Ddan itu termasuk juga adegan di akhir acara dimana ia tidak bersalaman (atau setidaknya pura-pura pasang senyum) kepada Prof. Emil Salim yang telah "dihajarnya" habis-habisan.
Arteria Dahlan, pada acara tersebut, benar-benar tampil sebagai sosok antagonis yang lengkap dan terlihat kapal. Kita juga bisa memerhatikan itu dari tarikan-tarikan nafasnya ketika berbicara untuk membantah atau ketika mendengarkan.Â
Semacam ada hal luar biasa yang ingin mereka muntahkan. Andai bukan di tivi yang disaksikan secara langsung, atau bukan di acara Mata Najwa, mungkin telah ia lakukan semua itu sebagai "pembelaan" atas kebenaran dan ideologi yang diyakininya.
Melihat semua itu, rakyat Indonesia merasa sedih, dan pada sisi tertentu geram dan muak. Kita bisa menyampaikan argumentasi apapun, tapi harus dilakukan dengan cara yang benar. Bahkan sebuah kebenaran pun, harus disampaikan dengan cara yang benar dan terhormat, bukan dengan umpatan.
Apa yang terjadi pada malam itu benar-benar menjadi contoh buruk bagi generasi muda; semakin memperburuk citra anggota dewan yang terhormat; tingkat kepercayaan masyarakat yang semakin sekarat; serta telah matinya adab, sopan santun, serta akhlak terhadap sosok yang lebih tua. Nyeseknya, hal itu dilakukan oleh anggota dewan yang terhormat dan di hadapan banyak orang.
Saya tidak tahu apakah "tafsir" ini sudah ada yang menjelaskan, tapi bagi saya, politisi itu harus memiliki polite (sopan santun) dan isi (keilmuan, pengalaman, dan kemampuan).Â
Politisi itu adalah mereka yang memiliki adab sebagai bekal keterpilihan sekaligus untuk dijadikan percontohan bagi segenap rakyat karena posisi mereka yang terhormat.Â
Politisi juga harus memiliki "isi" di kepalanya, yang dengan itu melahirkan ide dan gagasan untuk kemajuan bangsa dan membela rakyat yang telah memberikannya posisi. Sebuah insight yang saya dapatkan atas kejadian viralnya Arteria Dahlan.
Namun, apapun yang terjadi, hal ini kembali mengingatkan tentang pentingnya akhlak dibandingkan ilmu dan kecerdasan.Â
Menjadi sia-sia jika keilmuan tak dibarengi dengan keadaban, karena ilmu yang dimiliki harusnya menjadi laku positif yang bernilai kebaikan, bukan melahirkan anomali perilaku yang berwujud keburukan.
Tulisan ini, bukanlah sebuah ketidak-sopanan karena rakyat kecil memang berhak untuk menyampaikan kritikan. Saya anggap cara ini benar, setidaknya tidak berlebihan seperti dilakukan oleh Arteria Dahlan dengan diksi, ekspresi, serta intimidasi, dan "merendahkan" lawan bicaranya, bahkan yang lebih tua.Â