Begitu juga dengan tingkat penerimaan partai-partai lain terhadapnya.
Sebab, kita juga harus mengakui, bahwa banyak nama-nama yang lebih dulu "harum" dibandingkan Gus AMI, baik sebagai personal ataupun Ketua Umum sebuah partai.Â
Ada Anies, Prabowo, Ganjar, Sandi, Ridwan Kamil, Puan, AHY, Airlangga, dan beberapa tokoh lain yang secara prestasi, kerja, dan profilnya berada di atas Gus AMI.Â
Elektabikitas bisa dikejar. Pada titik tertentu, bahkan bisa dipoles. Jadi ia bukan satu-satunya jawaban, memang.Â
Tapi upaya untuk mendongkrak Gus AMI secara media memerlukan usaha yang ekstra, terutama jika dikaitkan dengan beberapa pengalaman dan kejadian masa lalu yang kurang mengenakkan secara politik dan manajemen isunya.
Memerlukan orang-orang yang membela mati-matian untuk memberikan kebenaran sekaligus pembenaran sehingga ia menjadi satu-satunya pilihan yang paling representatif untuk mewakili suara kelompok tertentu.
Kita tahu, bertahan sampai sekarang adalah sesuatu yang luar biasa bagi Gus AMI sekaligus menunjukkan kekuatan dan kemampuan lobi politiknya yang patut diacungi jempol, tapi justru pada sisi itu yang memerlukan polesan lebih agar Gus AMI benar-benar "terjaga".Â
Kenapa penting? Sebab sebelumnya, jika analisa banyak kalangan benar, bahwa Jokowi memerlukan NU untuk memenangkan kontestasi yang kedua kemarin, mestinya Gus AMI menjadi pilihan terbaik ketika itu.Â
Tapi apa yang terjadi? Tidak demikian. Artinya apa? Tentu ada masalah dengan acceptance masyarakat, tokoh-tokoh politik, serta para penentu dalam partai koalisi terhadap sosok Gus AMI.
Tapi bagaimanapun, Gus AMI memiliki modal yang cukup untuk memoles citra. Ia juga punya posisi untuk berbicara dan mengedepankan kerja.Â
Mestinya modal itu bisa dijadikan alat mengkapitalisasi popularitasnya sehingga lebih disukai dan diterima dan berimplikasi pada menguatnya elektabilitas, pada akhirnya.Â