Hari-hari berikutnya saya semakin bersemangat dalam menulis puisi di Kompasiana. Hingga pada Kompasiama Award tahun lalu, berkat dukungan Abdul Azis serta kawan Kompasianer lain saya masuk dalam Nominee Best In Fiction.
Menjadi nominasi dalam ajang sebesar itu merupakan sebuah kehormatan yang luar biasa bagi saya. Sampai saat ini ingin rasanya berlutut di hadapan Abdul Azis dan seluruh Kompasianer, sebagai wujud ungkapan terima kasih saya apresiasi mereka terhadap puisi saya.
Dia yang menyembunyikan Luka
Abdul Azis Le Putra Marsyah, saya tak sekalipun bertemu dengan dia. Komunikasi kami berdua selama ini hanya lewat udara, lewat Kompasiana, dan terakhir lewat WA.
Meskipun begitu, sosoknya begitu nyata mempengaruhi kehidupan saya dalam menulis puisi. Dengan sikapnya yang ramah, sopan, dan rendah hati kita berdua saling bersapa dan berdiskusi tentang puisi.
Bahkan dia merupakan satu-satunya dan orang pertama yang mau membacakan secara lisan salah satu puisi karya saya.
Dia juga tak segan untuk mengajari saya bagaimana cara membaca puisi yang bagus dan agar saya selalu percaya diri ketika suatu saat diminta melisankan puisi.
Komunikasi terakhir saya dengan dia terjalin bulan Desember lalu. Ketika itu saya terheran dengan sikap dirinya yang tiba-tiba menuliskan kalimat perpisahan, dia pamit tidak akan menulis lagi di Kompasiana.
Ketika saya tanya alasan dia ingin meninggalkan Kompasiana, dia tak mau menjawab alasannya. Seperti ada luka dalam dirinya, tapi dia berusaha selalu menyembunyikannya.
Saya pikir kalimat pamit yang dia ungkapkan kala itu hanya nge-prank sebab setelah mengungkapkan ingin pamit pada Desember 2020, saya lega karena dia muncul lagi dengan menuliskan beberapa artikel di bulan Januari 2021.