Tapi menurut saya itu perilaku enggak pantas, khas anak kota. MANJA! Malahan yang bawain barang-barang orang kota ini anak-anak Baduy Dalam. Tubuhnya lebih kecil dari yang punya tas, tapi kok mereka tega ya nyuruh anak-anak ini bawain tas mereka. Geram saya tinggal lah geram, itu seakan sudah jadi kebiasaan. Ya memang kebiasaan yang tidak manusiawi!
Meskipun pada dua tiga jam ke depan terbesit di pikiran untuk minta dibawain karena lelah teramat sangat, tapi kalau melihat cucuran keringat anak-anak Baduy. Sungguh rasa tidak tega. Pingsan, pingsan deh asal enggak ngerepotin dan buat orang lain menderita.
Sepanjang perjalanan saya sibuk deketin si Sapri. Dibanding orang Baduy Dalam lainnya, Sapri lebih smart dan unik. Jangankan bahasa Indonesia, bahasa inggris sampai bahasa gaul pun dia gape benar. Saya pun dibuat takjub, segera saya gunakan kemampuan menghapal saya untuk menyerap semua informasi dari Sapri soal Baduy. Karena saya tidak mau traveling ini cuma traveling biasa, harus ada ilmu yang harus saya bawa ke Jakarta kemudian saya tulis untuk pembaca setia merdeka.com, hehehe
Tapi saya rada risih karena satu peserta trip, saya lupa namanya, seolah gak mau kalah dia gencar deketin si Sapri dan kerap kali memotong pertanyaan saya. Dongkol jangan ditanya, itu pasti.
Beberapa jam kemudian trekking tersama makin berat kami lewati beberapa hambatan, tanjakan, kerikil, lengkap semuanya. Sampai kadang musti merambat, tersungkur dan sebagainya. Setiap hampir setengah jam sekali kami istirahat. Sampai di satu titik lutut saya benar-benar bergetar sampai tak kuat digerakkan tapi Alhamdulilah kuncinya semangat dan kau pasti bisa melampauinya.
Yang saya salut, teman saya asal pulau seberang ini, benar-benar kuat dan hebat. Tipe petarung sejati heheeh. Langkahnya sigap, nyaris saya  lihat tidak ada kelelahan di mukanya. Takjub!
Kembali lagi ke Sapri, Sapri membagi ceritanya kalau dia punya niat yang besar buat belajar. Di sakunya sudah ada buku cara belajar bahasa Inggris. Ternyata rajin jadi guide dan turun gunung jualan madu buat Sapri menyerap pengaruh luar lebih banyak. Tak ayal kemampuan interpersonalnya lebih baik, humoris dan rada alay hahaha... dia pun kerap kali diminta jadi 'pajangan' budaya orang-orang kota yang mau memperkenalkan Baduy.
Apalagi kalau bukan karena perbedaan cara padang saya dengan orang yang saya titipi buku. Awalnya dia yang juga tour leader saya itu mengatakan siap mengantar buku-buku saya untuk Sapri karena juga mau antar tamu juga ke sana. Saya pun antusias, saya langsung beli beragam buku mengenal Indonesia, ilmu hitung dasar sampai percakapan sederhana bahasa Inggris. Namun buku saya tak pernah sampai, karena dia beranggapan buku-buku saya merusak kearifan lokal mereka. Jadi dia membiarkan Sapri menyerah pada keadaan karena tidak diperbolehkan belajar. Sedih gak?
Masuk ke wilayah Baduy Dalam gerimis turun, jalan yang tadinya terang menjadi gelap lantaran pepohonan semakin lebat dan cahaya matahari malu untuk menyelinap di antaranya. Sepatu saya makin tidak bisa diharapkan, alasnya semakin panas dan licin. Segera saja saya lepas sepatu saya, mirip orang Baduy saya pun berjalan bertelanjang kaki. Kalau mereka bisa masa saya tidak bisa. Eh, keputusan berdasarkan ego terkadang memang tolol, tajamnya kerikil pun sudah gemar menusuk2 kaki hahaha. Sempat menjerit tapi akhirnya terbiasa juga.
Di belakang saya wanita tambun tampak ngos-ngosan, jalannya pun terpincang-pincang. Berkali-kali dia mengeluh tidak sanggup lagi meneruskan perjalanan yang tinggal seperempat jalan. Saya bersama beberapa teman memutuskan menemaninya mengobrol sambil berharap dia akan lupa kalau dia mau menyerah.