"Sejak Bapak meninggal Ibu sedih sekali, kan? Andri tidak mau Ibu terus-terusan sedih. Andri tidak mau tiap malam Ibu main di warung kopi lalu dipangku om-om supir itu cuma biar sedihnya Ibu hilang"
"Kalau Andri sudah gede dan jadi supir truk, nanti kan Andri bisa memangku ibu. Biarkan Andri saja yang memangku Ibu buat ngilangin kesedihan Ibu. Ibu tidak perlu lagi pangku sama Om-om. Andri janji suatu saat nanti bisa bikin Ibu tidak sedih lagi"
Sri tertegun mendengar celoteh polos bocah itu.
"Dari mana dan sejak kapan dia tahu pekerjaan hinaku bergelayut dipangkuan om-om tiap malam?" Sel otak dalam tempurung kepala Sri menegang tak habis pikir. Jantungnya memompa darahnya sederas aliran sungai.
"Siapa yang bilang seperti itu?"
"Teman-teman Andri, Bu. Hampir setiap hari mereka bercerita kalau Ibu itu tiap malam main di warung kopi di seberang jalan sana".
Wajah Sri yang ayu berubah merah penuh rasa malu. Ucapan bocah itu membuat Sri merasa dirinya sangat kotor. Perasaan jijik ketika ia menjalani hari pertamanya menjadi pelayan kopi lendot setahun lalu pagi itu muncul menyelimutinya lagi.
"Kali ini kamu berangkat sekolah sendiri saja ya. Ibu mau mandi!"
***