Penuangan hukum ke dalam undang-undang tertulis, dalam pandangan hukum Islam sesungguhnya bukan merupakan suatu hal yang baru. Sebab, dalam al-Qur'an sendiri pada dasarnya sangat mendukung dan memperkarsai kehadiran kodifikasi hukum yang berkembang di zaman modern sekarang. Oleh karena itu, lahirnya undang-undang perkawinan yang berlaku bagi seluruh warga negara Republik Indonesia tanggal 2 Januari 1974. Dengan begitu, upaya untuk mendudukkan hukum Islam dan menempatkan pada tempat yang layak dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia, baru berhasil pada tahun 1974 yang ditandai dengan berlakunya UU RI. No. 1 Tahun 1974 yang memposisikan hukum Islam yang sejak lama terkungkung oleh hukum adat dan melepaskan diri dari hukum kolonial.
Adapun penyebarluasan KHI dapat berguna untuk mewujudkan kodifikasi dan unifikasi hukum nasional yang berlaku bagi warga masyarakat. Mengingat mayoritas penduduk beragama Islam, ketentuan-ketentuan hukum yang sudah dirumuskan dalam KHI ini akan diangkat sebagai bahan materi hukum nasional. Pemberlakuan KHI tidak terlepas guna memantapkan berlakunya hukum Islam sesuai dengan ciri khas dan kultur keindonesiaan.
Selanjutnya yaitu perkawinan dalam hukum islam ialah merupakan cara yang dipilih Allah swt. sebagai jalan agar manusia dapat berkembang biak dan melestarikan kehidupan setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Perkawinan dalam hukum Islam, bukan hanya untuk berkumpul menghalalkan pergaulan, hubungan kelamin dan bersetubuh semata, akan tetapi perkawinan adalah terwujudnya nilai luhur dan mulia dalam membentuk keluarga sakinah yang kekal dan bahagia yang terdiri dari bapak, ibu dan anak.
Perspektif UU RI. No. 1 Tahun 1974, definisi perkawinan terdapat dalam Pasal 1 "Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa." Sedangkan Definisi perkawinan dalam KHI Pasal 2 "Perkawinan menurut hukum Islam adalah perkawinan, yaitu akad yang sangat kuat atau misaqan golidan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah".
Setelah memahami pengertian perkawianan maka kita juga harus memahamu tujuan perkawinan yaitu untuk mentaati perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, membentuk keluarga dan meneruskan keturunan dalam menjalani hidup di dunia, mencegah perzinaan agar tercipta keharmonisan, ketenangan dan ketenteraman jiwa bagi yang menikah, keluarga dan masyarakat seluruhnya. Didalam UU RI No. 1 Tahun 1974 dan KHI Pasal 3 juga disebutkan tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam KHI Pasal 3 yaitu "Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga sakinah, mawaddah dan rahmah".
Mengenai prinsip serta asas perkawinan  menurut UU RI. No. 1 Tahun 1974 yaitu :
- Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
- Dalam undang-undang itu dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Di samping itu, tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Undang-undang itu menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan
- Calon suami istri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat diwujudkan perkawinan secara baik tanpa berujung pada perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat.
- Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka undang-undang itu menganut prinsip untuk mempersukar perceraian
- Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.
Dalam perkawinan juga terdapat syarat serta rukunnya, rukun ialah unsur yang melekat pada peristiwa hukum atau perbuatan hukum, baik dari segi subjek hukum maupun objek hukum yang merupakan bagian dari perbuatan hukum ketika itu berlangsung. Jika salah satu unsur perbuatan hukum tidak terpenuhi berakibat perbuatan hukum tersebut tidak sah dan status hukumnya batal. Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan, tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu.
Rukun nikah dalam hukum Islam yang dapat dikemukakan adalah: (1) Calon mempelai laki-laki. (2) Calon mempelai perempuan (3) Wali nikah (4) Saksi nikah (5) Ijab dan kabul.
Syarat Calon mempelai laki-laki.Â
- Beragama Islam.
- Laki-laki.
- Baligh.
- Berakal.
- Jelas orangnya.
- Dapat memberikan persetujuan.
- Tidak terdapat halangan perkawinan, seperti tidak dalam keadaan ihram dan umrah.
Syarat calon mempelai perempuan
- Beragama Islam dan boleh meskipun Yahudi atau Nasrani (pendapat sebagian ulama).
- Perempuan.
- Jelas orangnya
- Dapat dimintai persetujuannya.
- Tidak terdapat halangan perkawinannya (wanita-wanita yang haram dinikahi). 3.
Syarat wali nikahÂ
- Laki-laki
- Dewasa
- Mempunyai hak perwalian t
- Tidak terdapat halangan perwaliannya.
- Syarat saksi nikah
- Minimal dua orang saksi laki-laki.
- Hadir dalam ijab dan kabul.
- Dapat memahami maksud akad.
- Beragama Islam.
- Dewasa.
- Syarat ijab-kabul
- Ada ijab (pernyataan) menikahkan dari pihak wali.
- Ada kabul (pernyataan) penerimaan dari calon suami.
- Memakai kata-kata "nikah", "tazwij" atau terjemahannya seperti "kawin".
- Antara ijab dan kabul bersambung, tidak boleh terputus.
- Antara ijab dan kabul jelas maksudnya.
- Orang yang terkait dengan ijab dan kabul tidak sedang dalam keadaan haji dan umrah.
- Majelis ijab dan kabul harus dihadiri paling kurang empat orang yaitu calon mempelai pria atau wakilnya, wali dan calon mempelai wanita atau wakilnya dan dua orang saksi.