Mohon tunggu...
Musfiq Fadhil
Musfiq Fadhil Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Abdul Hamma

Lulusan S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat - Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Penunggu Sumur Tua (2)

11 Oktober 2020   00:01 Diperbarui: 11 Oktober 2020   18:13 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sampai pada malam ketujuh pasca penemuan mayat Mbah Darsih, belum ada satupun petunjuk yang dapat mengungkap siapa pembunuh wanita renta itu.

Cerita ini lanjutan dari Penunggu Sumur Tua

Mbah Darsih tidak punya keluarga sama sekali. Kata Emak, mbah Darsih dulu punya suami dan seorang anak lelaki seumuran saya. Ketika Suami dan Anak Mbah Darsih sedang mencari kayu bakar, gunung yang biasanya slamet mendadak meletus memuntahkan lahar dan awan panas.

Suami dan Anak Mbah Darsih tak dapat menyelamatkan diri. Keduanya ditemukan dalam reruntuhan sebuah gubuk dengan keadaan telungkup terkubur oleh abu vulkanik yang menenggelamkan hampir seluruh isi hutan.

Belakangan baru aku tahu di dekat sumur tua itulah Suami dan Anak Mbah Darsih dimakamkan. Pantas saja Mbah Darsih betah main di sumur walau malam hari. Rupanya begitu cara mbah Darsih mengungkapkan rindu kepada suami dan anak lelakinya.

Meskipun tidak punya keluarga, acara kenduri atas kematian Mbah Darsih tetap dilaksanakan. Adapun untuk kebutuhan kenduri seperti makanan dan sebagainya, warga desa bergantian menyediakannya dengan sukarela.

Hingga pada malam ke tujuh usai pemakaman, bapak-bapak dan pemuda masih ramai datang ke rumah mendiang mbah Darsih.

Bentuk rumah Mbah Darsih seperti umumnya rumah jaman dahulu. Jendela dan ventilasi kayu, dipan bambu di depan rumah, lantai tanah, dan tembok yang mengelupas. Jika menatap langit-langit, terlihat rangka atap glugu sudah menghitam ditempeli sawang di tiap-tiap sudutnya.

Rumah mbah Darsih terletak tak jauh dari pos ronda. Untuk menuju ke sana, aku lebih suka menggunakan jalan setapak dari belakang pos ronda lalu melewati pekarangan penuh semak-semak, pohon bambu dan pohon-pohon randu.

Ujungnya nanti akan ketemu pada bagian belakang rumah mbah Darsih, tempat di mana sumur tua itu berada.

Kenduri kematian Mbah Darsih lebih mirip seperti rapat para detektif daripada acara doa. Setiap sebelum dan sesudah acara dimulai, pasti diwarnai oleh Bapak-bapak yang saling bersahutan memaparkan hasil analisanya bak detektif Conan.

Ada yang berpendapat Mbah Darsih dibunuh oleh perampok, ada yang bilang dibunuh untuk tumbal ilmu kesaktian, terakhir Pak Herman memaparkan bahwa ada kemungkinan mbah Darsih dibunuh oleh genderuwo yang bersarang di rumpun bambu di sebelah utara sumur.

Dan yang bikin aku gemes dalam kenduri itu adalah ada saja bapak-bapak yang memintaku bercerita kondisi mayat mbah Darsih saat kutemukan. Mulutku sampai kering mengulang-ulang tentang leher yang tergorok sampai kepala hampir putus dari badan. 

Satu-satunya alasanku selalu meladeni permintaan Bapak-bapak itu semata karena aku suka melihat kelucuan ekspresi si garang Pak Rudy dan si tengil David bergidik takut-takut penasaran tiap kali mendengarkan aku bercerita.

Bukti, saksi dan petunjuk yang polisi kumpulkan nampaknya belum mampu membuahkan hasil. Siapa pembunuhnya dan apa motivasinya bagaikan teka-teki yang sangat susah untuk diselesaikan.

Malam ketujuh ini adalah malam terakhir kenduri Mbah Darsih. Seperti biasa, aku tidak langsung pulang ketika kenduri selesai. Aku percaya arwah mbah Darsih masih berada di sekitar rumah dan sumur tua ini. 

Sejak malam pertama pemakaman aku bertekad mencari arwah Mbah Darsih untuk aku tanyai siapakah pelaku yang tega membunuhnya. Aku cari di kamar-kamar rumah, kucari di sekitar sumur, ku tunggu hingga tengah malam berharap arwah mbah Darsih datang menemuiku.

Mbah, Kulo Abdul putranipun Mak Jaenab. Panjenengan sakniki teng pundi nggih?” sapaanku yang memcah malam yang senyap itu tak pernah disahuti oleh mbah Darsih.

Malah seringkali disahuti oleh mahluk-mahluk yang tidak jelas. Kadang tiba-tiba muncul tawa anak-anak kecil, kadang muncul gebrakan dari samping rumah, kadang terdengar suara mengeram penuh amarah.

Dari semua sahutan itu, yang paling aku benci adalah suara dari sosok wanita berambut menjulur yang nangkring di pucuk pohon randu dekat sumur itu. Tawa cekikikan dari mahluk itu terasa seperti meniup kupingku dari jarak dua senti. Menyebalkan sekali dia!

Pada malam ketujuh ini, harapan terakhirku bisa bertemu dengan arwah Mbah Darsih dipertaruhkan. Kudengar arwah orang yang sudah mati sering muncul pada hari ke tujuh. Lalu aku putuskan untuk memfokuskan pencarian hanya pada area sekitar sumur tua.

Khusus untuk malam ini, aku nekat menirukan kebiasaan mbah Darsih ketika masih hidup. Aku menggoyang-goyangkan katrol itu sampai berderit meski aku merasa agak ngilu tiap kali gesekan besi berkarat itu berbunyi. Arwah mbah Darsih tak datang.

Kemudian aku tarik ulur seutas tali sumur supaya ember jatuh dan menciptakan gemericik suara air. Sama saja, tidak nampak tanda-tanda kehadiran mbah Darsih.

“Hoi!” aku berteriak ke arah lubang sumur sama seperti yang dilakukan mbah Darsih ketika terakhir kali aku menemuinya. Pantulan gema teriakanku normal saja terdengar. Padahal aku berharap suara mbah Darsihlah yang muncul dari lubang sumur itu.

Segala usaha sudah kulakukan. Tapi arwah mbah Darsih yang tak kunjung hadir membuat tubuhku terasa lelah. Kubiarkan pantatku basah duduk di tanah yang becek dan punggungku bersandar pada dinding sumur tua itu.

Tak lama, gemerisik gesekan dedaun dan sorotan redup cahaya rembulan berhasil menidurkanku bersama sumur tua itu.

Aku terbangun ketika tiba-tiba dingin merasuk ke pori-pori ketiakku. Aneh. Padahal tubuhku sudah dilapisi oleh sweater plus sarung dan sebagaimana lazimnya anak pegununungan, kulitku juga sudah kebal jika tertusuk oleh dingin.

Benar saja, dalam fase nglilir dimana mataku belum sepenuhnya bisa terbuka, senandung yang tak asing terdengar lirih sayup-sayup oleh telingaku. 

Nalikane mripat iki wis ketutup
Nana sing bisa nulungi
Kajaba laku kang luhur
Kang ditampi marang Gusti
Aja  ngibadah kang awon.

Makjegagik! aku langsung berdiri dan mencari sumber senandung itu. “Ya! Ini pasti arwah mbah Darsih lagi nembang megatruh kesukaannya!” pikirku yakin.

Mbah Njenengan teng pundi?”

Aku ning kene, Cah bagus...

Arwah mbah Darsih muncul dari rerimbunan bambu berjalan lemah menghampiriku. Sosoknya agak berbeda dengan mbah Darsih saat masih hidup.

Kebaya kutubaru lusuh yang ia kenakan terlihat banyak tertempel percikan darah, wajahnya lebih pucat, bola matanya putih polos, dan rambut berubannya kini tumbuh panjang sampai menyentuh tanah. Dan, lehernya... aduh..

Entah kenapa nyaliku menciut tak mampu menatap lama-lama sosok Mbah Darsih itu. Pikiranku berantakan hingga lupa untuk apa aku mencarinya. Mulutku terkunci, lidahku kelu tak sanggup untuk menanyakan kepadanya perihal pembunuhnya.

“Aku dudu Mbah Darsih, Cah Bagus. Mbah Darsih yang asli sudah tenang di sana, bertemu suami dan anak lelakinya. Aku ini hanya perwujudan hati mbah Darsih yang masih tertinggal di sumur ini. 

Hati yang sepi, hati yang rindu, dan hati yang terluka. Aneka rupa perasaan hatinya itulah yang membentuk tubuhku menjadi seperti ini. Aku datang untuk menjawab pertanyaan yang sudah kau sampaikan setiap malam sejak tujuh hari yang lalu.”

“Ng..nganu, Mbah. Terose sinten nggih ingkang sampun damel panjengan seda?” Aku memberanikan diri untuk mengeluarkan pertanyaan itu, meski masih terbata-bata dengan gigi yang menggigil gemeretak.

Setelah kusampaikan pertanyaan itu, sosok Mbah Darsih tersenyum. Lengkung bibir kisutnya persis sama ketika dulu aku bertemu saat masih hidup. “hm.. Kau tunggu hingga sore hari nanti. Kamu akan mengetahui siapa pelakunya, Cah bagus”.

Cah bagus, Jaga awakmu lan keluargamu apik-apik. Sampaikan salam Mbah Darsih ke Emak, Bapak lan Adhekmu, nggih.”

Tanpa penjelasan lebih lanjut sosok mbah Darsih itu memudar seiring angin yang mendadak berderu kencang. Dia pergi menghilang meninggalkan aku yang tertegun, tak mengerti apa maksud ucapannya tadi.

Ditengah lamunanku, sosok wanita menyebalkan yang  nangkring di pohon randu itu muncul lagi.

Sosok itu turun dari pohon randu. Terbang melayang-layang diatas kepalaku sambil cekikikan memekakan kedua telingaku. Kelakuannya itu membuat mulutku tak tertahan untuk berkata “wedhus gembel!

***

Bersambung ke: Penunggu Sumur Tua (Tamat)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun