Anu.. Pak! Mbah Darsih, Pak! Tolong Mbah Darsih kecemplung, Sumur, Pak! Sempat tak percaya, setelah kuyakinkan gerombolan bapak-bapak buncit berlemak banyak itu akhirnya mereka berhamburan bergegas menuju sumur tua dimana kutemukan kepala wanita renta itu.
“Sapa iki sing mateni Mbah Darsih? Wis sepuh, urip dhewekan, kok ya tegel digorok, dicemplungke ning sumur! Diamputt!” Mulut Pak Yanto tak tertahankan mengeluarkan emosi itu sesaat mayat Mbok Darsih berhasil kami evakuasi.
Sementara seorang polisi sedang sibuk memotret di sekitar lubang sumur dan mencari barang bukti, beberapa polisi berbeda silih berganti menanyaiku sebagai saksi.
Pertanyaan-pertanyaan mereka selalu sama, seputar kronologi bagaimana aku menemukan mayat wanita renta itu. Aku sampai dibuat bosan untuk menjawab pertanyaan berulang itu.
Sebelum ditemukan mati saat aku mau numpang kencing dan mencuci muka di sumur tua itu, memang sejak dua hari yang lalu aku tak melihat wanita renta itu mengunjungi sumur tua di belakang rumahnya.
Padahal biasanya wanita itu suka sekali menghabiskan waktunya berada di sekitar sumur tua. Ia senang sekali menarik ulur tali sekedar ingin mendengar katrol berkarat itu berdecit-decit atau sekedar ingin mendengar air dalam lubang sumur itu bercipratan terkena jatuhan ember plastik hitam.
Aku juga kerap menemukan wanita renta itu bersendandung macapat sambil melenggok lemah di sekitar area sumur atau sekedar berteriak “Hoi” ke dalam lubang dan ketika gema hasil teriakannya itu terdengar, Ia tertawa bahagia.
Entah pagi, siang atau bahkan ketika malam, semua kebiasaan itu ia lakukan setiap hari tidak mengenal waktu. Oleh karena kebiasaan itu, aku menjuluki wanita renta itu sebagai hantu penunggu sumur tua.
Aku sebut ia sebagai hantu sebab penampilannya memang seperti hantu. Ketika berada di sumur pada malam hari, wanita renta itu kerap mengenakan jarik kebaya berwarna lusuh, membiarkan rambut putihnya tergerai hampir menyentuh tanah, bersenandung tembang megatruh dengan merdu bercampur pilu yang tajam menyayat-sayat kegelapan malam.
Meskipun begitu, aku sama sekali tak merasa takut kepada wanita renta itu. Bagiku, ia hanyalah wanita yang kesepian di hari tua, hatinya diliputi kesedihan, dan ia hidup hanya untuk menanti kematian. Sungguh hantu yang malang.
Terakhir kali aku menyapanya adalah tiga hari yang lalu, sebelum ia menghilang penampakannya di sumur itu. Pagi itu aku diminta Emak untuk memberikan makanan ke wanita renta itu. Aku menemuinya sedang asyik bermain katrol tanpa ada niat untuk mengambil airnya.
Ngangsu, Mbah? Mriki kulo bantu tarik!
Mboten, Mung dolanan banyu, Cah Bagus