Khusus untuk malam ini, aku nekat menirukan kebiasaan mbah Darsih ketika masih hidup. Aku menggoyang-goyangkan katrol itu sampai berderit meski aku merasa agak ngilu tiap kali gesekan besi berkarat itu berbunyi. Arwah mbah Darsih tak datang.
Kemudian aku tarik ulur seutas tali sumur supaya ember jatuh dan menciptakan gemericik suara air. Sama saja, tidak nampak tanda-tanda kehadiran mbah Darsih.
“Hoi!” aku berteriak ke arah lubang sumur sama seperti yang dilakukan mbah Darsih ketika terakhir kali aku menemuinya. Pantulan gema teriakanku normal saja terdengar. Padahal aku berharap suara mbah Darsihlah yang muncul dari lubang sumur itu.
Segala usaha sudah kulakukan. Tapi arwah mbah Darsih yang tak kunjung hadir membuat tubuhku terasa lelah. Kubiarkan pantatku basah duduk di tanah yang becek dan punggungku bersandar pada dinding sumur tua itu.
Tak lama, gemerisik gesekan dedaun dan sorotan redup cahaya rembulan berhasil menidurkanku bersama sumur tua itu.
Aku terbangun ketika tiba-tiba dingin merasuk ke pori-pori ketiakku. Aneh. Padahal tubuhku sudah dilapisi oleh sweater plus sarung dan sebagaimana lazimnya anak pegununungan, kulitku juga sudah kebal jika tertusuk oleh dingin.
Benar saja, dalam fase nglilir dimana mataku belum sepenuhnya bisa terbuka, senandung yang tak asing terdengar lirih sayup-sayup oleh telingaku.
Nalikane mripat iki wis ketutup
Nana sing bisa nulungi
Kajaba laku kang luhur
Kang ditampi marang Gusti
Aja ngibadah kang awon.
Makjegagik! aku langsung berdiri dan mencari sumber senandung itu. “Ya! Ini pasti arwah mbah Darsih lagi nembang megatruh kesukaannya!” pikirku yakin.
“Mbah Njenengan teng pundi?”
“Aku ning kene, Cah bagus...”
Arwah mbah Darsih muncul dari rerimbunan bambu berjalan lemah menghampiriku. Sosoknya agak berbeda dengan mbah Darsih saat masih hidup.
Kebaya kutubaru lusuh yang ia kenakan terlihat banyak tertempel percikan darah, wajahnya lebih pucat, bola matanya putih polos, dan rambut berubannya kini tumbuh panjang sampai menyentuh tanah. Dan, lehernya... aduh..
Entah kenapa nyaliku menciut tak mampu menatap lama-lama sosok Mbah Darsih itu. Pikiranku berantakan hingga lupa untuk apa aku mencarinya. Mulutku terkunci, lidahku kelu tak sanggup untuk menanyakan kepadanya perihal pembunuhnya.
“Aku dudu Mbah Darsih, Cah Bagus. Mbah Darsih yang asli sudah tenang di sana, bertemu suami dan anak lelakinya. Aku ini hanya perwujudan hati mbah Darsih yang masih tertinggal di sumur ini.
Hati yang sepi, hati yang rindu, dan hati yang terluka. Aneka rupa perasaan hatinya itulah yang membentuk tubuhku menjadi seperti ini. Aku datang untuk menjawab pertanyaan yang sudah kau sampaikan setiap malam sejak tujuh hari yang lalu.”