Munculnya OPM, KKSB, TPNPB, dll, adalah wujud nyata dari silang-sengkarut yang tak sederhana. Bahkan andai saja Papua semakin sejahtera, masalah itu akan tetap menguntit dan selalu ada. Persoalan itu semakin rumit ketika ada pihak ketiga yang kerjanya ngompor-ngomporin dengan ilusi dan janji-janji surga.
Tentu saja meresahkan. Banyak nyawa menjadi korban dan mengalami penderitaan. Terlalu panjang pesoalan ini jika harus dibahasakan dalam tulisan.
Soal kedua, persekusi dan rasisme. Sebenarnya perilaku seperti itu bukan hal yang baru, sebab diakui atau tidak, Papua seperti menjadi bagian dari NKRI yang dinomer-sekiankan justru oleh anak-anak bangsanya sendiri. Filep Karma menjelaskan dengan lengkap bagaimana rasialisme itu dalam "Seakan Kitorang Setengah Binatang: Rasialisme Indonesia di Tanah Papua".Â
Peristiwa persekusi dan rasisme yang terjadi di Surabaya terhadap mahasiswa dari Papua justru dilakukan oleh (oknum) masyarakat dan "kelompok berseragam". Ada yang menyangkalkannya, tapi dari video yang beredar jelas terlihat bagaimana mereka (oknum itu) ngata-ngatai dengan kata monyet dan kata sejenis yang benar-benar menyakitkan.
Kita menolak terjadinya pelecehan terhadap simbol negara. Sepakat soal itu. Tapi kita semua menyayangkan harus terjadi tindakan represif dari oknum masyarakat terhadap sebuah kejadian yang belum jelas juntrungannya. Belum tentu kebenarannya, hanya berdasarkan informasi liar di dunia maya. Tak ada upaya dialogis. Langsung gruduk dengan upaya-upaya intimidatif dan cenderung main kasar. Mahasiswa Papua sempat ditahan meski kemudian dilepaskan. Di Malang, suasananya diperkeruh dengan pernyataan aneh Wakil Walikota-nya yang bersedia memulangkan mahasiswa Papua
Tentu saja apa yang dilakukan dapat memicu konflik lanjutan. Terbukti, demo besar-besaran terjadi di Jayapura dan Manokwari. Jelas sakit hati. Anak-anak yang menjadi harapan besar untuk masa depan Papua ditahan dan dipersekusi dengan cara main hakim sendiri plus menerima umpatan rasis dari mulut saudaranya sendiri. Wajar kalau mereka marah dan meradang. Nasib sendiri belum tersejahterakan, kerap diacuhkan dalam pergaulan sosial, kekayaan alam dikeruk semakin dalam, hanya ampasnya yang dibagikan, malah diperlakukan secara tidak adil, anarkis, dan rasis.
Terhadap rasisme ini, banyak pihak ikut menyayangkan. Dari perkembangan lini masa media sosial, isu Papua soal rasisme, monyet, dan kerusuhan menjadi tranding. Ada banyak yang peduli, simpati, sekaligus provokasi. Pro-kontra pun terjadi. Ada dukungan, sekaligus ada umpatan dan caci maki.
Tapi yang jauh lebih penting dari itu adalah keniscayaan untuk mewaspadai adanya potensi para penyusup; para penumpang gelap. Ya, penumpang gelap. Mungkin saja mereka yang menciptakan momentum atau bisa juga secara tak sengaja menemukn momentum. Keriuhan berita menjadi tak terkendali. Penyebara hoaks bisa dengan mudah dikonsumsi dan dinikmati. Dianggap benar dan semakin membuat resah jika tak diatasi. Api kemarahan di masing-masing kubu makin tersulut dengan adanya pola-pola penyebaran informasi yang sama: disinformansi dan provokasi.
Darimana melihatnya? Pertama, beberapa saat kemudian ada pihak-pihak tertentu yang memoles keterlibatan beberapa Ormas untuk digoreng sedemikian rupa. Betul, rasisme adalah musuh bersama dan semua yang menjadi pelaku harus ditindak tegas karena ada hukum yang mengaturnya. Tapi narasi yang dibangun kemudian adalah upaya provokatif untuk semakin menegasikan salah satu Ormas yang kini sedang berupaya untuk memperpanjang "nyawanya" melalui legitimasi dan pengakuan dari negara.
Di twitter, saya melihat narasi itu dibangun melalui akun-akun influencer. Konklusinya sama, berujung pada keinginan untuk memunculkan asumsi di masyarakat, bahwa Ormas itu memang tak ada guna. "Tuh, lihatlah apa yang dilakukan mereka!", "Masihkah Ormas seperti itu layak dipertahankan?", dll. Pola yang dimainkan, tentu saja mendapatkan perlawanan. Adu isu dan adu hastag, bahkan sampai sekarang. Jika tak disikapi dengan bijak oleh negara, jelas berpotensi pada semakin runcingnya perbedaan dan polarisasi di kalangan akar rumput.
Kedua, seperti kita tahu, di Papua sudah lama ada gerakan separatisme untuk memerdekakan Papua. Ini bukan hanya soal pembangunan yang timpang, tapi juga soal sejarah dan konflik masa lalu yang berkepanjangan.Â