Segelas kopi harga sepuluh ribu. Kopi plus susu dua puluh ribu. Kalau minumnya dalam bilik situ harganya seratus lima puluh ribu.
"Gak bisa kurang? Seratus saja, Mbak!".
"150 ribu pas, Om"
"Halah. Kan kamu juga sama ngerasain enak. Kenapa mahal begitu, Mbak"
"Enak mbahmu! Gak mau yaudah sana pindah ke warung sebelah!"
Malam itu jalanan Pantura nampak lengang. Sesekali hanya truk bermuatan kosong dan beberapa kali motor anak drag berderu merasuk celah-celah anyaman bambu warung kopi itu.
"Iya.. dah iya.. 150. Oke". Om supir truk menyepakati tarif yang dipatok Mbak Pelayan. Irama musik tarling dari speaker sember mengiring mereka berdua berangkulan masuk ke dalam bilik.
"Slurpp.. nikmat sekali kopi buatanmu, Mbak!", Â Dari dalam bilik, Om truk itu seperti kegirangan minum kopi lendot ditemani Mbak Pelayan. Suara girannya terdengar samar-samar lalu menguap diantara musik tarling yang makin bising.
***
Kumandang tarhim mulai bersahutan dari Toa mushola-mushola kampung di seberang jalan. Itu tanda agar Sri bergegas mempersiapkan diri untuk pulang.
"Time out! sudah ya, Om".
Sri melepaskan tangan kiri yang melendot di leher tamu meski kopi hitam di meja itu belum habis sepenuhnya. Sri lalu turun dari pangkuan tamu itu dan beranjak ke belakang melucuti gincu, bedak, dan alis yang melekat di wajahnya yang ayu.
Dinihari itu angin pantura berembus kencang dan udara sangat dingin menusuk tulang, namun Sri tak peduli. Setiap hendak meninggalkan warung kopi itu Sri tak pernah sekalipun absen untuk mandi.
Bagi Sri, Mandi adalah SOP yang wajib dilaksanakan dirinya usai bekerja. Sedingin apapun, pokoknya pantang pulang sebelum mandi. Begitu kira-kira motto Sri yang sudah satu tahun ini bekerja sebagai Pelayan Kopi lendot di warung itu.
Tidak. Kebiasaan Sri mandi bukan karena ia merasa jijik tubuhnya yang semlohai itu penuh daki, keringat dan lendir akibat ia melayani tamu-tamu semalaman. Sri tidak jijik. Satu tahun bekerja menjadi pelayan kopi lendot membuat tubuhnya sudah terbiasa dengan semua kotoran itu.
Tetapi Sri mandi ialah karena Sri takut jika kotoran dari para hidung belang itu terbawa ke rumah dan mencemari tubuh Andri. Sri tidak sudi daki dan keringat hina turut menempel pula di kulit bocah lelaki semata wayangnya.
"Nawaitul Ghusla... akbari" Byurr! Air kolam agak payau itu Ia siramkan gayung demi gayung. Sri keramas, menyikat gigi, lalu dengan teliti menggosok lekuk-lekuk tubuhnya hingga bau apek keringat dan daki para tamu hilang berganti wangi semerbak sabun pepaya.
Usai mandi, barulah Sri merasa lega untuk pulang ke rumah dan tak bimbang untuk memeluk Andri, si anak semata wayang. Sri juga merasa lega, sebab ia menganggap bahwa mandi dapat menghilangkan dosa akibat pekerjaannya itu. Dosa-dosanya luruh bersama daki dan keringat para hidung belang.
"Gusti Allah Maha Penyayang. Tubuhku sudah bersih dan wangi lagi. Mesti dosaku sudah diampuni", gumam Sri tiap kali selesai mandi.
Sulur matahari mulai menyembul tipis di ujung timur hamparan sawah. Adzan shubuh sebentar lagi akan bersahutan. Angin kencang laut utara menyambut Sri sesaat Ia keluar dari warung Kopi. Segera Sri menunggangi skuter hitam metalic miliknya menyusuri jalur pantura yang masih lengang menuju arah pulang.
***
"Andri, Ibu Pulang! Bangun yuk!" Sri menggoyang-goyangkan bahu bocah yang tengah tidur lelap di atas matras memeluk guling.
Bocah yang baru kelas satu SD itu tidak bergeming hingga ketika jemari Sri yang lentik berpacar merah menjewel pipinya, barulah bocah itu perlahan membuka kedua kelopak matanya.
Dalam kondisi masih setengah sadar, bocah bangkit dan langsung mendekap Sri dengan manja. Sri tersenyum mengelus ubun-ubun anak semata wayangnya itu.
"Ayo mandi terus sholat Shubuh" perintah lembut keluar dari bibir Sri.
"Kenapa Ibu suka nyuruh Andri mandi pagi begini, sih? Dingin tahu!" Protes bocah itu sambil mengucek mata.
"Mandi pagi begini bikin badanmu lebih sehat, segar dan bersih! Saat badanmu bersih, sholat shubuhmu bakalan dikasih pahala yang lebih gede!", Bibir Sri tak lagi mengeluarkan nada lembut.
"Hmm... lalu kenapa Ibu suka nyuruh Andri sholat? Jalan ke mesjidnya capek tahu!"
"Biar kamu tidak masuk neraka, Nak. Nanti kalau-kalau Ibu lagi disiksa di neraka, kamu bisa nolongin Ibu", nada bibir Sri kembali melembut.
"Hiih.. emang nanti Ibu masuk Neraka?" Kelopak mata bocah itu mendadak lebar.
"Iya! Nanti Ibu masuk neraka. Dosa ibu banyak! Makanya kamu rajin sholat biar bisa nolong Ibu!"
"Ngg.. tapi bu.."
"Sst cukup! Cepat mandi! Ini sudah hampir komat!" Bibir Sri bernada ngegas.
Bocah berkepala cepak itu kemudian lari menuju kamar mandi. Berkecipak-kecipak ia mandi seefesien mungkin supaya tidak didahului oleh waktu komat yang tinggal sebentar lagi.
"Ibu, Andri berangkat ke mesjid ya". Bocah itu kembali berlari menuju masjid tua di ujung perkampungan.
Ketika tubuh bocah itu berlalu, Sri pergi ke dapur menyiapkan sarapan dan bekal sekolah. Hari itu Sri memasak telor mata sapi dan dua bungkus mi instan goreng yang direbus.
Sulur-sulur matahari sudah tumbuh merajalela di angkasa. Burung-burung bercicit-cicit bersiap diri keluar dari pepohonan berdaun rimbun terbang mencari biji untuk mengisi temboloknya yang sudah mengkerut. Manusia-manusia mulai berhamburan menggeber knalpotnya menebarkan bau bensin yang pekat.
"Makan yang banyak supaya bisa fokus belajar di sekolah. Biar kamu pintar"
"Kenapa Andri harus pintar, Bu?"
"Kalau pintar bisa sekolah sampai perguruan tinggi"
"Terus?"
"Terus kamu bisa meraih cita-cita. Bukan kayak bapakmu yang SD saja tidak lulus. Cuma jadi nelayan dan mati sia-sia. Kamu mau mati di laut kayak Bapakmu?"
"Andri tidak mau jadi nelayan kayak Bapak."
"Bagus! Lalu mau jadi apa, Nak?"
"Saat besar nanti, Andri mau jadi supir truk"
"Eh, ngawur! Kenapa kamu pengen jadi supir truk?"
"Sejak Bapak meninggal Ibu sedih sekali, kan? Andri tidak mau Ibu terus-terusan sedih. Andri tidak mau tiap malam Ibu main di warung kopi lalu dipangku om-om supir itu cuma biar sedihnya Ibu hilang"
"Kalau Andri sudah gede dan jadi supir truk, nanti kan Andri bisa memangku ibu. Biarkan Andri saja yang memangku Ibu buat ngilangin kesedihan Ibu. Ibu tidak perlu lagi pangku sama Om-om. Andri janji suatu saat nanti bisa bikin Ibu tidak sedih lagi"
Sri tertegun mendengar celoteh polos bocah itu.
"Dari mana dan sejak kapan dia tahu pekerjaan hinaku bergelayut dipangkuan om-om tiap malam?" Sel otak dalam tempurung kepala Sri menegang tak habis pikir. Jantungnya memompa darahnya sederas aliran sungai.
"Siapa yang bilang seperti itu?"
"Teman-teman Andri, Bu. Hampir setiap hari mereka bercerita kalau Ibu itu tiap malam main di warung kopi di seberang jalan sana".
Wajah Sri yang ayu berubah merah penuh rasa malu. Ucapan bocah itu membuat Sri merasa dirinya sangat kotor. Perasaan jijik ketika ia menjalani hari pertamanya menjadi pelayan kopi lendot setahun lalu pagi itu muncul menyelimutinya lagi.
"Kali ini kamu berangkat sekolah sendiri saja ya. Ibu mau mandi!"
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H