Beberapa waktu terakhir, Papua menjadi topik utama pemberitaan. Bukan soal pembangunan infrastruktur yang kerap dihembuskan, tapi soal konflik sosial yang kerap terjadi dan dilupakan, dibiarkan. Semua itu terjadi dalam waktu sekejap. Semua mata seakan 'dipaksa' untuk menoleh ke wilayah paling timur sana.Â
Bukan karena patahan surgawi berupa keindahan alam yang mulai jadi jualan, tapi segenap kerumitan, diskriminasi, kekerasan dan rasisme yang terus menimpa rakyat Papua. Tentu, hal ini menjadi hadiah buruk bagi bangsa yang baru merayakan kemerdekaannya yang ke-74 ini.
Kalau kita runut, belum lama ini, terjadi penembakan terhadap salah satu anggota polisi di Puncak, Papua. Briptu Haedar (alm) meregang nyawa.Â
Setelah itu, terjadi penembakan secara sporadis yang dilakukan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) pimpinan Egianus Kogoya. Lagi-lagi, salah satu prajurit TNI AD meninggal atas nama Pratu Panji.Â
Beberapa bulan sebelumnya, KKB juga menembaki karyawan di Trans Papua. Dalam waktu satu tahun terakhir, Papua memanas. Gerakan separatisme semakin berani. Dari semak-semak hutan Papua mereka mengatur posisi, mengawasi situasi, lalu beraksi.
Wapres dan Menhan bahkan meradang dan memerintahkan untuk membalas kelompok yang menjadi bagian dari Organisasi Papua Merdeka (OPM) itu. Dialog gagal, senjata menjadi pilihan. JK menginginkan "serang balik", sedangkan Menhan memerintahkan untuk "hajar betul".Â
Sebuah statement yang oleh sebagian pihak justru dianggap semakin memperkeruh suasana. Benar saja sebab gayung pun bersambut.Â
"Kami tetap lawan. Serang balik. TNI-Polri tidak tahu hutan kami" ucap Sebby Sambom yang mengklaim sebagai juru bicara TPNPB-OPM, sebagaimana dilaporkan Tirto.id.
Lalu yang terbaru dan sangat menyedihkan adalah perilaku rasis dan persekusi terhadap mahasiswa Papua di Semarang, Malang, dan Surabaya yang memicu terjadinya kerusuhan dan aksi turun jalan besar-besaran di Papua, khususnya di Manokwari dan Jayapura. Rasisme itu rupanya tak pernah mati.Â
Nyata ditemukan dan pada titik tertentu seperti "dirayakan". Nyeseknya, rasisme itu dilakukan oleh anak-anak bangsa sendiri yang hanya karena mayoritas mereka seperti berhak untuk diskrimitif dan meneriaki yang berbeda serupa hewan, bukan manusia. Mengerikan sekali bangsa ini, pada akhirnya.
Soal pertama, adalah persoalan klasik yang terus dibawa hingga masa depan. Penyebab konfliknya terlalu rumit. Soal sejarah dan politik. Soal ketimpangan yang dibiarkan berlarut-larut dan seolah "dinikmati". Kekayaan alam yang tergerus, tapi Papua tampak tak terurus.Â
Munculnya OPM, KKSB, TPNPB, dll, adalah wujud nyata dari silang-sengkarut yang tak sederhana. Bahkan andai saja Papua semakin sejahtera, masalah itu akan tetap menguntit dan selalu ada. Persoalan itu semakin rumit ketika ada pihak ketiga yang kerjanya ngompor-ngomporin dengan ilusi dan janji-janji surga.
Tentu saja meresahkan. Banyak nyawa menjadi korban dan mengalami penderitaan. Terlalu panjang pesoalan ini jika harus dibahasakan dalam tulisan.
Soal kedua, persekusi dan rasisme. Sebenarnya perilaku seperti itu bukan hal yang baru, sebab diakui atau tidak, Papua seperti menjadi bagian dari NKRI yang dinomer-sekiankan justru oleh anak-anak bangsanya sendiri. Filep Karma menjelaskan dengan lengkap bagaimana rasialisme itu dalam "Seakan Kitorang Setengah Binatang: Rasialisme Indonesia di Tanah Papua".Â
Peristiwa persekusi dan rasisme yang terjadi di Surabaya terhadap mahasiswa dari Papua justru dilakukan oleh (oknum) masyarakat dan "kelompok berseragam". Ada yang menyangkalkannya, tapi dari video yang beredar jelas terlihat bagaimana mereka (oknum itu) ngata-ngatai dengan kata monyet dan kata sejenis yang benar-benar menyakitkan.
Kita menolak terjadinya pelecehan terhadap simbol negara. Sepakat soal itu. Tapi kita semua menyayangkan harus terjadi tindakan represif dari oknum masyarakat terhadap sebuah kejadian yang belum jelas juntrungannya. Belum tentu kebenarannya, hanya berdasarkan informasi liar di dunia maya. Tak ada upaya dialogis. Langsung gruduk dengan upaya-upaya intimidatif dan cenderung main kasar. Mahasiswa Papua sempat ditahan meski kemudian dilepaskan. Di Malang, suasananya diperkeruh dengan pernyataan aneh Wakil Walikota-nya yang bersedia memulangkan mahasiswa Papua
Tentu saja apa yang dilakukan dapat memicu konflik lanjutan. Terbukti, demo besar-besaran terjadi di Jayapura dan Manokwari. Jelas sakit hati. Anak-anak yang menjadi harapan besar untuk masa depan Papua ditahan dan dipersekusi dengan cara main hakim sendiri plus menerima umpatan rasis dari mulut saudaranya sendiri. Wajar kalau mereka marah dan meradang. Nasib sendiri belum tersejahterakan, kerap diacuhkan dalam pergaulan sosial, kekayaan alam dikeruk semakin dalam, hanya ampasnya yang dibagikan, malah diperlakukan secara tidak adil, anarkis, dan rasis.
Terhadap rasisme ini, banyak pihak ikut menyayangkan. Dari perkembangan lini masa media sosial, isu Papua soal rasisme, monyet, dan kerusuhan menjadi tranding. Ada banyak yang peduli, simpati, sekaligus provokasi. Pro-kontra pun terjadi. Ada dukungan, sekaligus ada umpatan dan caci maki.
Tapi yang jauh lebih penting dari itu adalah keniscayaan untuk mewaspadai adanya potensi para penyusup; para penumpang gelap. Ya, penumpang gelap. Mungkin saja mereka yang menciptakan momentum atau bisa juga secara tak sengaja menemukn momentum. Keriuhan berita menjadi tak terkendali. Penyebara hoaks bisa dengan mudah dikonsumsi dan dinikmati. Dianggap benar dan semakin membuat resah jika tak diatasi. Api kemarahan di masing-masing kubu makin tersulut dengan adanya pola-pola penyebaran informasi yang sama: disinformansi dan provokasi.
Darimana melihatnya? Pertama, beberapa saat kemudian ada pihak-pihak tertentu yang memoles keterlibatan beberapa Ormas untuk digoreng sedemikian rupa. Betul, rasisme adalah musuh bersama dan semua yang menjadi pelaku harus ditindak tegas karena ada hukum yang mengaturnya. Tapi narasi yang dibangun kemudian adalah upaya provokatif untuk semakin menegasikan salah satu Ormas yang kini sedang berupaya untuk memperpanjang "nyawanya" melalui legitimasi dan pengakuan dari negara.
Di twitter, saya melihat narasi itu dibangun melalui akun-akun influencer. Konklusinya sama, berujung pada keinginan untuk memunculkan asumsi di masyarakat, bahwa Ormas itu memang tak ada guna. "Tuh, lihatlah apa yang dilakukan mereka!", "Masihkah Ormas seperti itu layak dipertahankan?", dll. Pola yang dimainkan, tentu saja mendapatkan perlawanan. Adu isu dan adu hastag, bahkan sampai sekarang. Jika tak disikapi dengan bijak oleh negara, jelas berpotensi pada semakin runcingnya perbedaan dan polarisasi di kalangan akar rumput.
Kedua, seperti kita tahu, di Papua sudah lama ada gerakan separatisme untuk memerdekakan Papua. Ini bukan hanya soal pembangunan yang timpang, tapi juga soal sejarah dan konflik masa lalu yang berkepanjangan.Â
Mereka ingin memisahkan diri dari Indonesia, tapi rupanya rakyat Papua kebanyakan masih cinta terhadap Indonesia. Sebab pada saat yang bersamaan ada contoh dan bukti nyata, bahwa merdeka belum tentu membuat lebih baik dan sejahtera. Apalagi beberapa fokus pembangunan mulai diarahkan ke wilayah Timur, dan Papua menjadi sasaran utama. Tentu masih jauh dari harapan, tapi setidaknya, di beberapa wilayah, rakyat Papua mulai bernafas lega.
Gerakan separatisme bersenjata itu kerap mengancam keutuhan bernegara karena bisa berbuat anarkis dan sadis, tidak hanya pada TNI-Polri saja, tapi pada sesama warga Papua yang tidak mendukungnya.Â
Ancaman dan serangan kerap dilakukan, tapi TNI-Polri selalu dapat meredam. Memukul mundur kembali ke hutan-hutan. Masalahnya, gerakan itu tidak berdiri sendiri. Ada pihak ketiga yang suka menungganggi dan selalu ngompor-ngompori.
Kita tentu saja masih ingat ketika beberapa negara mulai mengulik-ulik soal terjadinya pelanggaran HAM di Papua pada forum resmi internasional.Â
Kita juga tidak bisa lupa bagaimana peran beberapa negara terhadap munculnya petisi di PBB. Betul, ada sebagian kecil kelompok yang ingin Papua merdeka dan lepas dari "jajahan" Indonesia, tapi pada saat yang bersamaan ada pihak ketiga yang mengulurkan tangan untuk membantu ketercapaian itu, tentu saja dengan kesepakatan-kesepakatan. Tak ada makan siang gratis, Malih.
Selalu ada tangan-tangan jahat yang bersekutu dengan gerakan-gerakan separatisme di Papua. Siapa? Banyak. Tinggal dicari saja dengan keyword yang benar di Mbah Google. Perjuangan dan pemberontakan itu tidak murah, Malih. Butuh biaya besar dan rencana matang.
Paling mengkhawatirkan dari semua itu adalah adanya kesadaran untuk memulai cara dan taktik baru. Sesekali saja membuat kegaduhan karena dari segi persenjataan dan kekuatan jelas TNI-Polri masih unggul, sisanya: menciptakan kegaduhan tidak dengan senjata melainkan dengan provokasi dan penyebaran isu yang sensitif dan mudah menyulit konflik.Â
Cara ini jelas lebih jenius jika dibandingkan dengan cara lama yang tak mungkin menembus kekuatan pertahanan pasukan Indonesia. Perjuangan mereka mungkin berubah dari konfrontasi fisik menjadi konfrontasi isu yang menguatkan pesan, bahwa Papua sudah tidak diinginkan lagi oleh Indonesia, kecuali wilayahnya dan kekayaan alamnya.
Dari kejadian kemarin, kita bisa melihat bagaimana provokasi dan hoaks bertebaran. Provokasi untuk mengadakan demo besar-besaran yang berkelanjutan melalui selembaran-selembaran, upaya intimidasi dari pihak-pihak tertentu yang membuat khawatir warga pendatang di Papua.Â
Ada foto-foto yang beredar tentang tewasnya warga Papua yang kemudian diklarifikasi sebagai hoaks. Menurut keterangan Kepolisian, rusuh di Manokwari terjadi karena provokasi konten negatif di media sosial.Â
Wajar ketika Kemkominfo membatasi akses internet di Papua, sebab postingan yang benar sekalipun akan menjadi ancaman jika tidak sesuai dengan konteksnya.
Ini hanya analisa. Mungkin benar, tapi bisa jadi salah. Kita bersyukur kondisi di Papua berangsur kondusif. Tidak terjadi tindakan rusuh dan anarkisme berjilid-jilid. Beberapa pandangan tokoh juga ikut mengademkan suasana.Â
Mulai dari Gubernur Papua, bahkan Gubernur Jawa Timur dan Walikota Surabaya sudah meminta maaf kepada warga Papua. Wakil Walikota Malang yang sebelumnya mengeluarkan pernyataan aneh juga ikut meminta maaf.Â
Wapres JK juga menyayangkan hal itu terjadi, maka semuanya harus terbuka. Dijelaskan duduk persoalan dan perkaranya. Menurut JK, rakyat Papua hanya ingin meminta klarifikasi (atas kejadian) dan permintaan maaf (atas sarkasme dan rasisme yang dilakukan).
Tapi apapun dan siapapun, para penumpang gelap itu pastilah pihak yang ingin memecah belah anak-anak bangsa sekaligus tak menginginkan Indonesia yang damai, atau masyarakat Papua hidup dengan tenang. Puluhan tahun kita bisa menanggung beban perbedaan itu.Â
Jangan hanya karena ulah segelintir oknum, kita akan kembali meratapi nasib menjadi bangsa yang terpecah belah. Sebab jika tak ditangani dengan benar, persoalan Papua ini akan memicu munculnya masalah lain di daerah-daerah rawan konflik lainnya.
Kita waspadai para penumpang gelap. Kita lawan rasisme dengan cinta. Damai untuk Indonesia. Papua adalah kita.
Salam,
Mustafa Afif
Kuli Besi Tua
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI