Lebih jauh, dalam "Kriminalisasi Anak, Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan" (Hadi Suseno, 2010), pakar lembaga kemasyarakatan inernasional asal Kanada, Jeff Kristian, mengatakan bahwa konsep peradilan restoratif ini sesungguhnya telah dipraktikan oleh masyarakat banyak sejak ribuan tahun lalu, jauh sebelum adanya hukum negara yang formalitas.Â
Sedangakn dalam konteks Indonesia, penerapannya sudah lama diterapkan dalam praktik hukum adat seperti pada masyarakat adat Toraja, Minang Kabau, Bali dan yang lainnya.
Dalam perkembangan selanjurnya banyak negara di belahan dunia yang juga menerapkan konsep ini, lebih lanjut PBB dalam kongres ke 5 di Jenewa pada 1975 mulai memberikan perhatian terhadap konsep Restorative Justice untuk penyelesaian alternatif terhadap tindak pidana dalam bentuk ganti rugi. Meski konsep ini telah lama lahir namun dalam praktik tata peradilan di Indonesia bisa dikatakan masih baru.  Selain itu Restorative Justice di dalam negeri masih sebatas ideal pada level konsep belum menyentuh pada efektivitas penerapannya
Meski di Indonesia penerapan konsep Restorative Justice terbilang baru dalam sistem peradilan hukumnya namun dipercaya instrumen ini penting untuk dilakukan karena meniti beratkan pada restorsi yang dapat diartikan sebagai pemulihan guna mencapai keadilan (justice) yang lebih bersifat win-win solution dibandingkan dengan pemidanaan sebagai jalan terakhir.Â
Selain itu terdapat juga alasan teknis yaitu untuk menghindari lapas yang overkapasitas serta dengan pertimbangan asas cepat, sederhana dan biaya ringan dalam penyelesaian perkara. Di Indonesia sendiri ketentuan Restoratif Justice ini dapat dijumpai di antaranya dalam Pasal 205, 310 364, 373, 378, 384, 407 dan 483 KUHP, Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUH.Â
Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, dan Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Penangan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Restorative Justice ini berdasarkan regulasi-regulasi di atas tidak bisa diterapkan untuk semua pidana yang dalam praktiknya membutuhkan syarat-syarat tertentu seperti di antaranya tindak pidana pertama kali, tuntutan penjara kurang dari 5 tahun, tidak berpotensi memecah belah bangsa, kerugian kurang dari 2,5 juta dan kondisi-kondisi lainnya yang pada dasarnya hanya diperuntukan untuk tindak pidana kategori ringan dan tidak memiliki dampak luas dan berat.Â
Sehingga sangat salah jika kemudian tindak pidana berat seperti pemerkosaan atau tindak pidana lain yang tidak dapat ditolerir diselesaikan dengan cara ini.
Restorative Justice dalam kasus pidana ringan harus diakui sebagai terobosan dalam sistem peradilan jauh lebih baik karena memiliki manfaat yang lebih meniti beratkan pada upaya pemulihan kondisi korban yang ditanggung oleh pelaku serta tentunya demi kepentingan yang lebih besar.Â
Namun dalam konteks Indonesia, penerapan restorative justice ini memang perlu kehati-hatian dan pengawasan yang cukup ketat agar tidak dijadikan celah bagi mereka yang berusaha menghindari jerat hukum. Tanpa peningkatan pengawasan yang mencukupi, tidak menutup kemungkinan kasus tindak pidana berat seperti pemerkosaan yang terjadi lingkungan Kementerian Koperaso dan UKM 2019 berakhir dengan damai yang secara jelas telah menciderai rasa keadilan masyarakat luas.
Dalam hal ini, efektivitas dari pengguanaan keadilan restorsif sangat tergantung pada semua elemen penegak hukum, dari aparat kepolisian, kejaksaan hingga Mahkamah Agung (MA) sebagai pihak yang berwenang dalam penerapan Restorative Justice dengan berpegang teguh pada asas proposionalitas.