Mohon tunggu...
Moh. Musthofa
Moh. Musthofa Mohon Tunggu... Editor - Professional Worker

Cinta Kedamaian

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hortikultura dan Pesona Guru PAUD #KompasianaDESA

3 Februari 2025   08:35 Diperbarui: 3 Februari 2025   08:35 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Ilustrasi Meta AI

Hujan turun deras saat Roni melangkah di jalanan yang berlumpur. Petir menyambar di kejauhan, memantulkan bayangannya di genangan air. Sesekali, Roni menolah ke samping kanan dan kiri melihat sawah-sawah yang dulu hijau kini sebagian kosong, warung di dekat balai desa sepi, dan pemuda yang dulu sering nongkrong di pos ronda entah ke mana.

Di depan warung kopi satu-satunya yang masih buka, ia melihat wajah familiar. Bagus, sahabatnya sejak kecil, duduk dengan secangkir kopi di tangan.

"Roni?" Bagus terkejut melihatnya.

Roni tersenyum, duduk di seberangnya. "Lama nggak ketemu, Gus. Gimana kabar?"

Bagus menghela napas. "Gini-gini aja. Aku masih di sini, tapi kayaknya nggak lama lagi."

"Mau ke kota?" Roni menebak.

Bagus tertawa kecil, pahit. "Iya. Udah lama nganggur, Ron. Sawah sepi, kerjaan susah. Aku nggak bisa terus-terusan begini."

Roni menatap secangkir kopi di tangannya, berpikir sejenak. "Tapi kalau semua pergi, siapa yang bakal ngurus desa ini?"

Bagus mengangkat bahu. "Kepala desa juga bingung, Ron. Mau bikin lapangan kerja, tapi gimana? Orang hasil tani aja kadang nggak laku. Kita udah coba bertahan, tapi sampai kapan?"

Roni terdiam. Ia tahu Bagus tidak salah. Desa ini menghadapi banyak tantangan: pemuda pergi merantau, lahan pertanian ditinggalkan, bencana banjir makin sering datang, dan listrik sering padam.

Di luar, guntur menggelegar. Seakan menegaskan bahwa badai tak hanya turun dari langit, tapi juga menyelimuti masa depan desa ini.

Keesokan harinya, Roni menemui Kepala Desa Pak Umar. Di kantor desa yang sederhana, ia mengutarakan idenya.

"Pak, kita harus mulai pakai teknologi pertanian yang lebih baik. Hidroponik, sistem irigasi pintar, atau pupuk organik yang bisa meningkatkan hasil panen tanpa merusak tanah."

Pak Umar mengangguk, lalu membuka dokumen di atas mejanya. "Kebetulan, tahun ini dana desa diprioritaskan untuk program ketahanan pangan paling sedikit 20% dengan melibatkan BUM Desa. Saya ingin momentum ini dipakai untuk menciptakan lapangan kerja buat pemuda, bukan sekadar proyek pembangunan."

Roni mendengar dengan seksama.

"Saya berencana membentuk program pertanian terpadu," lanjut Pak Umar. "Kita manfaatkan lahan desa untuk menanam tanaman hortikultura bernilai tinggi dengan sistem pertanian modern. Kita latih pemuda desa untuk mengelolanya. Kalau hasilnya bagus, kita bisa kembangkan jadi usaha berkelanjutan. Selain itu, kita juga bisa mengalokasikan minimal 20% dari Dana Desa untuk mendukung program ketahanan pangan tersebut, agar desa kita bisa swasembada pangan."

Roni berbinar. "Itu ide bagus, Pak! Kita bisa berkolaborasi dengan Dapur Makan Bergizi Gratis, memberikan makanan sehat bagi warga, terutama untuk balita, ibu hamil dan anak-anak sekolah. Kader Posyandu, bidan desa, dan PKK bisa berperan aktif dalam mendata warga yang membutuhkan bantuan."

Pak Umar mengangguk setuju. "Betul. Selain itu, kita akan libatkan BUM Desa untuk mengelola hasil pertanian ini, agar menjadi usaha yang produktif, mandiri dan berkelanjutan. BUM Desa juga bisa membantu distribusi hasil pangan ke pasar atau warga yang membutuhkan."

Beberapa hari kemudian, Roni dan Pak Umar mengumpulkan para pemuda desa dan tokoh masyarakat.

"Kami nggak butuh janji kosong, Pak," ucap seorang pemuda. "Apa jaminannya program ini berhasil?"

Pak Umar menatap mereka dengan serius. "Jaminannya adalah kerja keras kita sendiri. Kalau kalian bertahan di desa dan mau berusaha, kita bisa ubah desa ini jadi lebih baik."

Bagus, yang awalnya hendak merantau, mengangkat tangan. "Saya mau coba, Pak."

Keputusan Bagus memancing yang lain. Beberapa pemuda mulai tertarik. Dengan Dana Desa yang dikelola secara transparan, program pertanian terpadu mulai berjalan. Mereka memanfaatkan lahan kosong untuk menanam cabai, tomat, dan melon dengan sistem irigasi modern. Rumah kompos didirikan untuk membuat pupuk sendiri. Selain itu, Dapur Makan Bergizi Gratis mulai beroperasi, memberikan makanan bergizi kepada warga yang membutuhkan.

Kader Posyandu dan bidan desa bekerja sama untuk memastikan kesehatan ibu hamil dan balita terjaga. PKK membantu menyosialisasikan pentingnya konsumsi makanan sehat, sementara Karang Taruna mulai mengorganisir pelatihan keterampilan bagi pemuda desa. BUM Desa pun menjadi penggerak utama dalam mengelola dan mendistribusikan hasil pertanian untuk memperkuat ketahanan pangan desa.

Namun, ada satu hal yang lebih mengikat hati Bagus. Di sela-sela kegiatan pertanian, ia selalu bertemu dengan Riska, kekasihnya yang sudah lama bersama sejak kecil. Riska adalah seorang guru PAUD di desa ini, dan meski ia tahu betapa beratnya kehidupan di desa, ia tetap mendukung Bagus. "Kamu nggak perlu pergi, Gus," Riska berkata lembut suatu sore setelah mereka berbicara tentang masa depan. "Kita bisa berjuang bersama di sini. Desa ini masih butuh kita."

Bagus yang semula ragu, kini merasa ada harapan. "Aku nggak mau ninggalin kamu, Ris. Aku nggak mau kita terpisah. Tapi gimana caranya biar kita bisa bertahan?"

Riska tersenyum. "Kita mulai dengan hal kecil. Kita ikut bantu program ini. Kita buktikan kalau kita bisa."

Enam bulan setelah program ketahanan pangan dimulai, desa ini mulai terlihat perubahannya. Hasil pertanian meningkat, BUM Desa berhasil menjual hasil pertanian ke pasar, dan warga desa merasakan manfaat dari program Dapur Makan Bergizi Gratis. Suasana di desa menjadi lebih hidup, dengan pemuda-pemuda yang kembali bekerja di lahan pertanian.

Suatu pagi, kedatangan sekelompok pejabat dari Kementerian Desa mengejutkan warga. Mereka datang untuk memantau dan memberi apresiasi atas keberhasilan program ketahanan pangan yang dikelola oleh BUM Desa.

"Kami datang untuk mengucapkan selamat," ucap salah seorang pejabat kementerian. "Program ketahanan pangan yang dikelola oleh BUM Desa ini telah berhasil dan menjadi contoh bagi desa-desa lainnya. Kami akan mempublikasikan ini agar desa-desa lain dapat mengikuti jejak kalian."

Pak Umar dan Roni tersenyum bangga. "Kami hanya menjalankan amanah dan berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga ketahanan pangan desa. Ini adalah kerja keras bersama seluruh masyarakat desa."

Pejabat kementerian mengangguk. "Kami berharap program ini terus berlanjut dan berkembang, sehingga tidak hanya membawa manfaat bagi desa ini, tetapi juga bagi seluruh masyarakat desa lainnya."

Yudi, Pendamping Desa yang selalu mendampingi mereka, mengangguk. "Kami senang bisa berkontribusi dalam perubahan ini. Terima kasih kepada semua pihak yang mendukung."

Warga desa berdiri dengan penuh kebanggaan. Pemuda yang semula ingin merantau kini merasa ada masa depan di desa mereka.

Bagus dan Riska saling berpandangan, senyum mereka tak bisa disembunyikan. Dengan keberhasilan program, mereka memutuskan untuk melangkah lebih jauh. Bagus akhirnya melamar Riska, mengikat janji untuk membangun masa depan bersama di desa yang kini mereka yakini akan lebih baik.

"Aku nggak mau lagi pergi, Riska. Desa ini adalah rumah kita." Ucap Bagus.

Riska tersenyum penuh harapan. "Dan kita akan menjalani ini bersama, Gus."

Di posko darurat setelah banjir, Pak Umar berbicara dengan Roni. "Kita sudah memulai sesuatu yang besar. Sekarang tinggal bagaimana kita menjaga semangat ini."

Roni mengangguk. Ia menatap pemuda-pemuda desa yang kini sibuk membersihkan lahan dan memperbaiki sistem pertanian mereka.

bagus mendekat, tersenyum. "Aku nggak jadi pergi, Ron. Desa ini masih punya harapan."

Roni juga tersenyum. "Iya, Gus. Kita tinggal membuktikan kalau desa ini bisa berdiri di atas kaki sendiri."

Di langit, hujan mulai reda. Matahari perlahan muncul, memberi secercah harapan bagi desa yang tadinya terjebak di persimpangan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun