Tentang Guci
Guci merupakan sebuah desa wisata yang menjadi salah satu pariwisata andalan bagi Pemerintah Kabupaten Tegal, Jawa Tengah.
Pemandian air panas dari mata air gunung slamet adalah atraksi utama yang ditawarkan dalam desa wisata Guci. Selain itu tak ubahnya seperti wisata daerah pegungungan: Hawa sejuk, hamparan perkebunan, penginapan dan segala pemandangan indah juga menjadi daya tarik objek wisata ini.
Bagi masyarakat daerah Tegal dan sekitarnya Guci adalah tempat wisata utama yang seolah harus dikunjungi setiap masa liburan datang. Terkadang, Guci juga dikunjungi oleh wisatawan yang berasal dari luar kota se-Jawa Tengah dan bahkan beberapa kali saya menemui orang bule sedang berjalan-jalan pakai kolor di sana.
Rumah saya ada di desa Tetangga Guci. Jaraknya sekitar 15 menit dari Guci. Saya terbiasa melihat suasana dan pemandangan pegunungan seperti itu. Semua atraksi yang ditawarkan itu sudah tidak terlalu menarik bagi saya.Â
Namun atraksi wisata yang menurut saya tidak menarik lagi itu, mungkin sangat menarik bagi para wisatawan asal kota yang setiap hari merasakan hawa panas dan gedung-gedung beton yang padat. Sehingga saya memaklumi jika Guci selalu ramai dipadati oleh para wisatawan setiap hari.
Biasanya ketika masa-masa libur nasional seperti libur hari raya, libur akhir tahun dan hari libur lainnya pengunjung yang datang ke Guci padat sekali.Â
Saking padatnya wisatawan, Jalanan menuju Guci sering terjadi kemacetan yang panjang. Di area Guci, pada masa liburan kumpulan manusia berjubel di sana, terlihat semrawut sampai menghilangkan keindahan suasana asrinya.
Kondisi Guci saat liburan mungkin sama persis dengan apa yang diberitakan di tipi mengenai kondisi di tempat wisata Puncak, Bogor. Macet, ruwet, kotor, semrawut bikin kedamaian warga lokal sana terusik. Wkwk
Berkunjung ke Guci Kala Pandemi
Seminggu lalu, dua teman kuliah saya dulu, Fery yang kerja di Semarang dan Masnuh yang kerja di Bandung meminta izin untuk bersilaturahmi ke rumah saya. Dengan antusias Saya mengiyakan permintaan dua kawan lamaku itu.Â
"Pak, aku pengen tahu di mana omahmu. Minggu sesuk aku dolan yo! Aman, tenang wae. Aku sama Masnuh sudah swab hasile negatif"
"Wuih.. monggo. Mrene wae mengko tak jak maring Guci. Adus banyu panas"
Sesampainya di tempat saya, sayapun memenuhi janji mengajak mereka berkunjung ke Guci untuk berendam air panas Gunung Slamet.
Oiya, sebelumnya saya belum pernah lagi berkunjung ke Guci sejak tahunan lalu. Saya mendengar Guci sempat ditutup ketika awal pandemi dan baru beberapa waktu ini Guci sudah mulai dibuka lagi. Jadi saya belum tahu bagaimana kondisi Guci masa sekarang.
Minggu pagi kami berangkat dari rumah naik motor. Biasanya, saya tidak memakai helm agar petugas loket mengira saya bagian dari warga desa Guci sehingga tidak ditariki biaya tiket masuk gerbang. Namun karena saya mengajak tamu, demi keamanan kami berangkat memakai helm waktu itu.
Ngeng... 15 menit kemudian sampailah kami di moncong gerbang masuk Guci. Kami ditembak dengan thermogun oleh petugas sebelum diizinkan masuk. Beruntung, suhu badan kami normal. Kemudian 100 meter di depan kami diberhentikan di gerbang utama untuk ditariki tiket retribusi. Harga tiket masuk ini sekitar sebelas ribuan per orang.
Saya sebenarnya malas bayar retribusi ini. Kupikir ini cuma tiket masuk gerbang yang tak memiliki fasilitas lebih selain asuransi. Di dalamnya biasanya masih ada beberapa biaya tambahan untuk bisa menikmati wahana yang tersedia. Tapi, biarlah itung-itung sedekah buat pemerintah. Wkw
Dari gerbang utama kami masih harus menempuh jalanan menanjak sekitar satu atau dua kilometer sebelum sampai di area parkir Guci. Di sana, akan ditemui beberapa villa dan hotel berjejer di pinggir jalan. Saya melihat ini seperti agak mengotori bukit-bukit hijau. Tapi yaweslah raurus.
Sesampai kami di tempat parkir, kami ditodong untuk langsung bayar parkir oleh warga lokal berpenampilan seram. "Lima ribu permotor, mas! Dua motor jadi sepuluh ribu".Â
"Nih, om!" Kami berikan duit sepuluh ribu. Tanpa memberikan tiket apapun, warga berpenampilan seram itu berlalu menuju motor lain yang barusan datang.
Gile.. enak bener kerjaan ni orang. Tinggal nunggu, dapat duit, lalu pergi. Tapi yaweslah itung-itung sedekah. Wkwk
Kedua teman saya bergumam, lho Guci iki kaya ngene tok pak? Sama kayak Bandungan, Semarang ya. Bahkan lebih apik Bandungan, Pak.
Tak mau mereka berdua kecewa, kusanggah gumaman itu, "Hee.. Aja Salah, Pak. Di Bandungan tidak ada pemandian air panas, kan? Di sini ada! Ayo turun, kita berendam biar pegal-pegal ilang!"
Lalu kami turun menuju Pancuran dan Kolam air panas yang gratis. Tak kusangka, ternyata gerbang masuk pancuran sudah ditutup dan ditempeli pengumuman bahwa area pemandian masih tutup selama masa pandemi. Hotel-hotel yang biasanya membuka pemandian air panas juga pada tutup.Â
Wah.. Pantes saja sudah jam segini masih sepi. Ternyata pemandian masih tutup, to.
Lalu saya mengajak kedua temanku untuk naik ke bukit dimana huruf GUCI mirip tulisan Hollywood itu terpampang. Kami mendaki bukit itu, melewati gubuk-gubuk kedai makanan yang rada kumuh, beberapa kali kami menemukan timbunan sampah makanan berserakan di sudut-sudut jalan setapak di bukit itu.
Sampai di puncak bukit kami agak kecewa ketika pemandangan yang telihat tak sesuai ekspetasi, hijau bukit sperti ternodai oleh banyak atap-atap villa atau bangunan lain berkerumun. Terlihat kurang sedap dipandang. Tapi pemandangan ini terobati oleh keindahan gunung slamet yang terlihat biru, anggun menjulang tinggi.
Di bukit ini juga ternyata sudah dibangun wahana baru. Wahana warna-warni untuk berselfie ria. Mungkin wahana-wahana ini sangat menarik bagi yang suka selfie, atau pasangan muda-mudi.
Tapi bagi kami, tiga lelaki jomlo yang sudah hampir kehilangan gairah alay dan narsisisme, wahana ini terasa biasa saja. Wkw
Kepalang tanggung sudah capek naik bukit, kamipun mencoba masuk ke salah satu wahana itu. Ternyata, kami dipatok harga sepuluh ribu untuk satu spot selfie saja. Alhasil kamipun harus benar-benar memilih satu wahana spot selfie. Masnuh memilih spot sepeda melayang, sedangkan saya dan Fery memilih wahana lantai kaca.
Namun tidak bisa mandi di Guci itu bagi saya sangat mengecewakan kedua teman saya. Bagaimana bisa saya ajak mereka ke Guci tapi mereka tidak merasakan kenikmatan berendam air panas Gunung Slamet? Enggak asyik banget.
Akhirnya, saya tanya ke seorang pemilik kedai makanan. "Bu, Pemandian air panas yang buka di mana ya? Kok tutup semua".
"Iya mas. Pemandian air panas tutup sejak ada corona masuk. Sebenarnya ada yang buka, Mas. Mas-mas ini bisa mandi di hotel-hotel itu, tapi syaratnya harus menginap dulu di sana"
"Haduh, repot amat, Bu. Mahal juga pastinya. Kami orang kere bu. Haha"
"Di sana buka, Mas! (Sambil menunjuk sebuah bangunan di bawah bukit)"
"Tapi untuk keamanan dari corona, di sana harus mandi sendiri satu orang satu kolam. Tidak bisa bersama-sama. Dan setelah mandi, kolam bakal dikuras, Mas"
Mendengar jawaban Ibu pemilik kedai itu sontak kami tersenyum bahagia. Ternyata kami masih bisa mandi air panas meski harus mandi dengan menerapkan protokol seperti itu.
Kamipun bergegas turun bukit menuju bangunan yang ditunjuk si Ibu. Sampai dibangunan itu, beruntunglah kami menemukan pemandian itu sangat sepi sehingga banyak kamar mandi air panas yang kosong.
Lebih beruntungnya lagi, ternyata di sana ada kolam besar yang cukup untuk kami bertiga bisa berendam bersama! Tanpa pikir panjang, kamipun membayar tiket seharga lima ribu rupiah saja per-orang. "Murah kayak bayar parkir!!"
Kolam itu bagaikan kolam VVIP yang disediakan hanya untuk kami berendam bertiga. Tidak ada orang yang boleh ikutan nimbrung karena demi protokol kesehatan.
Waktu berendam yang disarankan oleh pengelola tempat pemandian kepada kami itu sebaiknya tidak lebih dari 15 menit. Katanya, demi kesehatan jantung, dan tekanan darah tidak baik jika terlalu lama berendam air panas. Selain itu, dikhawatirkan dapat meningkatkan risiko tertular di masa pandemi ini.
Namun kami agak bandel, sehingga setelah 30 menit kami baru berhenti berendam dari kolam penghilang pegal dan berkhasiat untuk kulit itu.
Setelah itu kami membilas badan dengan air bersih dan keluar dari pemandian itu dengan badan yang segar dan puas.Â
Dari hasil kunjungan itu, kami jadi tahu bahwa di masa pandemi ini pemandian air panas juga harus menerapkan protokol kesehatan seperti: cek suhu, tidak boleh mandi bersama orang umum, tidak boleh mandi terlalu lama, serta kolam dikuras untuk dibersihkan setelah dipakai.
Penutup
Overall, terlepas dari kekurangan yang saya selipkan di atas, Objek wisata Guci masih menarik untuk dikunjungi bagi para wisatawan, terutama untuk wisatawan lokal.Â
Saya tidak berani merekomendasikan ini ke kamu yang berasal dari luar kota yang jauh. Tapi jika kamu berjiwa petualang dan banyak uang, ngineplah beberapa hari di villa yang mewah, rasanya tidak lengkap jika kamu belum pernah berkunjung ke Guci.
Sedikit saran untuk pengelola wisata Guci: Tolong untuk lebih meningkatkan lagi tata kebersihan, Villa dan gubuk-gubuk makanan yang agak kumuh itu ditata lagi biar sedap dipandang, dan berantas kang parkir liar ya biar kami merasa aman.
Demikian dari saya. Saya tak bermaksud untuk menjatuhkan pihak tertentu. Ini hanya pengalaman yang saya rasakan sehingga sudah pasti masih ada banyak kesalahan dan kekeliruan dalam saya mereview tempat wisata ini. Untuk itu saya mohon maaf.
Terimakasih sudah membaca sampai akhir. Sekian.
Salam!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H