Mohon tunggu...
Musfiq Fadhil
Musfiq Fadhil Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Abdul Hamma

Lulusan S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat - Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cinunuk (2)

2 November 2021   03:43 Diperbarui: 2 November 2021   03:56 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Aneh. Kok malah lu yang pulang. Harusnya kan si Didit, yang modal gimik muka dijelek-jelekin doang itu tuh yang lebih pantas pulang.

Dan lu perhatiin enggak, saking kerennya, rekaman video pas lu perform sampai sekarang masih viral beredar dan jadi bahasan di facebook meski udah empat tahun berlalu! Masa cuma dapat juara enam?"

"Aha!" Pekiknya dari sana, tanda ia telah menemukan puntung rokok seolah tak menyimak ocehan panjang lebarku. Kemudian dia lemah melangkah balik ke arahku yang sedang duduk menghangat di depan perapian.

Kuperhatikan lamat-lamat penampilan dan bentuk wajahnya.  Lusuh, dekil, hitam, belepotan. Dia persis sekali dengan pemuda gembel yang kutemui sedang mengais sampah di emperan Pasar Wage pada waktu kami belanja perbekalan sebelum mendaki gunung Cinunuk ini. "Ah.. perbekalan... Seandainya saja masih tersisa".

"Ya begitulah!" Katanya, mengagetkanku yang hampir melamun. Dia kembali duduk di sebelahku. Mengambil sebatang ranting dari perapian.

Ujung ranting yang membara ia lekatkan dengan puntung pendek yang sudah ia cekik di antara kedua bibir biru kisut dan pecah-pecahnya. Puntung yang amat pendek itu menyala. Lalu dihisapnya puntung itu pelan-pelan.

Dihembuskannya asap itu sambil terpejam penuh kenikmatan. Kulihat Asapnya terbang perlahan, beradu dengan asap perapian dan hilang diembus angin gunung yang selalu dingin.

Aku tegun melongo membiarkannya menyelesaikan rokok yang mungkin hanya tinggal 7 hisapan lembut lagi sebelum baranya menyentuh gabus filter itu. Aku sabar menunggu sampai dia berinisiatif untuk menjelaskan kelanjutan dari frasa "Ya begitulah!".

Namun kutunggui lama tapi ia tak kunjung melanjutkan. Maka ketika aku pikir kadar nikotin yang dia hisap sudah mencukupi untuk meredakan kecemasan otaknya, aku mulai berani bertanya "Ya begitulah gimana?"

Setelah menyelesaikan satu hisapan terakhir dan mengepulkan asapnya ke belantara, akhirnya dia mulai bersuara.

"Begitulah. Lu kan tau gue sering nyempilin sindiran ke pemerintah di tiap materi yang gue bawain. Memang bagus. Banyak yang suka, banyak yang dukung, bikin rating acara naik. Tapi kalau aku tetep lanjut tampil di TV, bisa bahaya".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun