Dan tada! Kami berhasil, jalan sejak pukul 14.00 kami tiba menjelang magrib. Di dusun yang berhimpitan itu sudah ramai orang. Para pelancong tampaknya memang baru benar-benar sampai. "mana penduduknya ni?" tanya saya. Saya diarahkan ke rumah saudaranya Sapri. Saya lupa apa nama keluarga tempat saya tinggal. Tapi si bapak tinggal dengan istri dan dua anaknya. Satu anak perempuan tanggung dan satu anak laki-laki yang masih kecil.
Tubuh saya sudah basah dengan keringat, kaki pun kram. Saya sampai lupa kalau saya belum buang air kecil sedari tadi. Semua yang berhubungan dengan aktivitas kakus dipusatkan di satu sungai. Ada sungai untuk laki-laki dan perempuan begitu. Hari sudah gelap, semula daerah ini diharamkan memakai alat-alat elektronik, tapi sepertinya senter tidak termasuk. Aneh. Dusun ini benar-benar mirip pasar, dibanding penghuni asli Baduy Dalam lebih banyak pengunjungnya. Saya pun gemas karena fenomena ini membuat Baduy Dalam secara ekosistem sosial rusak.
Dengan pikiran seperti itu saya berjalan menuju bibir sungai. Semua peserta trip sudah ribet bagaimana mandi atau pipis yang paling pas supaya tidak membuat lelaki ngiler hahaha... Berbekal senter para wanita sibuk menginstruksikan bagaimana dan dimana mereka harus pipis, mandi, cuci muka dan gosok gigi. Tak jarang mereka benar-benar membawa berbagai hal yang mencemari sungai. Lagi-lagi saya mengurut dada. Orang kota!
Namun hati saya tetiba syahdu saya saya melihat gerombolan kunang-kunang yang saya enggak pernah ketemu sebelumnya. Subhanallah ini penghibur saya malam itu.
Tapi lagi-lagi kedongkolan saya makin memuncak sama peserta trip orang-orang kota yang enggak tahu sopan ini. Saat hendak bersantap malam, tuan rumah sudah sigap memasak mie, nasi, ikan asin dan lain-lain. Tapi si orang kota ini malah ribet pakai berbagai jenis autan, lotion atau apalah saya tidak mengerti. Maksud saya ya bantu lah sebagai tamu.
Dengan wajah tak berdosa wanita ini bertanya, dia tampaknya bener-bener bodoh atau tidak sopan saya tidak mengerti. Si ibu yang tidak fasih benar bahasa Indonesia melongo, dan teman saya yang biasa mengartikan ke dalam bahasa Sunda terdiam. Saya buka suara "Kadang-kadang kita harus perhatikan apa yang kita mau tanyain," ucap saya tegas. Dia pun diam. Perlu diketahui, pertanyaan macam ini sensitif dan bagi sebagian orang-orang daerah, bencana adalah bala yang kaitannya sangat erat dengan nilai budaya dan sosial.
Keadaan desa juga makin tidak kondusif dengan banyaknya pedagang lalu lalang. Dusun Baduy Dalam ini lebih mirip desa wisata ketimbang desa budaya. Tapi entah kenapa, saya melihat tidak ada rasa kesal atau benci terhadap para pendatang ini di mata orang asli Baduy Dalam. Saya benar-benar tidak tahu, atau mereka telah mereguk nikmatnya rupiah dari kantong para pendatang. Tetiba saya jadi merasa kesal dengan tour leader saya, yang berkontribusi merusak tatanan kehidupan asli Baduy Dalam.
Saya sama sekali tidak merasa berada di suku pedalaman kalau seperti ini. Risaunya saya, saya usir dengan memainkan rambut si anak perempuan pertama. Rambutnya panjang dan halus padahal dia tidak memakai sampo apapun dan airnya juga cuma air sungai yang dipakai bareng dengan cuci kakus. Saat itu saya ingin membelikannya jepitan kupu2. Dia pasti cantik. Dia hanya tersenyum malu saat saya belai lembut rambutnya. Kami tidak berkomunikasi karena kendala bahasa, hanya bisa bertukar senyum
Si pemilik rumah tidur di ruangan dalam. Sementara kami para perempuan tidur berjejer dengan alas tikar. Saya benar terlelap karena kelelahan ditambah betis yang nyut nyutan tak karuan. Sampai suatu ketika saya dibangunkan oleh peserta trip yang ketakutan karena lilin dimatikan, dia panik. Beruntung si bapak sigap menyalakan kembali lilin meski rasanya tidak diperkenankan lilin menyala di waktu malam. Lagi-lagi tuan rumah dengan senang hati melayani. Suara lolongan anjing membuat saya makin terlelap, meski beberapa kali saya ngedumel kesal karena terdengar suara dering hape di antara jangkrik-jangkrik yang bersuara . "Sialan" kutuk saya.