Mohon tunggu...
Ibnu Abdillah
Ibnu Abdillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - ... kau tak mampu mempertahankan usiamu, kecuali amal, karya dan tulisanmu!

| pengangguran, yang sesekali nyambi kuli besi tua |

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hari Guru, Pentingnya Tanda Jasa dan Apresiasi

25 November 2019   21:36 Diperbarui: 25 November 2019   22:00 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional, sebuah hari bersejarah untuk memupuk kembali rasa cinta, mengingat kembali jasa dan pengabdian, merenungi kembali perjuangan, serta meneladani kembali sosok para guru yang tangguh.

Setiap tahun hari itu diperingati dengan segala gagap dan haru di hati. Namun, apakah keberadaan Hari Guru Nasional sudah memberikan dampak terhadap perbaikan mutu Pendidikan nasional?

Inilah persoalannya, bahwa jangan-jangan Hari Guru Nasional hanya perayaan tanpa perubahan dan cukup menjadi penggembira karena ditetapkan sebagai hari libur nasional.

Tak ada yang perlu diragukan dari peran seorang guru. Tanpa mereka, tak akan ada Pendidikan. Dari kesungguhan dan ketulusan merekalah, lahir banyak ilmuan dan semua orang hebat di negeri ini. Sulit membayangkan wajah negeri ini tanpa peran sosok-sosok luar biasa dari para guru.

Tapi nyatanya, menjadi seorang guru bukanlah tanpa beban. Hingga kini, nasib guru kerap dipertanyakan karena selalu dihadapkan pada kenyataan pahit soal kesejahteraan. Mereka berada dalam situasi dilematis, antara pengabdian dan kebutuhan.

Iwan Fals dalam "Guru Oemar Bakri"nya secara nyelekit berbicara tentang realitas guru. Sosok yang mengasah hati dan otak menjadi seperti Habibie, melahirkan para Menteri. Sepatu dan sepeda butut karena gaji seperti dikebiri. Nasib mereka seperti dilupakan oleh manusia-manusia yang berhasil mereka didik dan "besarkan".

Karena itulah, guru digelari sebagai pahlawan tanpa tanda jasa karena peran dan komitmennya untuk mencerdaskan anak bangsa tak terlalu dihargai oleh negara yang dikelola oleh manusia-manusia yang "lahir" dari rahimnya. Kita masih kerap mendengar soal gaji guru yang tak mencukupi memenuhi kebutuhannya.

Belum lagi gaji guru-guru honorer yang hanya berkisar antara 300 sampai 500 ribu setiap bulan, dan berkali-kali meneriakkan soal pengangkatan menjadi ASN, hingga kini belum terlalu signifikan.

Tak aneh ketika teman saya memilih untuk menjadi TKI ke Malaysia atau Arab Saudi dibandingkan menjadi seorang guru honorer. Tak perlu disalahkan juga ketika teman saya yang lain lebih memilih menjadi kuli bangunan karena dibayar 100 ribu setiap hari dibandingkan menjadi guru honorer sementara hidup dililit hutang.

Ini kenyataan. Di daerah pelosok sana, yang kadang tak pernah dilihat oleh negara, masih banyak ditemukan guru-guru yang menderita. Sebagian menyerah dan sebagian yang lain memilih pasrah.

Mungkin saja tak ada lagi sepatu atau sepeda butut seperti Oemar Bakri yang gajinya dikebiri. Negara sudah memberikan banyak tunjangan, terutama melalui sertifikasi. Gaji ASN Guru barangkali relatif sudah mencukupi.

Tapi yang bisa menikmati "fasilitas" seperti itu hanyalah sepersekian persen dari keseluruhan guru yang jumlahnya tak alang-kepalang. Mereka menunggu, barangkali negara memberikan kabar suka cita tentang penghargaan atas kerja mereka yang bertahun-tahun lamanya.

Sudahlah, guru itu harus ikhlas dan mengabdi tanpa batas. Betul memang. Tapi sangat tidak masuk akal ketika negara menuntut kecerdasan dan pembentukan karakter anak-anak bangsa sementara kesejahteraan guru tidak diperhatikan. Saat kesejahteraan dipertanyakan, konsekuensi logis bagi mereka adalah "ngasong" kemana-mana. 

Mengajar seadanya dan sebisanya karena waktunya lebih banyak disibukkan oleh usahanya dibandingkan mengurus murid-muridnya. Realitas itu ditambah dengan semakin buruknya tayangan-tayangan yang semakin tidak mendidik karena semakin mempertontonkan hedonisme dan pamer kekayaan dan para pelakunya dibayar mahal.

Lalu, marilah kita bayangkan, guru dengan gaji tak seberapa, hanya 300 -- 500 ribu perbulan diminta negara untuk semakin mencerdaskan kehidupan bangsa dan memperbaiki karakter anak-anak bangsa?

Tentu saja, ini bukan hanya soal gaji dan uang karena masih banyak di luar sana yang dengan ikhlas mengajar dan mendidik penuh pengabdian, tapi apa susah dan salahnya memberikan apresiasi dan tanda jasa terhadap perjuangan mereka?

Bagi saya, secara pribadi, diktum guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa semakin tidak relevan ketika dihadapkan pada realitas yang terjadi di lapangan karena negara harus hadir memberikan jawaban. Memberikan bukti bukan hanya sekedar janji manis saat menjelang tahun-tahun pemilihan.

Guru harus lebih diperhatikan secara kesejahteraan karena hal itu sesuai dengan apa yang mereka kerjakan. Jika tidak, negara mestinya tak perlu berharap terlalu banyak terkait perubahan dan kemajuan dalam Pendidikan. Lucu, pengen bayar murah tapi maunya berkualitas.

Selain kesejahteraan, menjadi guru semakin tidak mudah karena dibebani dengan tugas-tugas administratif dari kurikulum yang memberatkan. Guru harus menyusun metode dan target yang ingin dicapai sesuai dengan prosedur dan mekanisme yang sudan ditentukan.

Belum lagi soal ketakutan atas derasnya perubahan karena punishment yang diberikan kerap dilaporkan sebagai tindakan kriminal. Banyak guru yang mulai berpikir ulang untuk memberikan hukuman karena dikaitkan dengan HAM, lalu dilaporkan sebagai tindakan kriminal. Semakin mengerikan bukan?

Menjadi guru adalah menjadi suri teladan karena selain mengajar dan mendidik, guru harus bisa menjadi sosok yang digugu dan ditiru. Maka, menjadi guru bukanlah perkara mudah.

Lalu logika kemajuan Pendidikan seperti apa yang bisa kita capai ketika guru yang memiliki beban berat dan menjadi ujung tombak dalam proses Pendidikan masih disibukkan dengan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, membeli susu dan pempers untuk anak-anaknya, atau sekedar memberikan kebahagiaan pada keluarganya? Ora masuk!

Akhirnya, kita berharap bahwa Hari Guru yang selalu dirayakan setiap tahun tidak hanya menjadi seremonial belaka namun tak berdampak apa-apa terhadap para guru yang berada di pelosok-pelosok sana.

Kita bangga dengan para guru yang tetap ikhlas dan semangat dalam melakukan pengabdian terhadap bangsa dan negara melalui upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memperbaiki karakter generasi penerus kita. Bahkan dalam situasi sulitnya kehidupan, mereka masih mampu mencetak generasi dan anak-anak muda yang istimewa.

Namun kenyataan itu tidak lantas membuat negara alpa dan membiarkan kondisi guru tetap seperti itu adanya. Perlu ada perubahan dan kebijakan yang membahagiakan mereka, terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan. Negara harus hadir untuk memperbaiki itu semua. Jika tidak, maka Hari Guru akan menjadi sia-sia. Tak ada guna.

Selamat Hari Guru Nasional. Kita haturkan rasa cinta, penghormatan, dan penghargaan kita yang setinggi-tingginya kepada para guru yang telah mengajarkan dan mendidik kita dengan begitu hebatnya.

Kita berdoa semoga para guru, terutama yang di pelosok sana, selalu diberikan kesehatan dan kekuatan untuk melakukan pengabdian, sembari kita berharap akan ada setitik cahaya terang yang akan memperindah kehidupan mereka. Semoga.

Salam,
Mustafa Afif
(meski bukan siswa, tapi selamanya adalah murid dari guru-gurunya)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun