tahun menghampiri sheih dan duduk dipangkuan abinya itu.

Sheih Hadi : “Imam, sheih ingin tanya, bagaimana kabar abi kamu?”

Imam : “Abi sehat, kemarin telpon Imam, besok Sabtu akan berkunjung ke Padepokan bersama Umi insyaallah”

Imam : “Abi bilang ada reunian tempatnya di padepokan ini”

Umi yang mendengar percakapan mereka, setelah meletakkan 2 cangkir ke meja kemudian duduk disamping sheih Hadi.

Umi : “Ayo diminum”

Sheih Hadi : “Abi kamu dulu satu kampus sama saya, tapi beda fakultas. Abi kamu di fakultas Teknik, dia yang membuatkan gambar untuk padepokan ini sesuai dengan yang Sheih inginkan. Sedangkan Umi kamu itu satu kelas sama Sheih di Fakultas MIPA.”

Imam : “Abi dan Umi belum pernah cerita”

Sheih Hadi : “Abi dan Umi kamu belum kasih tahu tapi sheih yang sekarang kasih tahu”

Sheih Hadi : “Kakak kamu Aisyah sekarang kelas berapa?”

Imam : “Kelas 5”

Sheih Hadi : “Apa Aisyah juga sekolah sambil belajar di pondok pesantren seperti kamu?”

Imam : “Iya, sheih.”

Sheih Hadi : “dihabiskan tehnya kemudian kamu siap-siap bentar lagi sholat maghrib akan tiba”

Imam : “terimakasih sheih, assalamu’alaikum”

Sheih dan Umi: "wa’alaikumsalam wr. wb."

 

bersambung..

 

NB. Cerita ini hanya fiktif belaka, apabila ada kesamaan nama, tempat, atau yang lainnya itu semata hanya kebetulan saja.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun