Bahkan ia mengeluarkan statement yang sampai saat ini masih diingat dan membekas bagi orang Madura. Ia siap dipotong lehernya kalau Jokowi-Maruf kalah di Madura, dan rupanya Prabowo-Sandi menang mutlak di sana.
Komposisi parlemen yang seperti ini dikhawatirkan tidak akan ada lagi check and balances yang dilakukan terhadap kinerja dan kebijakan pemerintah.Â
Wajah parlemen akan lebih tampak seperti "kepanjangan tangan" pemerintah yang kekuatannya tumpul karena tugasnya hanya menganggukkan kepala. Legislatif akan menjadi "sahabat terbaik" pemerintah karena hampir pasti akan selalu "mengiyakan".
Antara partai koalisi dan oposisi tidak berimbang. Jomplang. Sejauh ini, hanya PKS dan PAN yang telah memutuskan untuk menjadi oposisi pemerintah.Â
Sementera Gerindra, yang lebih pantas menjadi komandan oposisi sebagaimana sebelumnya, akhir-akhir ini terlihat lebih lunak dan "akomodatif", terlebih keakraban kembali antara Megawati dengan Prabowo serta adanya isu santer soal posisi jatah Menteri.
Begitu juga dengan Demokrat, yang selalu abu-abu; mendekat malu-malu, dijauhi seakan tak mau. Andai pun keempat partai tersebut menjadi oposisi pemerintah, jumlah perolehan suara di Parlemen pun kalah dengan jumlah partai koalisi pemerintah sehingga dalam kebijakan yang meniscayakan sistem voting, mereka akan menjadi "bulan-bulanan".
Artinya, penguasa di eksekutif dan legislatif berasal dari kelompok yang sama. Hampir dipastikan akan selalu mendukung pemerintah dan kebijakannya.Â
Pada titik tertentu kondisi ini cukup nyaman bagi pemerintah terutama karena situasi politik yang adem, kondusif, dan terkendali dalam semangat dan tarikan yang sama.
Tapi dalam konteks bernegara ketiadaan oposisi akan menjadikan negara ini dikelola dengan tidak asik karena berpotensi munculnya kesewenang-wenangan dan kekuasaan yang berlebihan.Â
Suara kritik hanya muncul dari oposisi, sesekali. Itu pun seperti angin lalu karena tak akan berarti ketika duduk bersama di meja parlemen.
Bernegara menjadi tidak menarik karena oposisi tak berarti dan tak punya nyali. Mereka seperti berjalan di jalan sunyi karena dikeramaian, koalisi lebih diminati. Ada kue kekuasaan bernama kursi dan posisi. "Oposisi telah mati karena the winner takes all", kata Adi Prayitno, Pengamat Politik UIN Jakarta.