Aku nyaris tidak percaya air sumur tua di belakang rumah wanita renta itu bercampur dengan kucuran darah. Cahaya rembulan yang sayup-sayup dan tinggi besarnya tiga pohon randu itu sudah menghalangi mataku sampai tak bisa melihat dengan jelas seberapa bening warna air sumur itu.
Saat aku mengulur seutas tali katrol sumur itu, bunyi kecipak ember yang kudengar dari lubang sumur sama saja seperti air biasa. Pun ketika aku menarik katrol yang berdecit itu, tak ada yang beda. Gemericiknya sama seperti laiknya air biasa yang jatuh dari ember.
Rasa dingin di pori-pori saat kedua telapak tanganku meraup ember itu juga tak ada yang aneh. Air sumur memang terkenal lebih dingin, wajar bukan? Kejanggalan air sumur itu mulai terasa ketika aku membasuhkannya ke wajahku.
Pada basuhan pertamaku aku merasa air itu agak lengket menempel di kulit wajahku. Pada basuhan kedua, hidungku mencium samar-samar bau amis. Sepertinya ada yang tidak beres dengan air ini.
Kemudian aku memutuskan untuk mengurungkan niat membasuhkan wajahku untuk yang ketiga kalinya. Kukeluarkan hp nexian dari kantong jeans ketatku, kemudian dengan nyala senter hp itu aku mulai memeriksa kondisi air dengan seksama.
Perutku langsung mual! Kutemukan air dalam ember itu bercampur darah yang sudah encer. Hueek! Tangan kananku reflek membuang ember itu kembali ke dalam lubang sumur. Dan plukkk!
Aku heran dengan bunyi janggal pada ember yang kujatuhkan itu. “Lho, harusnya kan byurrr? Kok bisa plukk?” Kemudian aku sorotkan senter ke arah pedalaman lubang sumur yang gelap itu.
“Wedhus! Putih-putih apa kuwi?” Aku ragu apakah benar putih-putih yang kulihat di dalam lubang sumur itu merupakan burai-burai rambut beruban atau cuma tali rafia bekas yang warnanya sudah terurai.
Setelah kukatrol kembali ember itu ke atas, kulihat jelas kepala wanita renta pemilik rumah menyembul di permukaan. Wajah wanita renta itu berlumur darah mendongak ke atas dengan mulut terbuka dan mata yang terbelalak. “Wedhus, tenan! Kuaget!”
Aku berlari terbirit-birit kembali ke pos ronda memberitahukan kejadian itu ke bapak-bapak dan segelintir temanku yang masih asik bermain gaple sambil diiringi radio yang memutar lagu bujangan rhoma irama.
Anu.. Pak! Mbah Darsih, Pak! Tolong Mbah Darsih kecemplung, Sumur, Pak! Sempat tak percaya, setelah kuyakinkan gerombolan bapak-bapak buncit berlemak banyak itu akhirnya mereka berhamburan bergegas menuju sumur tua dimana kutemukan kepala wanita renta itu.
“Sapa iki sing mateni Mbah Darsih? Wis sepuh, urip dhewekan, kok ya tegel digorok, dicemplungke ning sumur! Diamputt!” Mulut Pak Yanto tak tertahankan mengeluarkan emosi itu sesaat mayat Mbok Darsih berhasil kami evakuasi.
Sementara seorang polisi sedang sibuk memotret di sekitar lubang sumur dan mencari barang bukti, beberapa polisi berbeda silih berganti menanyaiku sebagai saksi.
Pertanyaan-pertanyaan mereka selalu sama, seputar kronologi bagaimana aku menemukan mayat wanita renta itu. Aku sampai dibuat bosan untuk menjawab pertanyaan berulang itu.
Sebelum ditemukan mati saat aku mau numpang kencing dan mencuci muka di sumur tua itu, memang sejak dua hari yang lalu aku tak melihat wanita renta itu mengunjungi sumur tua di belakang rumahnya.
Padahal biasanya wanita itu suka sekali menghabiskan waktunya berada di sekitar sumur tua. Ia senang sekali menarik ulur tali sekedar ingin mendengar katrol berkarat itu berdecit-decit atau sekedar ingin mendengar air dalam lubang sumur itu bercipratan terkena jatuhan ember plastik hitam.
Aku juga kerap menemukan wanita renta itu bersendandung macapat sambil melenggok lemah di sekitar area sumur atau sekedar berteriak “Hoi” ke dalam lubang dan ketika gema hasil teriakannya itu terdengar, Ia tertawa bahagia.
Entah pagi, siang atau bahkan ketika malam, semua kebiasaan itu ia lakukan setiap hari tidak mengenal waktu. Oleh karena kebiasaan itu, aku menjuluki wanita renta itu sebagai hantu penunggu sumur tua.
Aku sebut ia sebagai hantu sebab penampilannya memang seperti hantu. Ketika berada di sumur pada malam hari, wanita renta itu kerap mengenakan jarik kebaya berwarna lusuh, membiarkan rambut putihnya tergerai hampir menyentuh tanah, bersenandung tembang megatruh dengan merdu bercampur pilu yang tajam menyayat-sayat kegelapan malam.
Meskipun begitu, aku sama sekali tak merasa takut kepada wanita renta itu. Bagiku, ia hanyalah wanita yang kesepian di hari tua, hatinya diliputi kesedihan, dan ia hidup hanya untuk menanti kematian. Sungguh hantu yang malang.
Terakhir kali aku menyapanya adalah tiga hari yang lalu, sebelum ia menghilang penampakannya di sumur itu. Pagi itu aku diminta Emak untuk memberikan makanan ke wanita renta itu. Aku menemuinya sedang asyik bermain katrol tanpa ada niat untuk mengambil airnya.
Ngangsu, Mbah? Mriki kulo bantu tarik!
Mboten, Mung dolanan banyu, Cah Bagus
“Matur suwun nggih, Nang. Muga awakmu, emakmu lan sak kabehane keluargamu diparingi waras lan sentosa ing alam dunya lan akherat”. Seperti itu kira-kira kalimat terakhir yang kudengar darinya mendoakan kebaikan untuk aku dan keluargaku. Sepatah kalimat itu kudengar begitu lembut, sangat manis, meskipun bibir dan mulutnya sudah kisut.
Akupun bertanya-tanya dalam hati. Keheranan, sama seperti Pak Yanto yang berteriak dengan emosi. Siapa geramgan yang tega membunuh wanita renta yang malang itu dengan cara keji. Bagaimana bisa ia tega menggorok leher wanita renta yang kesepian itu, lalu menceburkan mayatnya di sumur tua?
Wedhus, tenan!
Bersambung: Penunggu Sumur Tua (2)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H