"Bahaya apaan?"
"Awal-awal manggung di TV sih aman aja. Tapi setelah ramai banyak yang nonton, banyak yang dukung, dan boleh dibilang  pas itu ngritik pemerintah jadi semacam tren sampai komika lain dan rakyat biasa pun ikut niru bikin materi komedi sindiran ke kebijakan pemerintah, sejak itulah muncul pihak yang enggak suka. Pihak ini lalu mulai berusaha menghentikan tren itu."
"Mestilah. Pasti ada pihak yang enggak suka. Wajar itu mah. Terus bahayanya di mana?"
"Masalahnya, pihak yang enggak suka itu kayaknya punya kekuatan besar. Dengan kekuatan yang dimiliki, mereka ngancam supaya gue harus diberhentiin tampil di TV. Sampe bikin pemilik TV dan produser acara gentar.
Gue diminta tampil jelek supaya nanti enggak janggal pas juri mau nge-eliminasi gue. Tapi gue enggak mau. Gue kukuh berusaha tampil maksimal dengan materi sindiran seperti sebelumnya.
Dan para juri pun sebenarnya juga diminta buat nge-eliminasi gue sejak awal, tapi mereka juga enggak mau karena gue tampil bagus terus. Maka dari itulah gue masih bertahan hingga posisi enam."
"Lhah, kenapa lu akhirnya dieliminasi juga, padahal lu kan tampil bagus? Aku dan penonton pun merasa aneh dan sempat ramai memprotes keputusan kontroversial para juri waktu itu."
"Mungkin karena tingkat ancaman oleh pihak yang enggak suka itu udah mencapai tingkat yang membahayakan juri dan orang-orang TV. Alhasil demi keamanan dan keberlanjutan acara, mau enggak mau gue terpaksa dieliminasi"
"Eh, bentar. Lu lagi ngelantur, ya? Omongan lu kayak orang lagi mabok."
"Ya. Anggap aja begitu. Gue lagi capek, lapar dan dehidrasi. Mungkin omonganku tadi cuma halusinasi."
Jelas dia sedang berhalusinasi. Aku yakin. Sebab sudah empat malam kami dalam kecemasan karena tak kunjung ketemu jalur turun gunung. Sudah sejak kemarin kami hanya makan daun-daun dan minum sisa-sisa embun.