Saya bingung kenapa dia tinggal di rumah yang letaknya jauh sekali di bukit sebelah, jauh dari pemukiman warga. Tapi karena masih mengantuk otak saya jadi tak sempat untuk menggali fakta-fakta darinya.
"Monggo pinarak, Mas"
Saya masuk ke dalam rumah mengikuti si Perempuan cantik. Si Perempuan cantik memintaku duduk di kursi depan, sementara ia berjalan ke ruang tengah. Terlihat samar-samar dia melepas lalu menaruh gendongan kayu bakarnya di atas sebuah dipan.
Dalam sayup-sayup cahaya ceplik. Duh Gusti, ternyata tak cuma gendongan. Ia juga terlihat seperti melepas kain batik bawahan tubuhnya, lalu perlahan melepas kain kebayanya, lalu menguraikan rambut dan mengibaskannya ke udara.
Wuih.. seandainya lampu ceplik ini sedikit lebih terang pasti saya bisa melihat lebih detil lekuk tubuh perempuan itu. Â Sayang, saking remangnya. Saya tak bisa mengukur Seberapa putih mulus badan perempuan cantik.Â
Apa yang terlihat oleh saya hanya punggung hitam-hitam berbayang saja. Jadilah saya cuma bisa menebak-nebak seperti apa bentuk tubuh perempuan itu.
Srettt.. Lagi asyik saya menebak-nebak, bayangan Perempuan cantik itu sekejap menghilang dari pandangan.
Saya heran. Kemudian beranjak dari tempat duduk lalu menuju ke ruang tengah mencari keberadaan perempuan cantik itu. "Mbak, dimana kamu?" Tak ada sahutan. Saya makin kebingungan.
Hwahhh!!Â
tiba-tiba perempuan itu berteriak mengejutkanku. Wajahnya nongol tepat dua senti didepan wajahku yang sedang melongo.
Mulutnya menganga lebar. Bibir manisnya kini belepotan penuh darah, gigi taring tumbuh menjulang di pojok-pojok bibirnya. Nafas perempuan itu bau seperti bangkai tikus. Biji matanya copot satu, yang satunya melotot tajam ke arahku.