"Wuih.. monggo. Mrene wae mengko tak jak maring Guci. Adus banyu panas"
Sesampainya di tempat saya, sayapun memenuhi janji mengajak mereka berkunjung ke Guci untuk berendam air panas Gunung Slamet.
Oiya, sebelumnya saya belum pernah lagi berkunjung ke Guci sejak tahunan lalu. Saya mendengar Guci sempat ditutup ketika awal pandemi dan baru beberapa waktu ini Guci sudah mulai dibuka lagi. Jadi saya belum tahu bagaimana kondisi Guci masa sekarang.
Minggu pagi kami berangkat dari rumah naik motor. Biasanya, saya tidak memakai helm agar petugas loket mengira saya bagian dari warga desa Guci sehingga tidak ditariki biaya tiket masuk gerbang. Namun karena saya mengajak tamu, demi keamanan kami berangkat memakai helm waktu itu.
Ngeng... 15 menit kemudian sampailah kami di moncong gerbang masuk Guci. Kami ditembak dengan thermogun oleh petugas sebelum diizinkan masuk. Beruntung, suhu badan kami normal. Kemudian 100 meter di depan kami diberhentikan di gerbang utama untuk ditariki tiket retribusi. Harga tiket masuk ini sekitar sebelas ribuan per orang.
Saya sebenarnya malas bayar retribusi ini. Kupikir ini cuma tiket masuk gerbang yang tak memiliki fasilitas lebih selain asuransi. Di dalamnya biasanya masih ada beberapa biaya tambahan untuk bisa menikmati wahana yang tersedia. Tapi, biarlah itung-itung sedekah buat pemerintah. Wkw
Dari gerbang utama kami masih harus menempuh jalanan menanjak sekitar satu atau dua kilometer sebelum sampai di area parkir Guci. Di sana, akan ditemui beberapa villa dan hotel berjejer di pinggir jalan. Saya melihat ini seperti agak mengotori bukit-bukit hijau. Tapi yaweslah raurus.
Sesampai kami di tempat parkir, kami ditodong untuk langsung bayar parkir oleh warga lokal berpenampilan seram. "Lima ribu permotor, mas! Dua motor jadi sepuluh ribu".Â
"Nih, om!" Kami berikan duit sepuluh ribu. Tanpa memberikan tiket apapun, warga berpenampilan seram itu berlalu menuju motor lain yang barusan datang.
Gile.. enak bener kerjaan ni orang. Tinggal nunggu, dapat duit, lalu pergi. Tapi yaweslah itung-itung sedekah. Wkwk
Kedua teman saya bergumam, lho Guci iki kaya ngene tok pak? Sama kayak Bandungan, Semarang ya. Bahkan lebih apik Bandungan, Pak.
Tak mau mereka berdua kecewa, kusanggah gumaman itu, "Hee.. Aja Salah, Pak. Di Bandungan tidak ada pemandian air panas, kan? Di sini ada! Ayo turun, kita berendam biar pegal-pegal ilang!"
Lalu kami turun menuju Pancuran dan Kolam air panas yang gratis. Tak kusangka, ternyata gerbang masuk pancuran sudah ditutup dan ditempeli pengumuman bahwa area pemandian masih tutup selama masa pandemi. Hotel-hotel yang biasanya membuka pemandian air panas juga pada tutup.Â
Wah.. Pantes saja sudah jam segini masih sepi. Ternyata pemandian masih tutup, to.