Mohon tunggu...
Musfiq Fadhil
Musfiq Fadhil Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Abdul Hamma

Lulusan S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat - Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Wanita Tua dan Hantu-hantu di Rumahnya

20 Oktober 2021   14:46 Diperbarui: 4 November 2021   00:45 715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wanita tua itu tiba-tiba terjaga. Tak seperti biasanya, mata tuanya menyala lebih terang dari sinar bohlam kuning yang menerangi kamar tidurnya.

Tentu ia terbangun bukan karena ada suara bising. Sebab saat itu malam begitu hening. Orang-orang kampung sudah terhanyut di atas ranjang. Tak ada ronda, pun suara roda-roda telah reda. Pokoknya, Malam senyap, tanpa suara.

Kalaupun ada suara, ialah sekadar cuirrp teratur dari seekor burung cabak, yang sedang mencari serangga di tengah kegelapan angkasa.

Atau suara cericit kecil dari tikus-tikus yang berlarian di ruang dapur. Seharusnya cuirrp atau cericit itu tak mengganggu, biasanya justru menambah lelap tidur wanita tua.

Bukan pula ia terjaga sebab merasa dingin. Embusan angin saat itu hanya mampu menyusup lewat ventilasi dan celah-celah jendela namun tak kuasa ketika menerobos lapisan tipis kain tapih yang menyelimuti tubuhnya yang ringkih.

Agaknya wanita tua terjaga disebabkan karena barusan ia mengalami sebuah mimpi. Sebab saat masih tidur tadi, bibir dan kulit pipinya yang kisut terlihat senyum-senyum sendiri. Lalu matanya mendadak terbuka, menyala terang seolah memancarkan kebahagiaan yang luarbiasa.

"Bapak, bukakan pintu! Itu Sri.... Karno.. Andri.. Sasha... Mereka pulang, Pak!". Begitu suara parau yang keluar dari mulut wanita tua sesaat setelah bangkit dari ranjang.

Wanita tua meraih tongkat kayu yang berukirkan ular kobra untuk menopang tubuhnya yang lapuk. Lalu melangkah tertatih-tatih namun terlihat sangat bersemangat. Ia berjalan menuju ruang tengah.

Ya. Pasti penyebab wanita tua tiba-tiba terbangun adalah karena ia habis bermimpi. Kemungkinan besar mimpinya sangat nyata. Sampai ia lupa kenyataan bahwa orang yang ia panggil Bapak telah meninggal delapan tahun lalu.

Juga nama-nama yang ia sebutkan tidaklah mungkin mengunjunginya tengah malam begitu. Setahu saya, Sri merupakan nama anak satu-satunya wanita tua.

Setelah diperistri oleh Karno, ia tinggal di luar Jawa (Jakarta). Dan entah mengapa, semenjak itu Sri menjadi jarang sekali menengok wanita tua. Padahal jarak tempat ia tinggal hanya sejauh enam jam perjalanan darat dari rumah wanita tua.

Entah karena Sri terlalu sibuk membantu usaha Karno. Entah usaha Karno sedang bangkrut sehingga tak punya ongkos sekadar membeli karcis bus.

Atau memang seperti anak manusia pada umumnya: setelah dewasa, berkeluarga, muncul rasa ogah mengurus orang tua yang makin rewel kelakuannya, macam kembali seperti bocah yang apa-apa harus serba disuapi.

Terakhir kali Sri menengok wanita tua kalau tidak salah, sekitar lima tahun lalu. Betapa gembiranya raut wajah wanita yang lebih tua 4 tahun dari negara indonesia itu.

Kala itu Sri pulang bersama Karno dengan membawa dua anak kembarnya, Andri dan Sasha yang masih balita. Melihat kelakuan dua cucunya yang lucu, wanita tua tak henti-henti tertawa.

Apalagi ketika kedua cucunya sembari berlari serentak memanggil dirinya, "bah utiii... bah utiii...".

Saya yang melihat jelas ekspresi wajah wanita tua kala itu sampai ikut merasakan bahagia. Sepertinya memang kenangan indah inilah yang muncul dalam mimpi yang membangunkannya tadi.

Mimpi yang hanyalah bunga tidur yang tak mempunyai arti nampaknya telah membuat wanita tua larut dalam kebahagiaan.

Ia tak sadar di rumah kecil itu ia tinggal seorang diri. Tak ada lagi Bapak. Dan sungguh, Sri tidak pulang. Tidak ada sama sekali ketukan pintu malam itu.

Angin malam mulai terasa menusuk dan saya masih memperhatikan wanita tua melangkah keluar kamar. Sampai di ruang tengah, saya heran mengapa lampu neon bundar di situ menyala sendiri tanpa ada yang menekan saklarnya.

Siapa yang menyalakan? Sumpah bukan saya! Korsleting kah? Atau jangan-jangan? Ah, nampaknya wanita tua tidak ambil pusing dan masih meneruskan langkah. Mungkin ia berpikir lampu itu menyala sendiri karena adanya kehendak dari yang maha kuasa.

Hingga sampailah langkah wanita tua di muka pintu masuk. Tangan kanannya masih erat mencengekeram tongkat berukirkan kepala kobra dan Tangan kirinya meraih gagang pintu. Memutarnya perlahan hingga daun pintu terbuka.

Seperti dugaan, keberadaan Sri, Karno maupun dua anaknya nihil. Tidak ada siapapun di balik pintu itu.

Tapi anehnya, saya perhatikan tangan wanita tua bergerak seolah ia sedang memeluk, merangkul, menepuk-nepuk punggung beberapa orang di hadapan tubuhnya.

"Sri... Karno.. Sehat, Nak?"

"Syukurlah. Ibu juga sehat, Nak".

"Ah! Cucu-cucu imutku sudah besar rupanya! Kelas berapa?"

"Empat? Wah! Bagus".

"Mbah kakung? Ada di kamar mandi. Ayo masuk dulu nanti Mbah Uti Panggilkan".

Wanita tua terdengar seperti sedang bercakap-cakap riang. Padahal sungguh, yang ada di hadapannya hanyalah bayangan hitam hasil refleksi dari tubuh bungkuknya sendiri.

Lalu terlihat ia melangkah kembali menuju ruang tengah, di sana tangannya kembali bergerak seolah mempersilakan duduk kepada kesunyian yang entah.

"Turktukkuk.. trktukuuuk", suara itu. Itu bunyi kicau burung perkutut. Tiba-tiba saja terdengar berulangkali menggema di seluruh sudut ruang serasa sangat menyayat kesunyian malam.

"Oh, itu burung punya mbah kakung, Cu". Kata wanita tua sembari jarinya menunjuk sangkar yang menggantung di sudut atas ruang tengah.

Sungguh itu sangkar kosong. Lebih tepatnya, sangkar itu hanya berisi burung perkutut yang telah lama mati. Perkutut Bapak yang sudah menjadi bangkai yang hanya tersisa beberapa helai bulu dan tulang belulang.

Kenapa bisa ada kicau perkutut malam-malam begini? Apakah bangkai perkutut bapak itu hidup kembali? Atau suara perkutut itu berasal dari rumah tetangga?

Ah rasanya mustahil. Bunyi perkutut itu terdengar jelas di ruang ini. Dan saya pun akhirnya kehabisan pikir.

"Nanti boleh kamu bawa pulang ke jakarta, Cu" Kata wanita tua dengan tersenyum entah kepada siapa ia berkata.

"Pak! Bapak! Jangan lama-lama di sana. Sini temui Sri", Wanita tua berteriak memanggil Bapak. Dan tentu saja itu tindakan sia-sia.

Tidak ada seorang pun yang menyahutinya karena memang seseorang yang ia panggil Bapak itu sudah dipanggil oleh Yang maha kuasa.

"Eh, TV? Ya, tidak ada TV, Cu. Biar Mbah ceritakan saja kisah nabi-nabi. Pasti lebih seru. Sebentar, Mbah ke belakang dulu panggil Bapak sekalian siapkan teh hangat".

Gawat! Wanita tua hendak pergi ke ruang belakang! Saya kuatir wanita tua akan bernasib sama dengan Bapak: Tengah malam terpleset di kamar mandi, lalu ditemukan mati bersimbah darah keesokan hari.

Atau jangan-jangan malah akan lebih parah, bisa saja kulit keriput wanita tua tersiram air panas saat menuangkan tremos lalu kaget, lalu terpleset, lalu roboh, lalu punggungnya tertusuk pisau yang berserak di lantai dapur itu. Lalu ia mati.

Untungnya apa yang saya kuatirkan tidak terjadi. Wanita itu berhasil kembali dari ruang belakang. Ia terseok-terseok melangkah. 

Di belakang punggungnya terlihat seperangkat alat ngeteh yang mengapung di udara. Kemudian poci dan cangkir-cangkir terbang pelan meninggalkan nampan. Perlahan peralatan itu mendarat rapi di meja. 

(Saya mulai berhenti bertanya kenapa keanehan-keanehan ini bisa terjadi.)

"Silahkan diseruput, Nak. Bapak yang bikin teh itu tadi. Pasti nikmat. Iya kan, Pak?", katanya entah kepada siapa. Sesaat kemudian wanita tua duduk di kursi goyang miliknya.

"Pada suatu hari...", Wanita tua mengawali bercerita entah kepada siapa. Suara paraunya mengalun seirama dengan goyangan kursinya.

Tak lama, ceritanya berhenti pada seperempat jalan. Ia tertegun sejenak. Kepalanya mendongak ke arah sangkar perkutut berada.

"Hehe... Anak-anak jaman sekarang tak suka dongeng, rupanya"

"Nanti, Mbah Kakung yang ambilkan perkutut itu. Tapi Cucu-cucuku yang imut, dengarkan dulu cerita sampai selesai".

"Iya, iya, perkutut, perkutut, cu...".

"Pak, ambilkan perkutut itu daripada cucu-cucu kita ini merengek melulu".

"Lho, harus mbah uti? Mbah Kakung saja yang ambilkan, ya. Pinggang Mbah uti nyeri, tidak kuat kalau memanjat kursi"

"Kalau Papih kalian saja yang mengambilkannya bagaimana?"

"Hehe, dasar anak-anak".

"Iya.. iya, sayang. Mbah uti yang ambilkan".

Usai percakapan, atau monolog? yang aneh itu, wanita tua bangkit dari kursi.

Tangannya mencengkram tongkat kayu berukir kepala kobra. Sampai di sudut ruang, ia menggeser sebuah kursi plastik agar tepat berada di bawah sangkar.

Wanita tua melepas tongkat kayu, mengangkat kaki lalu menapakkanya satu persatu di atas kursi plastik.

Ia mendongak. Tubuhnya yang bungkuk menegak, gemetar, bergerak patah-patah. Seolah tengah menahan nyeri hanya demi menggapai sangkar burung itu.

Dan apa yang saya takutkan sedari awal akhirnya terjadi juga. Meski dengan adegan yang berbeda:

Sesaat setelah ia berhasil menyentuh sangkar, keseimbangan tubuhnya mendadak buyar. Sehingga kursi plastik yang ia tapaki goyah. Brukkk.

Tubuh Wanita tua roboh. Bagian belakang kepalanya jatuh tepat menimpa ujung runcing meja jati. Keras. Sampai bikin batok kepala wanita tua jadi bolong.

Dari bolongan itu muncul darah. Ada darah yang muncrat. Dan banyak darah yang mengucur. Pelan-pelan darah itu meleleh membasahi sekujur tubuh yang roboh di lantai tengah.

"Hehe. Mbah uti tidak apa-apa. Ini perkututnya, Cu".

Tak kusangka, dalam keadaan yang saya yakin sangat menyakitkan itu, wanita tua masih sempat-sempatnya berkata dan meyodorkan sangkar yang jatuh bersama tubuhnya itu kepada entah siapa.

Saya lihat wanita tua bersimbah darah. Tapi wajahnya sumringah. Ia tidak berteriak atau pun mengaduh. 

Dibiarkannya darah itu mengalir. Dibiarkannya darah itu menganyir. Hingga menghitam dan perlahan sebagian menggumpal.

Sebenarnya saya tidak tega melihat keadaannya yang begitu mengenaskan. Ingin sekali saya pulang ke rumahku yang ada di sebelah. Lalu mengeong keras-keras agar majikan saya terbangun dan menolongnya.

Namun melihat raut wajah tuanya yang memancarkan kebahagiaan luar biasa. Akhirnya saya mengurungkan keinginan itu. Biar saja wanita tua menikmati proses kematiannya.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun