Mohon tunggu...
Musfiq Fadhil
Musfiq Fadhil Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Abdul Hamma

Lulusan Ilmu Kesehatan Masyarakat - Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Merindukan Sri

6 Februari 2021   16:47 Diperbarui: 6 Februari 2021   17:23 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
FelixMittermeier / Pixabay

Kau tahu, mengapa hape dalam bahasa Indonesia disebut dengan telepon genggam? Salah! Jawaban yang lebih tepat mengapa hape disebut telepon genggam adalah karena hape itu memiliki kemampuan untuk menggengam tanganmu kuat-kuat. 

Sekali kamu digenggam hape, kau akan sulit sekali melepaskan genggamannya. Artinya, bukan  kamu yang menggenggam telepon, tetapi teleponlah yang menggenggam tanganmu. 

Bagiku hape itu seperti monster bertubuh lem alteko yang melekat eratkan aku pada segala kenangan tentang dirimu.

Pada minggu lalu, saat hujan deras turun dan rindu menderu sama persis seperti malam ini, aku sempat lengah membiarkan hape, si telepon genggam itu menggenggam erat tanganku.

Dibawanya aku menjelajahi akun media sosialmu. Aku dipaksa mengintip ratusan potret dirimu yang terpajang rapi di situ. 

Lalu jempolku seperti diperintah untuk membuka potretmu mulai dari potret lama yang kau pajang bertahun-tahun lalu hingga yang terbaru, kubuka satu persatu.

Terpaku memandang potretmu: aku mengamati perkembangan riasan wajahmu, kamu kala remaja masih terlihat kusam menginjak dewasa kau terlihat bersinar bagai rembulan hari kelima belas.

Dari potret-potretmu aku pun bisa memperkirakan berapa sentimeter kedalaman lesung pipitmu, atau membandingkan lebih bening mana antara matamu atau mata air sendang: Harus kuakui sebenarnya ini memang suatu kegiatan yang asyik untuk melampiaskan kerinduanku kepadamu.

Ya, memang asyik. Namun semakin lama telepon menggenggam, --mengarahkanku pada potret-potretmu-- semakin ke atas menggulirkan akun milikmu membuat rinduku berubah menjadi luka hati. Potret-potret terkinimu yang berwajah sumringah, berdampingan bersama lelaki pilihan orang tuamu itu membuatku sangat terusik.

Kok bisa, sinar bahagia yang terpancar di wajahmu itu terasa tulus sekali dengan dirinya? Bukankah dahulu kau bilang kau tak menyukai lelaki pilihan orang tuamu karena sudah sampai mati menyukai aku? "Aku mencintaimu sampai mati, Mas" Begitu lembut kata itu kau alunkan di bawah rindang pohon rambutan.  Mengapa secepat dan semudah itu hatimu berpaling, Sri?

E, setelah kupikir lagi, mengingat lelaki itu lebih tampan, lebih mapan --terlihat dari perutnya yang agak buncit--, dan jenggotnya lebih saleh dibandingkan diriku, wajar saja sih kamu bisa bahagia bersamanya dan melupakan masa lalumu, melupakan aku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun