Januari, hujan rindu sepanjang hari. Nampaknya ini memang benar. Betapa aku merasa derai-derai hujan yang turun sejak sore tadi tiada hentinya membangkitkan rasa rinduku kepada dirimu.
Beragam cara sudah kulakukan untuk mengalihkan rasa rindu ini. Aku sempat menyalakan televisi dengan volume suara penuh. Tetapi tak lama kemudian petir besar menggelegar langsung menyambar televisiku hingga gosong.
Gelegar petir itu pula yang membuatku mengurungkan niat untuk membunyikan dangdut koplo dari radio antik ini. Bukan apa, ini radio kesayangan Bapak yang setahun lalu kuselundupkan dari pantauannya. Pikirku waktu itu biar bisa jadi teman selama merantau sendirian di kota yang macet ini.
Meski radio ini sudah sepuh, dua speaker seukuran saringan gorengan di kanan kiri radio ini masih mumpuni memuntahkan suara yang jernih lagi ngebass. Begitupun antena radio ini masih bisa tegak menjulang memburu sinyal-sinyal.
Kalau sampai radio antik ini bernasib gosong, sama seperti televisi itu, bisa-bisa saat kembali pulang nanti aku bakal mendapat amukan Bapak yang sama menggelegarnya seperti petir.
Aku sudah gulang-guling di kasur, menyumpal telinga dengan bantal, hingga push up dan sit up sudah kulakukan. Namun hingga hampir dinihari, hujan ini masih bergemericik deras, membuat rasa rinduku kepadamu semakin beringas.Â
Semakin larut, sepoi dinginnya makin leluasa menyelusup di sela-sela ventilasi. Sesekali ia mengetuk dan bahkan menggedor-gedor jendela. Seolah sepoi dan deru angin itu ingin bertamu dan menceritakan kenangan-kenangan tentang dirimu.
Seolah ia ingin menyodorkan wajah ayumu, memperdengarkan suara merdumu, tawa renyahmu, memamerkan mata beningmu, dan memutar rekaman tingkahmu yang lugu nan lembut.
Keadaan ini membuatku tak tenang. Sepertinya aku mengalami imsomiya, sebuah penyakit yang disebabkan oleh serangan hujan yang membawa rindu.Â
Kata orang, imsomiya ini lebih berbahaya dari insomnia. Bukan sekadar kesulitan tidur, lebih parah lagi imsomiya dapat membuat pikiran penderitanya menjadi ngelantur tak teratur.
Ah, main hape? Hape tak bisa aku andalkan untuk mengalihkan rasa rindu kepadamu. Bukan karena takut rusak disambar petir, aku percaya kok hape jaman sekarang canggih, sudah punya fitur anti petir. Tapi dalam situasi seperti ini memainkan hape justru akan memperparah rinduku ini.
Kau tahu, mengapa hape dalam bahasa Indonesia disebut dengan telepon genggam? Salah! Jawaban yang lebih tepat mengapa hape disebut telepon genggam adalah karena hape itu memiliki kemampuan untuk menggengam tanganmu kuat-kuat.Â
Sekali kamu digenggam hape, kau akan sulit sekali melepaskan genggamannya. Artinya, bukan  kamu yang menggenggam telepon, tetapi teleponlah yang menggenggam tanganmu.Â
Bagiku hape itu seperti monster bertubuh lem alteko yang melekat eratkan aku pada segala kenangan tentang dirimu.
Pada minggu lalu, saat hujan deras turun dan rindu menderu sama persis seperti malam ini, aku sempat lengah membiarkan hape, si telepon genggam itu menggenggam erat tanganku.
Dibawanya aku menjelajahi akun media sosialmu. Aku dipaksa mengintip ratusan potret dirimu yang terpajang rapi di situ.Â
Lalu jempolku seperti diperintah untuk membuka potretmu mulai dari potret lama yang kau pajang bertahun-tahun lalu hingga yang terbaru, kubuka satu persatu.
Terpaku memandang potretmu: aku mengamati perkembangan riasan wajahmu, kamu kala remaja masih terlihat kusam menginjak dewasa kau terlihat bersinar bagai rembulan hari kelima belas.
Dari potret-potretmu aku pun bisa memperkirakan berapa sentimeter kedalaman lesung pipitmu, atau membandingkan lebih bening mana antara matamu atau mata air sendang:Â Harus kuakui sebenarnya ini memang suatu kegiatan yang asyik untuk melampiaskan kerinduanku kepadamu.
Ya, memang asyik. Namun semakin lama telepon menggenggam, --mengarahkanku pada potret-potretmu-- semakin ke atas menggulirkan akun milikmu membuat rinduku berubah menjadi luka hati. Potret-potret terkinimu yang berwajah sumringah, berdampingan bersama lelaki pilihan orang tuamu itu membuatku sangat terusik.
Kok bisa, sinar bahagia yang terpancar di wajahmu itu terasa tulus sekali dengan dirinya? Bukankah dahulu kau bilang kau tak menyukai lelaki pilihan orang tuamu karena sudah sampai mati menyukai aku? "Aku mencintaimu sampai mati, Mas" Begitu lembut kata itu kau alunkan di bawah rindang pohon rambutan. Â Mengapa secepat dan semudah itu hatimu berpaling, Sri?
E, setelah kupikir lagi, mengingat lelaki itu lebih tampan, lebih mapan --terlihat dari perutnya yang agak buncit--, dan jenggotnya lebih saleh dibandingkan diriku, wajar saja sih kamu bisa bahagia bersamanya dan melupakan masa lalumu, melupakan aku.
Tapi tenang, Sri. Aku tidak membencimu. Bagaimanapun aku memaklumi pada umumnya wanita memang tidak bisa menunggu lama. Dan mungkin, waktu dua tahun aku bekerja di kota yang macet ini menurutmu juga terlalu lama, sehingga kau tak kuasa menanti kedatanganku sembari menahan ajakan pria-pria yang datang bertubi.
Yang jelas, Kapok! Aku tidak akan mau lagi memainkan atau lebih tepatnya dipermainkan oleh hape. Â Walaupun malam minggu ini rindu itu datang, aku takkan pernah mau digenggam lagi oleh hape. Mending menderita imsomiya, ngelantur tak teratur seperti ini daripada berlama-lama digenggam hape menatap kebahagianmu bukan dengan aku.
Sungguh aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan untuk mengalihkan rindu dalam hujan yang turun malam ini. Rasanya semua langkah sudah aku lakukan dan hujan pun tak kunjung reda.
Ya sudah, biarlah imsomiya menggerogotiku. Biarlah rindu ini terus menerus turun, biarlah dingin angin menggedor, biarlah gemelegar petir menyambar sampai pagi menjelang. Aku pasrah.
"Haduh, Sriiii!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H