Mohon tunggu...
Ibnu Abdillah
Ibnu Abdillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - ... kau tak mampu mempertahankan usiamu, kecuali amal, karya dan tulisanmu!

| pengangguran, yang sesekali nyambi kuli besi tua |

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Menguatnya "Oposisi Jalanan" Lima Tahun ke Depan

6 Oktober 2019   20:31 Diperbarui: 9 Oktober 2019   03:08 895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ribuan mahasiswa memadati Jalan Gerbang Pemuda menuju depan Gedung DPR/MPR, Jakarta, Senin (30/9/2019)). Aksi mahasiswa ini untuk mendesak DPR membatalkan revisi UU KUHP dan UU KPK. (ANTARA FOTO/Reno Esnir/ama)

Konstelasi perpolitikan nasional hampir selesai. Presiden dan Wakil Presiden terpilih sudah dipastikan. Pasangan Jokowi-Maruf, sebagai pemenang Pilpres 2019, tinggal menunggu pelantikan. 

Para penguasa di Senayan juga telah ditentukan ketika Ketua MPR, Ketua DPR, dan Ketua DPD terpilih melalui mekanisme politik yang relatif tidak terlalu gaduh sebagaimana eskalasi politik yang terjadi pada periode sebelumnya.

Artinya, lembaga eksekutif dan legislatif sudah hampir rampung. Rakyat tinggal menunggu kepastian siapa-siapa yang akan menduduki posisi Menteri atau Pejabat Setingkat Menteri, dan akan diumumkan setelah Jokowi-Maruf resmi menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden melalui mekanisme pelantikan dan pengambilan Sumpah Jabatan.

Rakyat hanya bisa penasaran apakah Jokowi-Maruf akan mempergunakan komposisi berdasarkan asas profesionalitas.

Kebutuhan sosok yang tepat untuk membangun dan memajukan bangsa serta memenuhi janji-janji politiknya, atau sebatas mengakomodasi keinginan partai koalisi (bahkan mungkin partai oposisi sebagaimana kabar yang berhembus akhir-akhir ini). 

Semuanya adalah hak prerogatif Presiden, yang pada pelaksanaannya hampir selalu tak bisa dilepaskan dari peran para pembisik (semi-prerogatif).

Namun, kekhawatiran kemudian muncul ketika banyak pihak menduga, bahwa negara ini akan dijalankan dengan cara yang tidak menarik dan tidak asik karena partai koalisi pendukung pemerintah yang sangat dominan di parlemen. 

Padahal, parlemen seharusnya menjadi tempat para oposisi untuk melakukan kritik, kontrol, dan pengawasan terhadap kebijakan dan kinerja pemerintah.

Seperti kita tahu, Ketua DPR akhirnya dijabat oleh Puan Maharani dari PDI-P yang menjadi pengusung dan pendukung utama Jokowi. 

Sementara Ketua MPR, yang awalnya diincar oleh Gerindra, ternyata "diberikan" kepada Bambang Soesatyo dari Golkar, juga partai pengusung dan pendukung Jokowi.

Tak jauh berbeda dengan keduanya, Ketua DPD juga dipegang oleh Lanyalla Matalitti. Sosok kontroversial yang mbalelo terhadap Gerindra lalu menjadi pendukung Jokowi.

Bahkan ia mengeluarkan statement yang sampai saat ini masih diingat dan membekas bagi orang Madura. Ia siap dipotong lehernya kalau Jokowi-Maruf kalah di Madura, dan rupanya Prabowo-Sandi menang mutlak di sana.

Komposisi parlemen yang seperti ini dikhawatirkan tidak akan ada lagi check and balances yang dilakukan terhadap kinerja dan kebijakan pemerintah. 

Wajah parlemen akan lebih tampak seperti "kepanjangan tangan" pemerintah yang kekuatannya tumpul karena tugasnya hanya menganggukkan kepala. Legislatif akan menjadi "sahabat terbaik" pemerintah karena hampir pasti akan selalu "mengiyakan".

Antara partai koalisi dan oposisi tidak berimbang. Jomplang. Sejauh ini, hanya PKS dan PAN yang telah memutuskan untuk menjadi oposisi pemerintah. 

Sementera Gerindra, yang lebih pantas menjadi komandan oposisi sebagaimana sebelumnya, akhir-akhir ini terlihat lebih lunak dan "akomodatif", terlebih keakraban kembali antara Megawati dengan Prabowo serta adanya isu santer soal posisi jatah Menteri.

Begitu juga dengan Demokrat, yang selalu abu-abu; mendekat malu-malu, dijauhi seakan tak mau. Andai pun keempat partai tersebut menjadi oposisi pemerintah, jumlah perolehan suara di Parlemen pun kalah dengan jumlah partai koalisi pemerintah sehingga dalam kebijakan yang meniscayakan sistem voting, mereka akan menjadi "bulan-bulanan".

Artinya, penguasa di eksekutif dan legislatif berasal dari kelompok yang sama. Hampir dipastikan akan selalu mendukung pemerintah dan kebijakannya. 

Pada titik tertentu kondisi ini cukup nyaman bagi pemerintah terutama karena situasi politik yang adem, kondusif, dan terkendali dalam semangat dan tarikan yang sama.

Tapi dalam konteks bernegara ketiadaan oposisi akan menjadikan negara ini dikelola dengan tidak asik karena berpotensi munculnya kesewenang-wenangan dan kekuasaan yang berlebihan. 

Suara kritik hanya muncul dari oposisi, sesekali. Itu pun seperti angin lalu karena tak akan berarti ketika duduk bersama di meja parlemen.

Bernegara menjadi tidak menarik karena oposisi tak berarti dan tak punya nyali. Mereka seperti berjalan di jalan sunyi karena dikeramaian, koalisi lebih diminati. Ada kue kekuasaan bernama kursi dan posisi. "Oposisi telah mati karena the winner takes all", kata Adi Prayitno, Pengamat Politik UIN Jakarta.

Kondisi semacam ini akan membuat tersumbatnya saluran dari kelompok yang tidak sejalan. Sebagai akibatnya, akan muncul oposisi non-parlemen atau yang biasa disebut dengan oposisi jalanan. 

Apa yang terjadi akhir-akhir ini, terutama demo mahasiswa besar-besaran yang mencuat di mana-mana, adalah contoh bagaimana oposisi jalanan itu nyata dan lahir dari sebuah ketidakpuasan. 

Parlemen yang diharapkan menjadi jalan untuk menolak sebuah kebijakan "menyimpang", justru menjadi bagian dari mereka, yang disebut oleh para oposan jalanan itu, sebagai "pengkhianatan" atas kehendak rakyat.

Hal ini juga diamini oleh Lucius Karus dari Formappi, bahwa matinya oposisi menjadi jalan bagi masyarakat sipil untuk menjadi oposisi jalanan. Sebab itulah jalan terakhir untuk demokrasi yang lebih asik. 

Itulah kemewahan yang dimiliki masyarakat sipil untuk menjaga keberlangsungan demokrasi yang menarik karena memungkinkan adanya kritik dan saran terhadap kebijakan yang tidak substantif dan produktif. "Pastikan kebijakan tidak dihasilkan dari proses transaksional yang nantinya menghasilkan UU tak berkualitas," pungkasnya.

Maka melihat realitas politik yang berkembang akhir-akhir ini tidak menutup kemungkinan akan mengakibatkan semakin menguatnya oposisi jalanan hingga lima tahun ke depan. 

Ketika semua saluran sudah tertutup, maka jalanan menjadi cara terhormat untuk menghadapi penguasa ysng tak lagi berpihak pada kepentingan rakyat. 

Demo mahasiswa, pelajar, dan masyarakat sipil lainnya yang terjadi akhir-akhir ini menjadi semacam "permulaan" mengingat ada beberapa kebijakan, kerja, dan Undang-undang yang berpotensi menciptakan kegaduhan karena sama sekali tidak memuaskan dan cenderung mengkhianati kehendak rakyat.

Entahlah bagaimana jalannya proses pemerintahan selama lima tahun ke depan tapi sepertinya andai Charles-Louis de Secondat, Baron de La Brde et de Montesquieu, atau lebih dikenal dengan Montesquieu, masih hidup mungkin ia akan mengernyitkan dahi ketika dihadapkan pada realitas politik, pemerintahan, dan perkembangan demokrasi yang terjadi di Indonesia baru-baru ini karena trias politika yang semu.

Salam,
Mustafa Afif
Kuli Besi Tua

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun