Mohon tunggu...
Musfiq Fadhil
Musfiq Fadhil Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Abdul Hamma

Lulusan S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat - Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Penunggu Sumur Tua (2)

11 Oktober 2020   00:01 Diperbarui: 11 Oktober 2020   18:13 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kenduri kematian Mbah Darsih lebih mirip seperti rapat para detektif daripada acara doa. Setiap sebelum dan sesudah acara dimulai, pasti diwarnai oleh Bapak-bapak yang saling bersahutan memaparkan hasil analisanya bak detektif Conan.

Ada yang berpendapat Mbah Darsih dibunuh oleh perampok, ada yang bilang dibunuh untuk tumbal ilmu kesaktian, terakhir Pak Herman memaparkan bahwa ada kemungkinan mbah Darsih dibunuh oleh genderuwo yang bersarang di rumpun bambu di sebelah utara sumur.

Dan yang bikin aku gemes dalam kenduri itu adalah ada saja bapak-bapak yang memintaku bercerita kondisi mayat mbah Darsih saat kutemukan. Mulutku sampai kering mengulang-ulang tentang leher yang tergorok sampai kepala hampir putus dari badan. 

Satu-satunya alasanku selalu meladeni permintaan Bapak-bapak itu semata karena aku suka melihat kelucuan ekspresi si garang Pak Rudy dan si tengil David bergidik takut-takut penasaran tiap kali mendengarkan aku bercerita.

Bukti, saksi dan petunjuk yang polisi kumpulkan nampaknya belum mampu membuahkan hasil. Siapa pembunuhnya dan apa motivasinya bagaikan teka-teki yang sangat susah untuk diselesaikan.

Malam ketujuh ini adalah malam terakhir kenduri Mbah Darsih. Seperti biasa, aku tidak langsung pulang ketika kenduri selesai. Aku percaya arwah mbah Darsih masih berada di sekitar rumah dan sumur tua ini. 

Sejak malam pertama pemakaman aku bertekad mencari arwah Mbah Darsih untuk aku tanyai siapakah pelaku yang tega membunuhnya. Aku cari di kamar-kamar rumah, kucari di sekitar sumur, ku tunggu hingga tengah malam berharap arwah mbah Darsih datang menemuiku.

Mbah, Kulo Abdul putranipun Mak Jaenab. Panjenengan sakniki teng pundi nggih?” sapaanku yang memcah malam yang senyap itu tak pernah disahuti oleh mbah Darsih.

Malah seringkali disahuti oleh mahluk-mahluk yang tidak jelas. Kadang tiba-tiba muncul tawa anak-anak kecil, kadang muncul gebrakan dari samping rumah, kadang terdengar suara mengeram penuh amarah.

Dari semua sahutan itu, yang paling aku benci adalah suara dari sosok wanita berambut menjulur yang nangkring di pucuk pohon randu dekat sumur itu. Tawa cekikikan dari mahluk itu terasa seperti meniup kupingku dari jarak dua senti. Menyebalkan sekali dia!

Pada malam ketujuh ini, harapan terakhirku bisa bertemu dengan arwah Mbah Darsih dipertaruhkan. Kudengar arwah orang yang sudah mati sering muncul pada hari ke tujuh. Lalu aku putuskan untuk memfokuskan pencarian hanya pada area sekitar sumur tua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun