Mungkin saja, adegan semalam perlu diperlihatkan lagi kepada Arteria Dahlan, bagaimana jika itu dilakukan oleh orang lain kepada orang tuanya atau adegan itu diperlihatkan kepada anak-anaknya.
Barangkali, karakter Arteria Dahlan tidak seperti itu. Apa yang dialaminya semalam hanyalah laku sementara yang distimulus oleh hal-hal yang membuatnya tidak sabar sekaligus tidak sadar. Sebuah laku tempramen yang tidak permanen.Â
Tapi yang jelas, kita semua telah diingatkan kembali terhadap "daya magis" sebuah prinsip, bahwa "kesopanan lebih tinggi nilainya daripada kecerdasan".Â
Jangan dimaknai cerdas dan pintar itu tidak diperlukan, sebab keduanya tetaplah penting dimiliki seseorang. Tapi akan jauh lebih bernilai ketika semuanya bermuara pada kesopanan, budi, dan akhlakul karimah.
Ini terbukti, bahwa pada akhirnya yang dinilai pada sosok Arteria Dahlan semalam, bukan pada kepintaran, logika, dan penjelasan argumentatifnya, tapi justru adab yang ditunjukkannya.Â
Andai itu dilakukan dengan cara yang lebih baik, benar, lebih sopan, dan dengan terhormat, tentu Arteria Dahlan akan mendapatkan pujian, minimal tepuk tangan, bukan sorakan.
Kita berharap, semua politisi yang menjadi anggota dewan yang terhormat itu menjadi politisi yang memiliki sopan santun dan adab (polite) serta kepalanya yang berisi. Semoga.
Salam
Mustafa Afif
Bukan Orang Beradab, Tapi Terus Belajar Untuk Semakin Beradab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H