Muka keheranan Yanto tak tertolong ketika pada suatu siang yang bolong melihat Sri turun dari mobil Mersi berplat merah. Apakah itu mobil pejabat yang dipakai teman kuliahnya buat mengantar Sri, ataukah Sri sebenarnya adalah seorang anak dari pejabat tinggi. Hm.. Yanto sibuk berasumsi.
Didorong rasa penasaran itu kemudian Yanto menyapa Sri yang akan masuk ke indekos. Tak lupa ia menghirup nafasnya dalam-dalam, "ah wangi.."
"Diantar siapa itu, Mbak?"
"Oh, itu temen, Pak" Sri tersenyum tipis lalu pergi berjalan dengan anggun menuju arah kamarnya.
"Oh, berarti benar itu mobil pejabat yang diembat anaknya buat menggoda Sri. Menjijikan!" Yanto bergumam dalam hati.Â
Sepertinya ia tak rela, ia cemburu melihat Sri diantar pulang oleh seorang anak pejabat. Tapi Yanto memungkiri itu. Ia mencoba mengalihkan kecemburuan itu dengan kembali ke pos jaga lalu menonton televisi.
Hari-hari berikutnya mobil Mersi berplat merah itu semakin sering terlihat berwara-wiri di depan indekos itu. Dua hari sekali Yanto mengamati mobil itu menjemput dan mengantar Sri.Â
Begitu Sri masuk atau keluar, mobil itu langsung pergi. Kaca mobil itu juga ditutupi filem hitam yang rapat, sehingga Yanto tak pernah bisa tahu seganteng apa rupa anak pejabat itu.
"Cie... Yang lagi kasmaran sama anak pejabat cie" Yanto menggoda Sri yang saat itu berjalan anggun mau dijemput oleh mobil Mersi. Padahal rasa cemburu (atau iri?) sedang mendidih di dalam hatinya.
"Ah, Pak Yanto apaan sih" Sri berlalu dengan wajah tersipu-sipu meninggalkan bau wangi tubuhnya untuk dihirup ke dalam lubang hidung Yanto.Â
"Ah wangi..." Kata Yanto dalam hati.