Mereka ingin memisahkan diri dari Indonesia, tapi rupanya rakyat Papua kebanyakan masih cinta terhadap Indonesia. Sebab pada saat yang bersamaan ada contoh dan bukti nyata, bahwa merdeka belum tentu membuat lebih baik dan sejahtera. Apalagi beberapa fokus pembangunan mulai diarahkan ke wilayah Timur, dan Papua menjadi sasaran utama. Tentu masih jauh dari harapan, tapi setidaknya, di beberapa wilayah, rakyat Papua mulai bernafas lega.
Gerakan separatisme bersenjata itu kerap mengancam keutuhan bernegara karena bisa berbuat anarkis dan sadis, tidak hanya pada TNI-Polri saja, tapi pada sesama warga Papua yang tidak mendukungnya.Â
Ancaman dan serangan kerap dilakukan, tapi TNI-Polri selalu dapat meredam. Memukul mundur kembali ke hutan-hutan. Masalahnya, gerakan itu tidak berdiri sendiri. Ada pihak ketiga yang suka menungganggi dan selalu ngompor-ngompori.
Kita tentu saja masih ingat ketika beberapa negara mulai mengulik-ulik soal terjadinya pelanggaran HAM di Papua pada forum resmi internasional.Â
Kita juga tidak bisa lupa bagaimana peran beberapa negara terhadap munculnya petisi di PBB. Betul, ada sebagian kecil kelompok yang ingin Papua merdeka dan lepas dari "jajahan" Indonesia, tapi pada saat yang bersamaan ada pihak ketiga yang mengulurkan tangan untuk membantu ketercapaian itu, tentu saja dengan kesepakatan-kesepakatan. Tak ada makan siang gratis, Malih.
Selalu ada tangan-tangan jahat yang bersekutu dengan gerakan-gerakan separatisme di Papua. Siapa? Banyak. Tinggal dicari saja dengan keyword yang benar di Mbah Google. Perjuangan dan pemberontakan itu tidak murah, Malih. Butuh biaya besar dan rencana matang.
Paling mengkhawatirkan dari semua itu adalah adanya kesadaran untuk memulai cara dan taktik baru. Sesekali saja membuat kegaduhan karena dari segi persenjataan dan kekuatan jelas TNI-Polri masih unggul, sisanya: menciptakan kegaduhan tidak dengan senjata melainkan dengan provokasi dan penyebaran isu yang sensitif dan mudah menyulit konflik.Â
Cara ini jelas lebih jenius jika dibandingkan dengan cara lama yang tak mungkin menembus kekuatan pertahanan pasukan Indonesia. Perjuangan mereka mungkin berubah dari konfrontasi fisik menjadi konfrontasi isu yang menguatkan pesan, bahwa Papua sudah tidak diinginkan lagi oleh Indonesia, kecuali wilayahnya dan kekayaan alamnya.
Dari kejadian kemarin, kita bisa melihat bagaimana provokasi dan hoaks bertebaran. Provokasi untuk mengadakan demo besar-besaran yang berkelanjutan melalui selembaran-selembaran, upaya intimidasi dari pihak-pihak tertentu yang membuat khawatir warga pendatang di Papua.Â
Ada foto-foto yang beredar tentang tewasnya warga Papua yang kemudian diklarifikasi sebagai hoaks. Menurut keterangan Kepolisian, rusuh di Manokwari terjadi karena provokasi konten negatif di media sosial.Â
Wajar ketika Kemkominfo membatasi akses internet di Papua, sebab postingan yang benar sekalipun akan menjadi ancaman jika tidak sesuai dengan konteksnya.