Wangi. Baru pertama kali lubang hidung Yanto menghirup bau sewangi ini. Ia merasa bau yang menguar dari tubuh Sri bagaikan perpaduan antara bunga tujuh rupa, minyak bayi, dan ekstrak pepaya.Â
Wangi yang sangat unik. Membuat Yanto melamun beberapa lama. Angannya melayang membayangkan betapa ia akan bahagia sekali jika saja bau tubuh istrinya bisa sewangi perempuan muda di depannya itu.Â
"Permisi. Apakah masih ada kamar kosong, Pak?" Sri tersenyum bertanya kepada Yanto sembari merapikan jilbabnya yang agak mengsol akibat pemakaian helm.
Tapi Yanto tetap melamun. Justeru ia semakin jauh berangan-angan. Ia membayangkan kalau saja nada bicara istrinya bisa seempuk suara perempuan itu, pastilah ia akan betah berlama-lama di rumah saja.Â
Semenjak anak keduanya lahir, Yanto memang merasa istrinya berubah menjadi sosok yang menjengkelkan. Istrinya jadi semakin sering mengomel. Berisik. Ia juga kerap mengeluhkan penampilan dan bau tubuh istrinya yang tidak menarik lagi.Â
Yanto yang merupakan penjaga sekaligus petugas kebersihan di indekos milik Pak Dosen itu belakangan jarang pulang ke rumah. Selesai bersih-bersih, ia memilih tidak pulang untuk menghabiskan harinya menginap di situ.
Para penghuni indekos yang rata-rata adalah mahasiswi imut dan cantik di indekos itu selalu bisa menjadi hiburan yang asyik sebagai pengalihan atas kekesalan dan kebosanannya dengan kelakuan istri.
"Pak? Ada kamar kosong?" Sri kembali mengulangi pertanyaannya.Â
Yanto masih tertegun. Matanya begitu lekat mengagumi betapa kecantikan wajah perempuan berkulit halus itu serasi dengan riasan alami ala-ala mahasiswi. Angan Yanto makin jauh membandingkannya dengan istri yang tidak pandai merias diri. "Ah... Seandainya...."
"Pak!! Adakah kamar yang masih kosong?" Untuk ketiga kalinya Sri bertanya. Barulah Yanto tersadar dari lamunannya.
"E.. Ada. Masih ada, Mbak. Kebetulan ada satu kamar di lantai satu yang masih kosong." Yanto tergugup menjawab pertanyaan Sri.