Dalam unggahan saya sebelumya (ini) yang mengulas puisi kompasianer ayah tuah, tumben banget ada seorang Kompasianer yang ingin juga Puisi karyanya untuk saya komentari.Â
Kompasianer yang ingin puisi karyanya untuk dikomentari oleh saya itu memiliki nama Reynal Prasetya.
Seingat saya, saya dan dia sudah saling follow akun Kompasiana sejak dua atau tiga tahunan yang lalu. Tapi memang tidak pernah bertemu secara langsung.
Sejauh yang saya tahu, Reynal Prasetya adalah seorang manusia muda, mungkin 25 tahunan, yang memiliki banyak bakat. Dia jago seni bela diri pencak silat, penyiar radio, bisa jadi pengisi suara iklan atau Voice Over dan tentu saja ahli dalam tulis menulis.
Biasanya, tulisan yang dia hasilkan adalah tulisan-tulisan non fiksi seputar isu-isu terkini atau tentang pengembangan diri.Â
Tapi akhir-akhir ini dia mulai menulis fiksi baik dalam bentuk sajak maupun cerita pendek. Sepertinya dia mau melebarkan sayap dan mengasah cakar kepenulisannya supaya makin tangguh.
Baiklah, supaya dia makin bersemangat dalam menulis karya fiksi. Saya yang sebenarnya bukan kritikus sastra dan hanya hobi membaca saja, akan menuruti permintaannya dengan mengomentari salah satu sajaknya di bawah ini yang berjudul Janardana.
Puisi Janardana menggambarkan seorang laki-laki yang sedang mengungkapkan perasaannya kepada kekasihnya. Tergambar bahwa hubungan cinta antara keduanya sedang tidak dalam baik-baik saja.Â
Si laki-laki memohon-mohon kepada kekasihnya untuk terus melanjutkan dan tetap mempertahankan hubungan cinta mereka.Â
Tetapi sang kekasih ingin mengakhirinya karena masih ragu dengan masa depan jika terus bersamanya. Entah ragu karena apa, kemapanankah, ketampanankah atau faktor yang lainnya.
Saya sempat agak mengernyitkan dahi ketika membaca puisi tersebut. Ada banyak kata-kata asing yang tidak saya ketahui artinya.Â
Ada Janardana, indurasmi, efemeral, perennial, rimpuh, analaa, petrikor, hidu, redum, sporadis dan lainnya.
Beberapa kata kata tersebut belum ada di KBBI sehingga saya kesulitan untuk mencari tahu artinya.Â
Dalam keseharianpun saya jarang bahkan tidak pernah menemukan orang Indonesia memakai beberapa kata tersebut. Alhasil saya hanya menduga-duga maknanya berdasarkan konteksnya.
Setelah saya mencari di internet, barulah saya tahu bahwa kebanyakan kata-kata asing tersebut merupakan kata-kata yang berasal dari bahasa sansekerta dan serapan bahasa inggris.
Misalnya, Janardana ternyata berarti menggoda, Indurasmi berarti rembulan, efemeral artinya sementara, perennial artinya selamanya, anala artinya api dan seterusnya.
Dari cara si lelaki menggunakan kosa kata bahasa indonesia bercampur dengan sansekerta dan bahasa inggris untuk mengungkapkan perasaannya itu membuat kepala saya menduga bahwa si lelaki adalah seorang warga Indonesia yang yang memiliki darah keturunan yang berasal dari keluarga daerah Asia selatan dan ada juga sedikit darah dari daerah eropa.
Atau bisa jadi si lelaki dalam puisi tersebut adalah seorang mahasiswa ilmu sejarah yang sedang meneliti hubungan budaya antara indonesia dengan daerah Asia selatan sampai kosa kata bahasa sansekerta yang kerap ditemuinya mempengaruhinya dalam bertutur kata.
Tapi apapun itu, keberadaan kata-kata yang masih asing dan jarang ditemukan dalam dunia literasi Indonesia tersebut menjadikan puisi ini unik dan memiliki daya tarik.
Keberanian Reynal Prasetya dalam menyusun puisi menggunakan kata-kata tersebut patut diberikan acungan jempol.Â
Puisi yang dia tulis ini menunjukkan bahwa dia memiliki daya kreatifitas yang tinggi mengingat untuk menyusun dan menyertakan banyak kata-kata asing namun tetap bisa dinikmati pembaca itu suatu yang tidak mudah.
Namun Reynal harus ingat untuk tidak terlalu banyak menjejalkan kata-kata baru/segar yang memiliki aura indah. Kalau terlalu banyak, kesan indahnya akan kurang dirasakan oleh pembaca karena pembaca juga akan menangkap kesan pemaksaan penggunaan kosa kata itu.
Apalagi dalam puisi itu, kata-kata baru yang digunakan sifatnya hanya pengganti kata bahasa Indonesia yang belum overuse dan tak kalah indah.Â
Misalnya dalam larik:
Kau memang janardana, sorot matamu terang bagai indurasmi.
Saya rasa sama indah/tak lebih indah jika dituliskan dengan sederhana seperti ini:
Kau memang menggoda, sorot matamu terang bagai rembulan.
Atau:
... ketika kau berkata, "Cinta ini efemeral" katamu, padahal yang ku ingin adalah cinta yang perennial.
Saya rasa sama indah dan lebih efisien bila dituliskan dengan sederhana:
Cinta ini sementara, katamu
Padahal kuingin cinta kita selamanya
Dan satu lagi... Saya bosan membaca puisi yang menyisipkan kata Renjana di dalamnya. Beberapa tahun lalu kata Renjana mungkin masih terdengar indah, namun saking sudah banyaknya penulis puisi yang memaksa menyisipkan kata itu dalam puisi mereka menjadikan kata itu tak lagi indah.
Tapi pada akhirnya semua itu dikembalikan kepada si penulis puisi. Jika puisi yang ditulis hanya untuk sarana curhat belaka, mereka bebas menuliskannya dengan cara apapun.
Dan jika ingin puisi yang ditulis bukanlah sekedar curhat melainkan sebagai sarana curhat yang bisa memberi dampak kepada para pembaca, maka sebaiknya untuk lebih pintar dalam memilah-milih serta menyusun kata.
Tentang bagaimana cara agar pintar memilah dan menyusun kata-kata menjadi puisi, entahlah. Saya hanya komentator dan sayapun masih bodoh ketika menulis puisi/sajak.
Begitulah kira-kira komentar saya untuk Puisi Janardana karya Reynal Prasetya. Kurang lebihnya mohon maaf dan terimakasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H