hukum di Indonesia sejauh ini harus diakui masih muram dan suram yang sayangnya kondisi tersebut tak jarang ditampilkan secara vulgar sebagai tontonan masyarakat luas.
Wajah penegakanMisalnya saja pada awal 2022 publik dikejutkan oleh pemberitaan terkait permasalahan ketidakadilan hukum yang menimpa perempuan berinisial ND, seorang pegawai honorer di kantor pemerintahan tepatnya di Kementerian Koperasi dan UKM yang mengalami tindakan pelecehan dan kekerasan seksual oleh empat rekan kerjanya sendiri.
Dalam tragedi pemerkosaan pada tanggal 6 Desember 2019 ini, ND diperkosa saat dalam rangkaian kegiatan luar kota kementerian Koperasi & UKM oleh rekan kerjanya yang terdiri dari 3 PNS dan satu pelaku pegawai honorer.
Yang lebih miris lagi proses hukum yang sempat dilakukan dalam kasus pemerkosaaan ini jauh dari rasa keadilan sebelum akhirnya Mahfud MD selaku Menkopolhukam mengintruksikan untuk mencabut SP3 dan melanjutkan kembali proses hukum kasusnya.
Bagaimana tidak ND selaku korban justru mengalami serangkaian intimidasi dari para pelaku dan dipersulit saat berjuang mendapatkan keadilan, alih-alih para pelaku dihukum atas tindak pidana sesuai dengan pasal 285 KUHP tentang pemerkosaan yang berbunyi "Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun".
Anehnya justru kasus ini ditutup dan dianggap selesai secara non-ligitasi dengan mengawinkan salah satu pelaku dengan korban sebagai wujud dari implementasi restorative justice dengan dalih laporannya telah dicabut.
Restorative Justice dalam penegakan hukum di Indonesia pada kenyataannya banyak digunakan oleh pihak tertentu yang menjadikannya celah untuk terhindar dari jerat hukum yang biasanya terdapat ketimpangan relasi kuasa seperti kasus kekerasan seksual di atas.
Dalam rapat gabungan di kantor Menkopolhukam pada senin 21/11/2022 menghasilkan keputusan batalnya SP3 kasus pemerkosaan di lingkungan Kementerian Koperasi dan UKM, Menko Polhukam Mahfud MD menjelaskan bahwa banyak kasus pidana yang penyelesaiannya dimintakan secara restorative jsutice yang secara aturan tidak sesuai dengan peruntukannya.
Pada dasarnya latar belakangan lahir dan penerapan restorative justice dalam penyelesaian permasalahan hukum adalah agar hukum tidak selalu terlihat kasus dan keras yang penyelesaiannya selalu bersifat mekanis tanpa mempertimbangkan aspek lain yang lebih humanis dan memelihara kelestarian sebagaimana yang dijelaskan dalam buku "Hukum dan Masyarakat" (Bahrul Amal, 2017).
Konsep Restorative justice bukan hal baru dalam dunia penegakan hukum. Sebagai alternatif penyelesaian perkara hukum, dalam era hukum modern kelahirannya bisa dilacak pada tahun 1970-an pada masyarakat kanada dalam progam victim offender mediation, program penyelesaian di luar peradilan tradisional ini pada awal diterapkan khusus bagi pelaku kriminal anak.