Mohon tunggu...
Mustikha Larasati
Mustikha Larasati Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa Hukum Keluarga Islam - Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengapa Pencatatan Perkawinan Itu Penting?

22 Februari 2023   22:43 Diperbarui: 22 Februari 2023   22:58 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kelompok 6

Ira Sagita Dewi 212121117
Mustikha Larasati 212121133
Refisan Daffa Al Faruq212121136
Muhammad Tsaqif  Hidayat212121139

Abstrak: Jika perkawinan itu tidak didasarkan pada sahnya perkawinan itu sendiri, maka tidak dapat dilakukan perkawinan dengan maksud untuk mewujudkan rumah tangga yang bahagia, tenteram, sakinah, mawaddah wa rahmah. Demikian pula jaminan dan kepastian keluarga yang terbentuk dari perkawinan yang tidak pernah diakui secara sah oleh negara karena tidak pernah tercatat secara administratif justru akan menimbulkan persoalan keluarga. khususnya relevan dengan hak-hak anak dan wanita menikah dengan istri. Hak-hak anak yang berkaitan dengan hukum keluarga, seperti hak atas pelayanan sosial, pendidikan, dan pencatatan kelahiran, akan ditolak sebagai akibat dari perkawinan yang tidak dicatatkan, yang akan mengakibatkan diskriminasi terhadap anak. Demikian pula, perkawinan yang tidak dicatatkan berdampak negatif terhadap peran perempuan sebagai istri karena negara tidak mengakui, peran perempuan sebagai istri sangat lemah dan mereka tidak mendapatkan jaminan atau perlindungan atas hak-haknya dalam perkawinan.Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Adriaan Bedner dan Stijn van Huis menerangkan: "Sebelum tahun 1974, peraturan perkawinan warisan pemerintah kolonial berlaku untuk penduduk Indonesia. Pemerintah kolonial tidak pernah mencoba untuk memaksakan satu undang-undang untuk semua warga negara, malah memilih untuk hanya mengintervensi keluarga hal-hal yang terpaksa dilakukan oleh tekanan dari luar, seperti dari sebuah gereja di Belanda yang menginginkan aturan khusus bagi semua umat Kristiani di Hindia Belanda. Penjelasan Umum UU No 9 juga memuat kekhususan mengenai pluralisme hukum perkawinan No.1 tahun 1974 tentang perkawinan kedua, sebagai berikut: 1. Hukum yang sama berlaku bagi orang Islam pribumi di Indonesia dan telah dimasukkan ke dalam Hukum Adat, 2. Hukum Adat mengatur penduduk asli Indonesia lainnya, 3. Huwelijks menerapkan Ordonatie Christen Indonesia (StbI. 1933, Nomor 74) kepada umat Kristiani yang merupakan penduduk asli Indonesia, 4. Ketentuan KUH Perdata tetap tidak berubah bagi warga negara Tionghoa Timur asing dan warga negara Indonesia kelahiran Tionghoa, 5. Warga negara Indonesia dan individu keturunan asing Timur lainnya mengikuti hukum adat mereka, 6. Kitab Hukum Perdata berlaku bagi warga negara Indonesia keturunan Eropa dan keturunan Eropa secara keseluruhan. Tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selain Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Latar belangkang yang melingkupi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah adanya kemungkinan penyatuan yang sah dan pembentukan kembali yang sah. Upaya penerapan satu hukum nasional yang berlaku bagi semua warga negara disebut penyatuan hukum. Sementara itu, kemungkinan pembentukan kembali yang sah pada hakekatnya dimaksudkan untuk memenuhi keinginan-keinginan pembebasan dari permintaan-permintaan yang ada dan menempatkan pasangan dalam perkawinan pada derajat yang sama, baik dalam hal keistimewaan maupun kewajiban-kewajiban. Dalam buku-buku fikih hampir tidak pernah menyebutkan pencatatan perkawinan, yang sejalan dengan keadaan yang berlaku pada saat fikih itu ditulis. Praktek pemerintah mengatur pencatatan tersebut sesuai dengan epistemologi hukum Islam, yaitu dengan metode istislah atau maslahat. Meskipun baik ayat maupun sunnah tidak mengatur secara formal tentang pendaftaran, namun kandungan manfaat tersebut sesuai dengan perbuatan syara yang menginginkan manfaat bagi orang banyak. Oleh karena itu, Kompendium Hukum Islam menyatakan bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dikeluarkan oleh pencatat nikah.

Abstract: If the marriage is not based on the validity of the marriage itself, then the marriage cannot be carried out with the intention of creating a happy, peaceful, sakinah, mawaddah wa rahmah household. Likewise guarantees and certainty for families formed from marriages that have never been legally recognized by the state because they have never been administratively recorded will in fact cause family problems. particularly relevant to the rights of children and women married to wives. Children's rights related to family law, such as the right to social services, education, and birth registration, will be denied as a result of unregistered marriages, which will result in discrimination against children. Likewise, unregistered marriages have a negative impact on the role of women as wives because the state does not recognize them, the role of women as wives is very weak and they do not get guarantees or protection for their rights in marriage. Before the enactment of Law Number 1 of 1974 concerning Marriage , Adriaan Bedner and Stijn van Huis explain: "Before 1974, the marriage regulations inherited from the colonial government applied to Indonesian residents. The colonial government never tried to impose one law for all citizens, instead choosing to only intervene in family matters that had to be carried out by pressure from outside, such as from a church in the Netherlands who wanted special rules for all Christians in the Dutch East Indies.The General Elucidation of Law No. 9 also contains specifics regarding the pluralism of marriage law No.1 of 1974 concerning second marriages, as follows: 1 The same law applies to Muslims natives in Indonesia and has been included in Customary Law, 2. Customary Law regulates other native Indonesians, 3. Huwelijks implements Ordonatie Christen Indonesia (StbI. 1933, Number 74) to Christians who are native Indonesians, 4. Provisions of the Civil Code remain unchanged for foreign East Chinese citizens and Chinese-born Indonesian citizens, 5. Citizens the Indonesian state and other individuals of Eastern foreign descent follow their customary law. 6. The Civil Code applies to Indonesian citizens of European descent and European descent as a whole. Government Regulation No.1 is promulgated by the executor. concerning the implementation of Law Number 1 of 1974 concerning Marriage. Apart from Presidential Instruction No. 1 of 1991 concerning Compilation of Islamic Law. The background surrounding Law Number 1 of 1974 concerning Marriage is the possibility of legal union and legal re-establishment. Efforts to apply one national law that applies to all citizens of the country are called legal unification. Meanwhile, the possibility of legal re-establishment is essentially intended to fulfill the desires of liberation from existing demands and place partners in marriage at the same level, both in terms of privileges and obligations. Fiqh books almost never mention the registration of marriages, which is in line with the conditions prevailing at the time the fiqh was written. The government's practice of regulating such records is in accordance with the epistemology of Islamic law, namely the istislah or maslahat method. Even though neither the verses nor the sunnah formally stipulate registration, the content of these benefits is in accordance with the actions of the Shari'ah who want benefits for the people. Therefore, the Compendium of Islamic Law states that marriage can only be proven by a marriage certificate issued by a marriage registrar.

Pendahuluan

Sesuai dalam hukum Perkawinan Islam, menikah merupakan ibadad penting untuk mengikuti anjuran Allah. Ikatan suci menentukan pengaturan hidup dua individu yang berbagi banyak perbedaan. Jika perkawinan itu tidak didasarkan pada sahnya perkawinan itu sendiri, maka tidak dapat dilakukan perkawinan dengan maksud demi menjadikan rumah tangga yang bahagia, tenteram, sakinah, dan mawaddah wa rahmah. Maka jaminan dan kepastian keluarga yang terbentuk dari perkawinan yang tidak pernah diakui secara sah oleh negara karena tidak pernah tercatat secara administratif justru akan menimbulkan persoalan keluarga. khususnya relevan terhadap hak anak juga wanita menikah dengan istri. Hak-hak anak berkaitan dengan hukum keluarga, seperti hak atas pelayanan sosial, pendidikan, dan pencatatan kelahiran, akan ditolak karena dampak dari perkawinan tidak tercatat, akan mengakibatkan diskriminasi terhadap anak. Demikian pula, perkawinan yang tidak dicatatkan berdampak negatif terhadap peran perempuan sebagai istri karena negara tidak mengakui, peran perempuan sebagai istri sangat lemah dan mereka tidak mendapatkan jaminan atau perlindungan atas hak-haknya dalam perkawinan.

Pembahasan

Sejarah Pencatatan Perkawinan Sebelum Disahkan Undang-Undang Perkawinan

Ketika belum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengenai Perkawinan, Adriaan Bedner dan Stijn van Huis menerangkan: "Jauh dari tahun 1974, peraturan perkawinan warisan pemerintah kolonial berlaku untuk penduduk Indonesia. Pemerintah kolonial tidak pernah mencoba untuk memaksakan satu undang-undang untuk semua warga negara, malah memilih untuk hanya mengintervensi keluarga hal-hal yang terpaksa dilakukan oleh tekanan dari luar, seperti dari sebuah gereja di Belanda yang menginginkan aturan khusus bagi semua umat Kristiani di Hindia Belanda. Penjelasan Umum UU No 9 juga memuat kekhususan mengenai pluralisme hukum perkawinan No.1 tahun 1974 tentang perkawinan kedua, sebagai berikut:

Hukum yang sama berlaku bagi orang Islam pribumi di Indonesia dan telah dimasukkan ke dalam Hukum Adat,

Hukum Adat mengatur penduduk asli Indonesia lainnya,

Huwelijks menerapkan Ordonatie Christen Indonesia (StbI. 1933, Nomor 74) kepada umat Kristiani yang merupakan penduduk asli Indonesia,

Ketentuan KUH Perdata tetap tidak berubah bagi warga negara asing dan WNI kelahiran Tionghoa,

WNI dan WNA  lainnya mengikuti hukum sesuai dengan adat negara mereka,

Kitab Hukum Perdata berlaku bagi warga negara Indonesia keturunan Eropa dan keturunan Eropa secara keseluruhan.

Jika tujuh Undang-Undang Perkawinan disahkan, maka menjadi empat sistem hukum yaitu hukum kawin adat, perkawinan Islam, Hukum Perdata, juga Orde Kristen Indonesia (HOCI). Karena itu pembahasan mengenai Undang-Undang Perkawinan terfokus pada hal tersebut.

Sejarah Pencatatan Perkawinan Sesudah Disahkan UU Perkawinan

Bertepatan tahun 1974 pada 2 Januari ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai Perkawinan. RUU ini mengenai perkawinan yang diajukan dari pemerintahan tanggal 22 Desember 1973, lalu dilanjutkan pada Sidang Paripurna DPR-RI. Peraturan Pemerintah No.1 diundangkan oleh pelaksana. Mengenai pemberlakuam UU No. 1 Tahun 1974 mengenai Perkawinan. Selain Inpres No. 1 Tahun 1991 bagian Kompilasi Hukum Islam.

Latar belangkang melingkupi Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengenai Perkawinan adalah adanya kemungkinan penyatuan dengan sah juga pembentukan kembali yang sah. Upaya penerapan satu hukum yang berlaku bagi semua warga disebut penyatuan hukum. Sementara itu, kemungkinan pembentukan kembali yang sah pada hakekatnya dimaksudkan untuk memenuhi keinginan-keinginan pembebasan dari permintaan-permintaan yang ada dan menempatkan pasangan di perkawinan pada derajat yang sama, baik mengenai hal keistimewaan maupun kewajiban-kewajiban.

Peraturan hukum pencatatan perkawinan dalam UU Pasal 1 angka 2 UU Perkawinan Tahun 1974 berbunyi sebagai berikut: Setiap perkawinan ditulis sesuai aturan dan UU yang berlaku. Sementara itu, Peraturan Pemerintah Nomor 2 ayat 1 dan 2 memuat rincian tentang lembaga pelaksana pencatatan perkawinan. 9 Tahun 1975, khususnya: 1) Sesuai UU No. 32 tahun 1954 mengenai  Pencatatan Perkawinan, Cerai, dan Rukun, Pegawai Panitera bertanggung jawab atas pencatatan perkawinan bagi pasangan yang seiman. 2) Pendaftaran hubungan bagi orang yang melangsungkan pernikahan sesuai agama dan kepercayan diluar agama Islam, dilakukan Balai Pendaftaran Nikah di kantor perpustakaan umum seperti disinggung pada aturan yang berbeda mengenai pendaftaran perkawinan.

Menurut Pasal 11 Akta Nikah, bukti sahnya peristiwa perkawinan, yaitu:

1) Pasangan suami istri bertandatangan di dalam akte pernikhan yang diberikan Petugas Panitera berdasarkan ketentuan yang berlaku segera setelah perkawinan dilangsungkan. tempat sesuai dengan ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini.

2) Setelah pasangan suami istri bertanda tangan di dalam akta nikah, kedua saksi dan panitera yang hadir dalam perkawinan itu juga menandatanganinya. Jika perkawinan dilakukan menurut agama Islam, wali nikah atau wakilnya juga menandatanganinya.

3) Perkawinan itu dicatat secara resmi dengan menandatangani akta.

Mengapa Pencatatan Perkawinan diperlukan

                 Dalam buku-buku fikih hampir tidak pernah menyebutkan pencatatan perkawinan, yang sejalan dengan keadaan yang berlaku pada saat fikih itu ditulis. Praktek pemerintah mengatur pencatatan tersebut sesuai dengan epistemologi hukum Islam, yaitu dengan cara istislah atau maslahat. Meskipun baik ayat maupun sunnah tidak mengatur secara formal tentang pendaftaran, namun kandungan manfaat tersebut sesuai dengan perbuatan syara yang menginginkan manfaat bagi orang banyak. Oleh karena itu, Kompendium Hukum Islam menyatakan bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dikeluarkan oleh pencatat nikah.

                 Adapun perkawinan yang tidak dicatatkan menurut peraturan yang berlaku, maka perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak mendapat perlindungan hukum negara. Menurut UU No.I Tahun 1974 tugas pencatatan perkawinan yaitu dilatar belakangi masih banyaknya masyarakat di perkotaan yang menikah tanpa registrasi. Walaupun perkawinan yang demikian jelas tidak sesuai bahkan bertentangan dengan hukum negara dan juga sarat, Demikian menciptakan masalah baik bagi pasangan maupun bagi anak yang akan dilahirkan dan itu akan merugikan keluarga yang bersangkutan. Berdasarkan peraturan terkait pencatatan nikah, pada hakikatnya Islam tidak mengharuskan bahwa perkawinan harus dicatat secara administrasi. Namun dalam hukum di Indonesia, yang salah satunya dituangkan dalam KHI, di mana aturan ini telah disepakati sebagai pedoman bagi umat Islam di Indonesia dalam mengatur hubungan muammalat di Indonesia, termasuk masalah perkawinan, telah mengatur secara jelas bahwa perkawinan harus dicatat di Pegawai Pencatat Nikah agar mendapatkan kekuatan hukum.

                 Dalam KHI (Pasal 6) mewajibkan setiap muslim untuk mencatatkan perkawinannya ke catatan sipil agar prinsip mitsaqan ghalidzan seperti yang tercantum dalam Pasal 2 KHI tetap terjaga dalam suatu perkawinan, sehingga tujuan hukum Islam (ghayah altasri) seperti yang tercantum dalam Pasal 5 dapat terwujud untuk kemaslahatan bagi masyarakat (umat). Dengan begitu mencatatkan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan, kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya apabila perkawinan tidak diatur secara jelas melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan akan digunakan oleh pihak-pihak yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain terutama isteri dan anak-anak.

Makna Filosofis, Sosiologis, Religious, dan Yurudis Dalam Pencatatan Perkawinan

Makna Filosofis Pencatatan

                 Makna filosofis perkawinan ialah dilambangkan dengan ikatan sosial, keadilan, keseimbangan, tanggung jawab serta untuk keberlangsungan kehidupan manusia. Maka dari itu pencatatan perkawinan harus dilaksanakan dengan sungguh sungguh, karena berkesinambungan dengan hak hak orang lain. Dalam hal ini keadilan dan kesetaran sangat diperlukan karena semua orang berhak dalam pencatatan perkawinan itu sendiri.

Makna Sosiologis Pencatatan Perkawinan

                 Makna sosiologis ialah makna yang berhubungan dengan sosial. Dalam hal ini kehadiran orang lain sangat diperlukan dalam pencatatan perkawinan. Dengan dicatatatnya perkawinan maka hubungan suami istri mempunyai hak dan kewajiban dalam perkawinannya dan mempunyai hukum yang kuat untuk dipenuhi segala haknya. Dalam perkawinan pun perlu adanya saksi untuk menyaksikan pernikahan kedua belah pihak antara pihak laki-laki dan perempuan agar tidak timbul kesalahan pahaman antar manusia. Dengan di catatnya ini maka tidak timbullah kesalah pahaman itu.

Makna Religious Pencatatan Perkawinan

                 Dalam lingkup spiritualitas perkawinan yaitu suatu ikatan yang sakral serta suci antara laki-laki dan perempuan. Tujuan pencatatan perkawinan pun berguna untuk memelihara hak hak, moral, serta etika dalam kehidupan. Tertuang dalam KHI pasal Pasal 5 menyebutkan "agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954.

Makna Yuridis Pencatatan Perkawinan

                 Dalam administrasi pencatatan perkawinan berguna untuk memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Apabila tidak dicatatatkan maka pernikahan tidaklah memiliki kekuatan hukum serta apabila terjadi adanya penyelewengan terhadap pernikahan maka pihak wanita lah yang kemungkinan akan mendapat kerugian. Dengan demikian melalui pencatatan perkawinan inilah kepastian dan kekuatan hukum memiliki kuasa yang sangat kuat serta dapat dilindungi haknya dengan baik.

Bagaimana menurut pendapat kelompok kalian tentang pentingnya pencatatan perkawinan dan apa dampak yang terjadi bila pernikahan tidak dicatatkan sosiologis, religious, dan yuridis

                 Menurut UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Pasal 1 Perkawinan tersebut berbunyi, "Ikatan Lahir dan Batin Antara Seorang Pria dan Seorang Wanita Sebagai Suami Istri dengan Suatu Tujuan Membentuk Keluarga (Rumah Tangga) yang Bahagia dan Kekal Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Faktor kunci ikatan lahir batin dalam perkawinan ialah perjajian yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama sebagai sahabat dekat Islam.

                 Dalam Pasal 2 Ayat 1 UU Perkawinan disebutkan bahwa "Perkawinan sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan dengan persetujuan mereka". Yang memiliki arti bahwa jika ada perkawinan yang melanggar kesusilaan dan kepercayaan masyarakat, khususnya dalam bidang agama, maka perkawinan tersebut tidaklah sah.

                 Dengan begitu, bangsa tetap harus mengingkari keabsahan perkawinan dalam hal ini dalam hal agama dan penerimaan masyarakat. Oleh karena itu, negara harus kembali mengesahkan keabsahan perkawinan ini menurut pandangan agama dan kepercayaan masyarakat, dalam hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang.

                 Perkawinan dan pencatatan perkawinan ialah suatua hal yang saling berhubungan. Dalam Pasal 2 ayat disebutkan bahwa "Masing-masing pendaftaran menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku". Seluruh keluarga peristiwa yang memiliki implikasi hukum perlu didokumentasikan dan dilestarikan sehingga individu yang terlibat dan pihak berkepentingan lainnya memiliki dokumentasi yang nyata tentang peristiwa itu dan agar kedudukan hukum seseorang ditetapkan seta dibuat jelas.

                 Ketika masalah terkait pernikahan muncul, pembukuan berfungsi untuk menyediakan dokumentasi yang andal, seperti menetapkan kondisi hubungan saat ini.

DAFTAR REFERENSI

Mangku, Dewa Gede Sudika, and Ni Putu Rai Yuliartini. "Diseminasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dalam Peningkatan Kesadaran Hukum Masyarakat Di Desa Sidetapa Terkait Urgensi Pencatatan Perkawinan Untuk Memperoleh Akta Perkawinan." Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha 8, no. 1 (2020): 2.

Zuhrah Fatimah. "Sejarah Hukum Pencatatan Perkawinan Di Inonesia" 1, no. 1 (1974): 303--335.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun