Mohon tunggu...
Musfiq Fadhil
Musfiq Fadhil Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Abdul Hamma

Lulusan S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat - Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cinunuk (2)

2 November 2021   03:43 Diperbarui: 2 November 2021   03:56 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sebelumnya:  Cinunuk (1)

Daud memang selalu begitu. Tiap kali kami dihadapkan pada kemunculan hal-hal yang janggal atau menyeramkan saat naik gunung, otaknya bisa sangat gesit menangkap bahan candaan yang kemudian segera ia lemparkan kepadaku.

Dan strateginya ini menurutku cukup efektif dalam menghalau rasa takut yang berusaha merasuk ke dalam pikiran. Aku yang tadi sempat merinding oleh suara yang serupa cekikik kakek malah sekarang merasa dibikin geli dengan candaan burung kakek tua-nya.

Toh, selepas kami tertawa, suara aneh tadi langsung lenyap tak terdengar lagi. Kini suara rimba kembali bening seperti sediakala.

"Gue heran dah, dengan keahlian lu  bikin jokes yang segar tak terduga, harusnya dulu lu bisa jadi juara satu" Kataku sembari menggaruk leher yang mendadak gatal. "Kok bisa-bisanya lu close-mic di posisi enam?".

"Udah. Jan bahas itu." Katanya datar.

"Kenapa?"

Daud tidak menjawab. Kemudian ia beranjak menuju dekat semak-semak. Ia Jongkok. Menundukkan kepalanya. Tangannya mengorek-korek tanah yang di atasnya berserakan puntung rokok yang tempo hari ia buang. Barangkali masih ada sisa tembakau di antara serakan puntung-puntung rokok itu.  

"Enggak kenapa-kenapa. Pas itu performa gue enggak maksimal ketimbang komika lainnya. Wajar aja kalau gue yang dipulangkan." Jawabnya yang masih sibuk mengorek dan meraba-raba tanah di sana.

"Enggak, ah! Perform terakhir lu tuh dulu pecah banget. Gua masih inget waktu itu satu studio penuh dengan gemuruh tawa penonton pas lu bawain materi jadi petani yang ngeluh pupuk mahal, cari kuli susah, harga jual rendah, bayar utang susah dan makin pecah waktu lu akhiri perform lu dengan materi yang nyentil sikap keplinplanan kebijakan pemerintah."

Sejenak aku menarik nafas, "Semua juri juga bilang lu kompor meleduk waktu itu. 

Aneh. Kok malah lu yang pulang. Harusnya kan si Didit, yang modal gimik muka dijelek-jelekin doang itu tuh yang lebih pantas pulang.

Dan lu perhatiin enggak, saking kerennya, rekaman video pas lu perform sampai sekarang masih viral beredar dan jadi bahasan di facebook meski udah empat tahun berlalu! Masa cuma dapat juara enam?"

"Aha!" Pekiknya dari sana, tanda ia telah menemukan puntung rokok seolah tak menyimak ocehan panjang lebarku. Kemudian dia lemah melangkah balik ke arahku yang sedang duduk menghangat di depan perapian.

Kuperhatikan lamat-lamat penampilan dan bentuk wajahnya.  Lusuh, dekil, hitam, belepotan. Dia persis sekali dengan pemuda gembel yang kutemui sedang mengais sampah di emperan Pasar Wage pada waktu kami belanja perbekalan sebelum mendaki gunung Cinunuk ini. "Ah.. perbekalan... Seandainya saja masih tersisa".

"Ya begitulah!" Katanya, mengagetkanku yang hampir melamun. Dia kembali duduk di sebelahku. Mengambil sebatang ranting dari perapian.

Ujung ranting yang membara ia lekatkan dengan puntung pendek yang sudah ia cekik di antara kedua bibir biru kisut dan pecah-pecahnya. Puntung yang amat pendek itu menyala. Lalu dihisapnya puntung itu pelan-pelan.

Dihembuskannya asap itu sambil terpejam penuh kenikmatan. Kulihat Asapnya terbang perlahan, beradu dengan asap perapian dan hilang diembus angin gunung yang selalu dingin.

Aku tegun melongo membiarkannya menyelesaikan rokok yang mungkin hanya tinggal 7 hisapan lembut lagi sebelum baranya menyentuh gabus filter itu. Aku sabar menunggu sampai dia berinisiatif untuk menjelaskan kelanjutan dari frasa "Ya begitulah!".

Namun kutunggui lama tapi ia tak kunjung melanjutkan. Maka ketika aku pikir kadar nikotin yang dia hisap sudah mencukupi untuk meredakan kecemasan otaknya, aku mulai berani bertanya "Ya begitulah gimana?"

Setelah menyelesaikan satu hisapan terakhir dan mengepulkan asapnya ke belantara, akhirnya dia mulai bersuara.

"Begitulah. Lu kan tau gue sering nyempilin sindiran ke pemerintah di tiap materi yang gue bawain. Memang bagus. Banyak yang suka, banyak yang dukung, bikin rating acara naik. Tapi kalau aku tetep lanjut tampil di TV, bisa bahaya".

"Bahaya apaan?"

"Awal-awal manggung di TV sih aman aja. Tapi setelah ramai banyak yang nonton, banyak yang dukung, dan boleh dibilang  pas itu ngritik pemerintah jadi semacam tren sampai komika lain dan rakyat biasa pun ikut niru bikin materi komedi sindiran ke kebijakan pemerintah, sejak itulah muncul pihak yang enggak suka. Pihak ini lalu mulai berusaha menghentikan tren itu."

"Mestilah. Pasti ada pihak yang enggak suka. Wajar itu mah. Terus bahayanya di mana?"

"Masalahnya, pihak yang enggak suka itu kayaknya punya kekuatan besar. Dengan kekuatan yang dimiliki, mereka ngancam supaya gue harus diberhentiin tampil di TV. Sampe bikin pemilik TV dan produser acara gentar.

Gue diminta tampil jelek supaya nanti enggak janggal pas juri mau nge-eliminasi gue. Tapi gue enggak mau. Gue kukuh berusaha tampil maksimal dengan materi sindiran seperti sebelumnya.

Dan para juri pun sebenarnya juga diminta buat nge-eliminasi gue sejak awal, tapi mereka juga enggak mau karena gue tampil bagus terus. Maka dari itulah gue masih bertahan hingga posisi enam."

"Lhah, kenapa lu akhirnya dieliminasi juga, padahal lu kan tampil bagus? Aku dan penonton pun merasa aneh dan sempat ramai memprotes keputusan kontroversial para juri waktu itu."

"Mungkin karena tingkat ancaman oleh pihak yang enggak suka itu udah mencapai tingkat yang membahayakan juri dan orang-orang TV. Alhasil demi keamanan dan keberlanjutan acara, mau enggak mau gue terpaksa dieliminasi"

"Eh, bentar. Lu lagi ngelantur, ya? Omongan lu kayak orang lagi mabok."

"Ya. Anggap aja begitu. Gue lagi capek, lapar dan dehidrasi. Mungkin omonganku tadi cuma halusinasi."

Jelas dia sedang berhalusinasi. Aku yakin. Sebab sudah empat malam kami dalam kecemasan karena tak kunjung ketemu jalur turun gunung. Sudah sejak kemarin kami hanya makan daun-daun dan minum sisa-sisa embun.

Plus barusan aku minum air kencing. Apalagi dia sudah makan habis tiga ekor pacet. pastilah efek lapar haus ditambah makan pacet itu bikin otaknya semplak sampai bicara ngawur seperti tadi.

Tapi seru juga omongannya. Aku yang penasaran sampai sejauh mana halusinasi yang sedang dia alami pun memutuskan untuk meladeni kengawurannya itu. Barangkali ada keseruan lagi yang akan  ia ungkapkan.

"Emang selama ini lu pernah diancam?"

"Sering."

"Oleh?"

"Ya sama pihak yang enggak suka itu lah!"

"Siapa?"

"Tahu ah!"

"Kek apa ancaman mereka?"

"Mulai dari ancaman verbal sampai fisik dah pernah. Misalnya, Pas gue ngeroasting salah satu pejabat yang selama 2 tahun kerjaannya cuma jadi pajangan, enggak ngapa-ngapain.

Abis acara tayang, handphone gue full dengan panggilan nomor asing yang hujat, marah-marah enggak jelas, sampai ada yang ngancam mau ngebunuh gue."

"Ah masa!"

"Gue juga pernah pas naik motor dijegal sama orang-orang enggak dikenal. Tiba-tiba nodongin pistol ke jidat gue sambil bilang 'jangan banyak omong kau di TV!' Gitu."

"Terus lu jadi ditembak, enggak?"

"Kalau pas itu gue ditembak, ya gue udah mati dari dulu lah, dodol! Mereka cuma ngancam. Begitu liat gue angkat tangan sambil gemetaran, mereka kabur."

"Ah, enggak percaya!"

"Serah!"

"Jadi ancaman-ancaman itu yang bikin lu enggak pernah muncul di TV lagi bagai ditelan bumi? Habis dieliminasi, lu itu ngumpet mulu di gunung-gunung. Kayak buronan, aja. Gak kasian apa sama penggemar yang cariin dan kangen lu open mic lagi?"

"Kalau cuma gue yang diancam atau bahkan beneran dibunuh sih, gue rela. Tapi masalahnya, keluarga gue juga kena batunya.

Beberapa kali Ibu gue diteror lewat telepon dan rumah ibu gue tinggal sering dilempari barang ameh mulai dari tahi kambing sampai paku karatan.

Gue takut Ibu dan saudara lainnya kenapa-kenapa kalau tetap gue terusin. Jadi mending ngumpet aja biar aman."

"Wah, ternyata lu penakut, ya? Cemen amat. Kirain seorang aktivis jalur lawak kek lu gak punya rasa takut sama apapun"

"Ha-ha-ha. Enggak usah sok ngecemenin gue dah, lu! Sama hantu aja masih takut, lu!"

"Eh! emang lu benaran enggak takut sama hantu, Ud?

"Enggak"

"Lu percaya hantu itu ada enggak, sih?"

"Percaya."

(Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun