Mohon tunggu...
Mutaqin
Mutaqin Mohon Tunggu... Penulis - Guru dan seorang freelancer

seorang content writer untuk tema yang meliputi pendidikan, sosial, kebijakan publik, hukum serta yang lainnya

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penerapan Restorative Justice yang Masih Jauh dari Rasa Keadilan

11 Juli 2024   20:18 Diperbarui: 11 Juli 2024   20:33 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi kekerasan seksual (sumber:Freepik)

Wajah penegakan hukum di Indonesia sejauh ini harus diakui masih muram dan suram yang sayangnya kondisi tersebut tak jarang ditampilkan secara vulgar sebagai tontonan masyarakat luas. 

Misalnya saja pada awal 2022 publik dikejutkan oleh pemberitaan terkait permasalahan ketidakadilan hukum yang menimpa perempuan berinisial ND, seorang pegawai honorer di kantor pemerintahan tepatnya di Kementerian Koperasi dan UKM yang mengalami tindakan pelecehan dan kekerasan seksual oleh empat rekan kerjanya sendiri. 

Dalam tragedi pemerkosaan pada tanggal 6 Desember 2019 ini, ND diperkosa saat dalam rangkaian kegiatan luar kota kementerian Koperasi & UKM oleh rekan kerjanya yang terdiri dari 3 PNS dan satu pelaku pegawai honorer.

Yang lebih miris lagi proses hukum yang sempat dilakukan dalam kasus pemerkosaaan ini jauh dari rasa keadilan sebelum akhirnya Mahfud MD selaku Menkopolhukam mengintruksikan untuk mencabut SP3 dan melanjutkan kembali proses hukum kasusnya. 


Bagaimana tidak ND selaku korban justru mengalami serangkaian intimidasi dari para pelaku dan dipersulit saat berjuang mendapatkan keadilan, alih-alih para pelaku dihukum atas tindak pidana sesuai dengan pasal 285 KUHP tentang pemerkosaan yang berbunyi "Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun".

 Anehnya justru kasus ini ditutup dan dianggap selesai secara non-ligitasi dengan mengawinkan salah satu pelaku dengan korban sebagai wujud dari implementasi restorative justice dengan dalih laporannya telah dicabut.

Restorative Justice dalam penegakan hukum di Indonesia pada kenyataannya banyak digunakan oleh pihak tertentu yang menjadikannya celah untuk terhindar dari jerat hukum yang biasanya terdapat ketimpangan relasi kuasa seperti kasus kekerasan seksual di atas. 

Dalam rapat gabungan di kantor Menkopolhukam pada senin 21/11/2022 menghasilkan keputusan batalnya SP3 kasus pemerkosaan di lingkungan Kementerian Koperasi dan UKM, Menko Polhukam Mahfud MD menjelaskan bahwa banyak kasus pidana yang penyelesaiannya dimintakan secara restorative jsutice yang secara aturan tidak sesuai dengan peruntukannya. 

Pada dasarnya latar belakangan lahir dan penerapan restorative justice dalam penyelesaian permasalahan hukum adalah agar hukum tidak selalu terlihat kasus dan keras yang penyelesaiannya selalu bersifat mekanis tanpa mempertimbangkan aspek lain yang lebih humanis dan memelihara kelestarian sebagaimana yang dijelaskan dalam buku "Hukum dan Masyarakat" (Bahrul Amal, 2017).

Konsep Restorative justice bukan hal baru dalam dunia penegakan hukum. Sebagai alternatif penyelesaian perkara hukum, dalam era hukum modern kelahirannya bisa dilacak pada tahun 1970-an pada masyarakat kanada dalam progam victim offender mediation, program penyelesaian di luar peradilan tradisional ini pada awal diterapkan khusus bagi pelaku kriminal anak. 

Lebih jauh, dalam "Kriminalisasi Anak, Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan" (Hadi Suseno, 2010), pakar lembaga kemasyarakatan inernasional asal Kanada, Jeff Kristian, mengatakan bahwa konsep peradilan restoratif ini sesungguhnya telah dipraktikan oleh masyarakat banyak sejak ribuan tahun lalu, jauh sebelum adanya hukum negara yang formalitas. 

Sedangakn dalam konteks Indonesia, penerapannya sudah lama diterapkan dalam praktik hukum adat seperti pada masyarakat adat Toraja, Minang Kabau, Bali dan yang lainnya.

Dalam perkembangan selanjurnya banyak negara di belahan dunia yang juga menerapkan konsep ini, lebih lanjut PBB dalam kongres ke 5 di Jenewa pada 1975 mulai memberikan perhatian terhadap konsep Restorative Justice untuk penyelesaian alternatif terhadap tindak pidana dalam bentuk ganti rugi. Meski konsep ini telah lama lahir namun dalam praktik tata peradilan di Indonesia bisa dikatakan masih baru.  Selain itu Restorative Justice di dalam negeri masih sebatas ideal pada level konsep belum menyentuh pada efektivitas penerapannya

Meski di Indonesia penerapan konsep Restorative Justice terbilang baru dalam sistem peradilan hukumnya namun dipercaya instrumen ini penting untuk dilakukan karena meniti beratkan pada restorsi yang dapat diartikan sebagai pemulihan guna mencapai keadilan (justice) yang lebih bersifat win-win solution dibandingkan dengan pemidanaan sebagai jalan terakhir. 

Selain itu terdapat juga alasan teknis yaitu untuk menghindari lapas yang overkapasitas serta dengan pertimbangan asas cepat, sederhana dan biaya ringan dalam penyelesaian perkara. Di Indonesia sendiri ketentuan Restoratif Justice ini dapat dijumpai di antaranya dalam Pasal 205, 310 364, 373, 378, 384, 407 dan 483 KUHP, Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUH. 

Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, dan Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Penangan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Restorative Justice ini berdasarkan regulasi-regulasi di atas tidak bisa diterapkan untuk semua pidana yang dalam praktiknya membutuhkan syarat-syarat tertentu seperti di antaranya tindak pidana pertama kali, tuntutan penjara kurang dari 5 tahun, tidak berpotensi memecah belah bangsa, kerugian kurang dari 2,5 juta dan kondisi-kondisi lainnya yang pada dasarnya hanya diperuntukan untuk tindak pidana kategori ringan dan tidak memiliki dampak luas dan berat. 

Sehingga sangat salah jika kemudian tindak pidana berat seperti pemerkosaan atau tindak pidana lain yang tidak dapat ditolerir diselesaikan dengan cara ini.

Restorative Justice dalam kasus pidana ringan harus diakui sebagai terobosan dalam sistem peradilan jauh lebih baik karena memiliki manfaat yang lebih meniti beratkan pada upaya pemulihan kondisi korban yang ditanggung oleh pelaku serta tentunya demi kepentingan yang lebih besar. 

Namun dalam konteks Indonesia, penerapan restorative justice ini memang perlu kehati-hatian dan pengawasan yang cukup ketat agar tidak dijadikan celah bagi mereka yang berusaha menghindari jerat hukum. Tanpa peningkatan pengawasan yang mencukupi, tidak menutup kemungkinan kasus tindak pidana berat seperti pemerkosaan yang terjadi lingkungan Kementerian Koperaso dan UKM 2019 berakhir dengan damai yang secara jelas telah menciderai rasa keadilan masyarakat luas.

Dalam hal ini, efektivitas dari pengguanaan keadilan restorsif sangat tergantung pada semua elemen penegak hukum, dari aparat kepolisian, kejaksaan hingga Mahkamah Agung (MA) sebagai pihak yang berwenang dalam penerapan Restorative Justice dengan berpegang teguh pada asas proposionalitas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun