Mohon tunggu...
Ibnu Abdillah
Ibnu Abdillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - ... kau tak mampu mempertahankan usiamu, kecuali amal, karya dan tulisanmu!

| pengangguran, yang sesekali nyambi kuli besi tua |

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Kenapa Harus Selalu Malaysia?

6 September 2019   10:25 Diperbarui: 6 September 2019   10:55 848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika pertanyaan ini dibuat, tentu pembaca paham, bahwa selain membutuhkan jawaban, pertanyaan ini termasuk pertanyaan retoris untuk menyembunyikan rasa campur aduk yang terjadi berulang-ulang sekaligus sebagai ekspresi kekecewaan atas kekalahan-kekalahan Timnas Indonesia terhadap Timnas Malaysia. Menyakitkan, tentu saja.

Tulisan ini sejatinya sudah dipersiapkan sekira lebih dari sebulan lalu, pasca kekalahan menyakitkan Timnas U18 Indonesia melawan Timnas U18 Malaysia di Semi Final Piala AFF U18. Saya berharap tak melanjutkannya pasca kekalahan itu, berharap tak ada kekalahan lagi, minimal imbang di pertemuan-pertemuan selanjutnya.

Tapi semalam, Timnas Senior Indonesia, lagi-lagi, dipecundangi oleh Timnas Malaysia. Di kandang sendiri. Dalam laga resmi Internasional untuk kualifikasi Piala Dunia 2020. Menang di babak pertama dengan skor 2 - 1, tapi akhirnya takluk dengan cara menyakitkan: kalah 3 - 2 di akhir-akhir menjelang peluit panjang ditiupkan.

Dengan sangat terpaksa, tulisan ini dianggit kembali. Menemukan konteksnya lagi. Sebagai ungkapan rasa kecewa atau mungkin untuk mengaburkan sederet luka.

Oke, tentu kalah-menang itu soal biasa. Soal usaha, doa, dan akhirnya ditentukan oleh nasib. Timnas Indonesia sering kali mengalaminya. Kita harus menikmati bola dengan begitu indahnya, sebagaimana seharusnya. 

Tapi, kenapa harus (selalu) Malaysia yang mengalahkan (beberapa kali menghentikan langkah) Indonesia? Saya, dan mungkin juga jutaan rakyat Indonesia, selalu bertanya-tanya. Tidak hanya sekarang, pertanyaan itu terngiyang cukup lama.

Kenapa harus selalu Malaysia yang mengalahkan Indonesia? Mungkin kita bisa tampil biasa-biasa saja ketika kalah dengan negara lain, tapi ketika Timnas Indonesia dikalahkan oleh Timnas Malaysia, ada kesedihan dan kekecewaan yang berlipat-lipat. Sebab melawan Malaysia adalah saat dimana harga diri bangsa meningkat sedemikian rupa.

Pada tataran yang lebih ekstrim, sebagian kita siap kalah dengan negara manapun, tapi jangan dengan Malaysia. Kita siap kalah dengan skor berapa pun, bahkan dari Papua Nugini ataupun Timor Leste, tapi tolong, jangan dengan Malaysia. 

Itulah yang dirasakan sebagian masyarakat kita mengingat rivalitas dan pertaruhan harga diri yang luar biasa pada setiap pertandingan kedua negara yang saling berdempetan ini.

Dalam sepak bola, Indonesia Vs Malaysia memiliki sejarah panjang. Sejarah itu pulalah yang akhirnya menahbiskan laga keduanya sebagai "El-Clasico Asia Tenggara". Dalam beberapa pertemuan, baik Timnas Senior maupun Junior, selalu menyajikan pertandingan menegangkan. Indonesia selalu menjanjikan, di awal, tapi kemudian di bagian akhir, Malaysia sering kali tampil lebih dominan.

Saya mulai merasakan pertandingan dan persaingan yang begitu tajam itu ketika gelaran Piala AFF pada 2010 silam. Indonesia yang kala itu diperkuat pemain-pemain handal seperti Boas Solossa, Gonzales, Firman Utina, Bustomi, Markus Horison, dan Bambang Pamungkas begitu dielu-elukan. Tampil begitu garang. Melibas semua lawan dengan skor meyakinkan, termasuk Malaysia di babak penyisihan.

Tapi akhirnya, bola memang bundar. Di partai final yang digelar di Stadion Bukit Jalil, Malaysia mampu mempecundangi Indonesia dengan skor telak 3 - 0, sementara di GBK, Indonesia hanya mampu membalas dengan skor 2 - 1. 

Malaysia juara, sementara Indonesia kembali menundukkan muka. Sejak saat itu, saya mulai merasakan rivalitas kedua negara semakin keras, dan sayangnya, pada pertemuan-pertemuan selanjutnya, Indonesia hampir selalu bisa dikalahkan.

Pasca pertandingan itu, sebagai bentuk kekecewaan, berbagai spekulasi dihembuskan. Mulai dari ekspos yang berlebihan, tendensi digiring-giring ke dunia politik-pencitraan, sengaja mengalah, pemain yang dibeli untuk tidak tampil maksimal, perjudian, (termasuk ketika dibahas secara jelas dan lugas pada acara "Mata Najwa : PSSI Bisa Apa" yang berjilid-jilid) dan tentu saja hubungan diplomatik antar kedua negara ikut menjadi perbincangan dan diseret-seret masuk ke lapangan.

Analisa terakhir ini tidak sepenuhnya salah, memang, karena pada kenyataannya, rivalitas dan munculnya istilah musuh bebuyutan muncul dari sejarah panjang soal hubungan diplomatik kedua negara. Sebagai negara yang saling berdekatan, memiliki kesamaan secara kultur dan sosial, wilayah yang langsung berbatasan tentu saja sangat mudah memicu konflik bilateral.

Dulu, Soekarno pernah mengumandangkan teriakan "Ganyang Malaysia" untuk menunjukkan kegerahan atas ulah Malaysia. Dilanjutkan kemudian dengan perebutan beberapa pulau, yang akhirnya Pulau Sipadan, Ligitan, dan blok Ambalat bisa diembat. 

Malaysia pun beberapa kali terlihat "genit" ketika mengakui produk kebudayaan Indonesia sebagai miliknya, seperti Wayang Kulit, Batik, lagu Rasa Sayange, Rendang, Angklung, Reog, Tari Pendet dan Tari Piring, Kuda Lumping yang kemudian memunculkan jargon "Malingsia".

Manuver Malaysia, sebagai sebuah negara, beberapa kali membuat Indonesia gerah karena menjengkelkan. Itulah yang membuat rivalitas kedua negara semakin menajam. Namun, Indonesia-Malaysia selalu bisa tampil asik karena sekaligus bisa bersaudara. 

Hubungan diplomatik keduanya biasa-biasa saja kecuali Malaysia membuat ulah  seperti mengaku-aku dengan tanpa rasa malu atau ketika memperlakukan TKI Indonesia secara tak manusiawi.

Secara jujur, sejak membaca sejarah itu, saya menjadi tak simpatik kepada Malaysia, sebagai sebuah negara dengan kebijakan-kebijakan "genit" dan "nakal". Mungkin juga para pembaca merasakan hal serupa dengan saya. Hubungan diplomatik kadua negara pasang-surut, meski biasanya tak berlarut-larut.

Kenapa hal ini perlu dituliskan? Karena pertemuan Sepak Bola Indonesia Vs Malaysia kerap kali ditarik-tarik pada hal-hal yang sifatnya non-teknis seperti di atas. Itulah kenapa rivalitas keduanya semakin panas, musuh bebuyutan di atas lapangan.

Namun, di atas semua itu, sepak bola adalah sepak bola. Ia meniscayakan teknis, strategi, kebugaran pemain, dan mental. Kita bisa bersaing soal teknis dan strategi di lapangan, tapi sepertinya masih perlu belajar dan memperbaiki diri jika berkaitan dengan kebugaran fisik dan mental. Dua hal itulah yang sering membuat Indonesia keteteran.

Sederhana, pertandingan tadi malam bisa menjadi contoh terbaik bagaimana tenaga dan kebugaran fisik menjadi salah satu penyebab kekalahan Indonesia. Bombardir serangan dari Malaysia, hadir pada separuh babak kedua, dan semakin menggila ketika fisik pemain Indonesia mulai lemah. Adu sprint kalah, umpan-umpan banyak yang salah, konsentrasi antar lini terpecah. Indonesia yang unggul mulai lengah. Sulit mengharapkan fokus di lapangan saat nafas sudah ngos-ngosan.

Itulah yang berhasil dimanfaatkan oleh Malaysia. Kesalahan-kesalahan elementer berhasil dijadikan momentum untuk bangkit. Sementara pada saat yang bersamaan, mental permainan yang menjadi kunci pertahanan mampu dibobol oleh Malaysia. Pemain Indonesia dijadikan kucing-kucingan yang hanya mengandalkan serang balik dengan umpan-umpan lemah tanpa akurasi, sementara Malaysia terus menekan.

Mental ini penting, karena para pemain Indonesia justru lengah pada momen-momen krusial. Dari yang semula unggul menjadi kalah karena lengah. Sementara ketika Malaysia unggul, kita bisa melihat bagaimana "rapuhnya" pemain Malaysia. 

Sekali senggol, jatuh. Permainan didelay. Para pemain Indonesia mudah disulut emosinya, dan itulah yang dimanfaatkan dengan baik oleh Malaysia. Wajar juga, kita yang nonton saja, kadang gak sengaja ikut-ikutan memaki saat pemain Malaysia mulai memperlihatkan strategi permainan ganjen-nya.

Artinya, kita harus mengakui, bahwa rivalitas bebuyutan di atas lapangan yang didukung oleh faktor-faktor non-teknis, juga meniscayakan kemampuan secara teknis. Strategi, kekuatan fisik dan mental para pemain harus benar-benar diperhatikan. Kualitasnya setara, kok. 

Mungkin beberapa pemain Indonesia jauh lebih baik dan menterang. Kita tak bermain dengan negara Eropa atau negara Asia yang langganan masuk piala dunia. Jadi masalah utamanya mungkin ada di dua hal itu: fisik dan mental.

Masalahnya, Malaysia seperti menjadi "kutukan" tersendiri. Hanya Timnas U19 pada 2012 lalu yang mampu membuat kita bangga. Selebihnya, kita hampir selalu ditaklukkan dengan cara-cara yang menyakitkan. 

Entah kenapa permainan Indonesia seperti melemah saat berhadapan dengan Malaysia. Keunggulan hanya bersifat sementara, selebihnya bisa diobok-obok melalui permainan mental yang menjengkelkan.

Lalu, kenapa (harus) selalu Malaysia? Sebagian mungkin ditemukan jawabannya, melalui berbagai analisa. Selebihnya biarkan takdir yang berbicara, sampai kapan "kutukan" itu berakhir dengan sendirinya.

Nyesek. Sakit.

Tapi, kita tetap akan dukung Timnas Indonesia, bagaimanapun menyakitkannya. Meski kalah (berkali-kali) melawan Malaysia, kita tak akan mengancam untuk tidak mendukung, apalagi mendoakan keburukan. 

Kita tidak khawatir dengan kalimat "Hamba khawatir tidak akan ada lagi yang akan mendukungmu", karena kita pasti akan mendukung Timnas kebanggaan kita ini. Apapun, jangan ragukan itu!

Sepakat?

Salam olahraga. Salam sepak bola.
Mustafa Afif,
Kuli Besi Tua

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun