Mohon tunggu...
Ibnu Abdillah
Ibnu Abdillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - ... kau tak mampu mempertahankan usiamu, kecuali amal, karya dan tulisanmu!

| pengangguran, yang sesekali nyambi kuli besi tua |

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Kenapa Harus Selalu Malaysia?

6 September 2019   10:25 Diperbarui: 6 September 2019   10:55 848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tapi akhirnya, bola memang bundar. Di partai final yang digelar di Stadion Bukit Jalil, Malaysia mampu mempecundangi Indonesia dengan skor telak 3 - 0, sementara di GBK, Indonesia hanya mampu membalas dengan skor 2 - 1. 

Malaysia juara, sementara Indonesia kembali menundukkan muka. Sejak saat itu, saya mulai merasakan rivalitas kedua negara semakin keras, dan sayangnya, pada pertemuan-pertemuan selanjutnya, Indonesia hampir selalu bisa dikalahkan.

Pasca pertandingan itu, sebagai bentuk kekecewaan, berbagai spekulasi dihembuskan. Mulai dari ekspos yang berlebihan, tendensi digiring-giring ke dunia politik-pencitraan, sengaja mengalah, pemain yang dibeli untuk tidak tampil maksimal, perjudian, (termasuk ketika dibahas secara jelas dan lugas pada acara "Mata Najwa : PSSI Bisa Apa" yang berjilid-jilid) dan tentu saja hubungan diplomatik antar kedua negara ikut menjadi perbincangan dan diseret-seret masuk ke lapangan.

Analisa terakhir ini tidak sepenuhnya salah, memang, karena pada kenyataannya, rivalitas dan munculnya istilah musuh bebuyutan muncul dari sejarah panjang soal hubungan diplomatik kedua negara. Sebagai negara yang saling berdekatan, memiliki kesamaan secara kultur dan sosial, wilayah yang langsung berbatasan tentu saja sangat mudah memicu konflik bilateral.

Dulu, Soekarno pernah mengumandangkan teriakan "Ganyang Malaysia" untuk menunjukkan kegerahan atas ulah Malaysia. Dilanjutkan kemudian dengan perebutan beberapa pulau, yang akhirnya Pulau Sipadan, Ligitan, dan blok Ambalat bisa diembat. 

Malaysia pun beberapa kali terlihat "genit" ketika mengakui produk kebudayaan Indonesia sebagai miliknya, seperti Wayang Kulit, Batik, lagu Rasa Sayange, Rendang, Angklung, Reog, Tari Pendet dan Tari Piring, Kuda Lumping yang kemudian memunculkan jargon "Malingsia".

Manuver Malaysia, sebagai sebuah negara, beberapa kali membuat Indonesia gerah karena menjengkelkan. Itulah yang membuat rivalitas kedua negara semakin menajam. Namun, Indonesia-Malaysia selalu bisa tampil asik karena sekaligus bisa bersaudara. 

Hubungan diplomatik keduanya biasa-biasa saja kecuali Malaysia membuat ulah  seperti mengaku-aku dengan tanpa rasa malu atau ketika memperlakukan TKI Indonesia secara tak manusiawi.

Secara jujur, sejak membaca sejarah itu, saya menjadi tak simpatik kepada Malaysia, sebagai sebuah negara dengan kebijakan-kebijakan "genit" dan "nakal". Mungkin juga para pembaca merasakan hal serupa dengan saya. Hubungan diplomatik kadua negara pasang-surut, meski biasanya tak berlarut-larut.

Kenapa hal ini perlu dituliskan? Karena pertemuan Sepak Bola Indonesia Vs Malaysia kerap kali ditarik-tarik pada hal-hal yang sifatnya non-teknis seperti di atas. Itulah kenapa rivalitas keduanya semakin panas, musuh bebuyutan di atas lapangan.

Namun, di atas semua itu, sepak bola adalah sepak bola. Ia meniscayakan teknis, strategi, kebugaran pemain, dan mental. Kita bisa bersaing soal teknis dan strategi di lapangan, tapi sepertinya masih perlu belajar dan memperbaiki diri jika berkaitan dengan kebugaran fisik dan mental. Dua hal itulah yang sering membuat Indonesia keteteran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun