Mohon tunggu...
Ibnu Abdillah
Ibnu Abdillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - ... kau tak mampu mempertahankan usiamu, kecuali amal, karya dan tulisanmu!

| pengangguran, yang sesekali nyambi kuli besi tua |

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Kenapa Harus Selalu Malaysia?

6 September 2019   10:25 Diperbarui: 6 September 2019   10:55 848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sederhana, pertandingan tadi malam bisa menjadi contoh terbaik bagaimana tenaga dan kebugaran fisik menjadi salah satu penyebab kekalahan Indonesia. Bombardir serangan dari Malaysia, hadir pada separuh babak kedua, dan semakin menggila ketika fisik pemain Indonesia mulai lemah. Adu sprint kalah, umpan-umpan banyak yang salah, konsentrasi antar lini terpecah. Indonesia yang unggul mulai lengah. Sulit mengharapkan fokus di lapangan saat nafas sudah ngos-ngosan.

Itulah yang berhasil dimanfaatkan oleh Malaysia. Kesalahan-kesalahan elementer berhasil dijadikan momentum untuk bangkit. Sementara pada saat yang bersamaan, mental permainan yang menjadi kunci pertahanan mampu dibobol oleh Malaysia. Pemain Indonesia dijadikan kucing-kucingan yang hanya mengandalkan serang balik dengan umpan-umpan lemah tanpa akurasi, sementara Malaysia terus menekan.

Mental ini penting, karena para pemain Indonesia justru lengah pada momen-momen krusial. Dari yang semula unggul menjadi kalah karena lengah. Sementara ketika Malaysia unggul, kita bisa melihat bagaimana "rapuhnya" pemain Malaysia. 

Sekali senggol, jatuh. Permainan didelay. Para pemain Indonesia mudah disulut emosinya, dan itulah yang dimanfaatkan dengan baik oleh Malaysia. Wajar juga, kita yang nonton saja, kadang gak sengaja ikut-ikutan memaki saat pemain Malaysia mulai memperlihatkan strategi permainan ganjen-nya.

Artinya, kita harus mengakui, bahwa rivalitas bebuyutan di atas lapangan yang didukung oleh faktor-faktor non-teknis, juga meniscayakan kemampuan secara teknis. Strategi, kekuatan fisik dan mental para pemain harus benar-benar diperhatikan. Kualitasnya setara, kok. 

Mungkin beberapa pemain Indonesia jauh lebih baik dan menterang. Kita tak bermain dengan negara Eropa atau negara Asia yang langganan masuk piala dunia. Jadi masalah utamanya mungkin ada di dua hal itu: fisik dan mental.

Masalahnya, Malaysia seperti menjadi "kutukan" tersendiri. Hanya Timnas U19 pada 2012 lalu yang mampu membuat kita bangga. Selebihnya, kita hampir selalu ditaklukkan dengan cara-cara yang menyakitkan. 

Entah kenapa permainan Indonesia seperti melemah saat berhadapan dengan Malaysia. Keunggulan hanya bersifat sementara, selebihnya bisa diobok-obok melalui permainan mental yang menjengkelkan.

Lalu, kenapa (harus) selalu Malaysia? Sebagian mungkin ditemukan jawabannya, melalui berbagai analisa. Selebihnya biarkan takdir yang berbicara, sampai kapan "kutukan" itu berakhir dengan sendirinya.

Nyesek. Sakit.

Tapi, kita tetap akan dukung Timnas Indonesia, bagaimanapun menyakitkannya. Meski kalah (berkali-kali) melawan Malaysia, kita tak akan mengancam untuk tidak mendukung, apalagi mendoakan keburukan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun