Sebelum ke Madura, kita pergi ke Eropa sejenak untuk membicarakan sedikit soal rasisme dalam sepak bola.
Rasisme (termasuk juga vandalisme, anarkisme) dalam dunia sepak bola tetap menjadi masalah klasik yang tak kunjung usai. Bahkan di Benua Biru sana, tempat sepak bola berkembang, maju, profesional dan dijadikan "kiblat" bagi sepak bola negara lain di dunia, rasisme tetap menjadi momok yang menakutkan.
Slogan-slogan anti rasis seperti Say No To Racisme, No Racism, United Against Racism, Kick Out Racism From Football dan bendera Fair Play yang selalu dikibar-bentangkan tiap pertandingan kerap kali hanya menjadi pemanis tontonan.
Term rasisme hanyalah simplifikasi dari penolakan atas perbedaan yang sifatnya biologis dan alamiah, sebab rasisme tidak hanya berbicara ras (warna kulit) manusia saja tapi juga etnis, status sosial, agama, keyakinan dan kepercayaan, bahkan preferensi politik tertentu, sebagaimana pandangan Rulfhi Pratama. Dalam bentuknya yang paling liar dan banal, rasisme adalah pengingkaran terhadap segala perbedaan.
Adalah Jean Marie yang sempat menghebohkan ketika memberikan komentar, bahwa sepak bola Prancis tidak pantas dihuni oleh pendatang. Padahal, diakui atau tidak sejarah mencatat, bahwa keberhasilan Timnas Prancis selalu ditopang oleh para imigran, dan puncaknya ketika dengan african majoritynya, Prancis menjuarai Piala Dunia 2018. Â
Samuel Eto'o juga pernah menjadi korban rasisme beberapa klub sepak bola Spanyol. Di Italia, ada Lazio yang dikenal sebagai klub sepak bola paling rasis. Aron Winter menjadi korban. Ia mendapatkan cemoohan menyakitkan ketika disebut "Yahudi Negro". Suporter Chelsea menyanyikan lagu rasisme yang mengandung unsur Islamophobia dengan menyebut Mohamed Salah adalah pengebom.
Serupa dengan Pierre-Emerick Aubameyang yang dilempari kulit pisang oleh suporter Tottenham Hotspur, Danil Alves pernah mendapatkan hal serupa. Ia dilempar pisang, sebagai simbol makanan kera, oleh suporter lawan. Sementara di dataran Jerman, Mesut Ozil, mendapatkan perlakuan berlebihan dari suporter yang cenderung mengarah pada silent racism.
Tak hanya suporter, beberapa pemain bahkan menjadi pelaku rasisme di lapangan. Kita, tentu saja masih ingat bagaimana perilaku rasis ditunjukkan oleh Suarez (saat masih di Liverpool) terhadap Patrice Evra (termasuk ketika Phillip Gannon, suporter Liverpool, menirukan gerakan monyet padanya). Patrick Viera juga pernah menjadi korban rasisme verbal dari Sinisa Mihaljovic dengan sebutan "black shit".
Bagaimana respon penerima laku rasisme? Zen RS dalam Simulakra Sepakbola-nya menjelaskan dengan menarik bagaimana pemain menghadapi rasisme yang menimpanya.
Respon Dani Alves barangkali termasuk yang unik dan nyelekit. Ia melawan rasisme dalam bentuk mimikri (peniruan) dengan cara memakan pisang yang dilemparkan.
Perlawanan elegan juga dilakukan oleh Ozil dengan memundurkan diri dari Timnas Jerman, ketika loyalitas dan pengorbanannya untuk negara dipertanyakan dan ia dianggap "kurang Jerman". Statementnya yang menohok adalah "Apakah ini (terkait dengan) Turki? Apakah karena saya Muslim?" dan "Saya orang Jerman ketika kami menang, namun dikatakan imigran ketika kami kalah,". Ozil memilih pergi, saat apa yang dilakukannya serasa tak dihargai.
Cara melawan yang paling nyentrik justru datang dari bocah berusia 19 tahun bernama Moise Kean. Dengan berani ia berhasil mempermalukan suporter Cagliari yang mengejek warna kulitnya dengan gol dan selebrasi menantang: membuka tangannya, melototin yang mengejeknya dengan tanpa satu kata pun! Tatapannya menantang.
Sementara Mario Balotelli, sosok penuh kontroversial dan bengal, mungkin menjadi pemain yang selalu dihantui rasisme. Dari Inggris, ke Italia, hingga ke Prancis, Balotelli secara konsisten mendapatkan perlakuan rasis dari tribune. Konon, pernah suatu ketia ia menagis di bench karena serangan suporter. Pembaca tentu masih ingat ketika suporter Juventus pernah meneriakinya dengan "tidak ada orang Italia berkulit hitam!".
Rasisme juga terjadi disini, di negeri ini. Kita tak bisa lupa ketika suporter Jakarta meneriaki Mbida Messi, pemain Persib, dengan kata "monyet". Kita juga masih ingat ketika Suporter Sriwijaya FC menghina pemain Persipura dengan suara-suara menyerupai suara monyet.
Namun, sependek pengetahuan saya, memang tak terlalu banyak kisah rasisme menghiasi sepak bola di negeri ini sebab sebagian besarnya didominasi oleh vandalisme, anarkisme, serta chants yang menyerang secara verbal. Serangan fisik dan psikis yang mematikan, dan itu tak kalah mengerikan!
Mari kita bergeser ke Madura.
Seperti kita tahu, geliat persepak bolaan di Madura mulai terasa sekira hampir satu dekade belakangan.
Status sebagai penikmat berubah menjadi pelaku ketika Persepam Madura United berhasil menjejakkan kaki di Indonesian Super League (ISL), kasta tertinggi kompetisi sepak bola di Indonesia sebelum berganti nama menjadi Liga 1 sebagaimana sekarang.
Sejak saat itu, sepak bola di Madura mulai hidup. Ketika Persepam Madura United ternyata hanya mampu bertahan selama dua musim, geliat sepak bola di Madura tak padam. Apalagi dengan munculnya Madura United yang saat ini berlaga di Liga 1 dan menjadi salah satu tim menakutkan di Indonesia.
Madura United adalah tim sepak bola yang paling dibanggakan oleh masyarakat Madura (baik yang di Madura, yang di perantauan, dan mungkin bagi "Madura Pendalungan"). Madura United, sebagaimana Persepam Madura United sebelumnya, berhasil "mengganggu" dominasi tim sepak bola Jawa Timur "daratan" seperti Arema Malang, Persela Lamongan, Persebaya Surabaya, Persik Kediri, dan beberapa tim lainnya.
Sebagian kecil orang, mungkin tidak terlalu appreciate karena Madura United dianggap tim yang tidak lahir dari "Rahim" Madura. Sebagaimana kita tahu, Madura United adalah hasil "beli jadi" klub PBR (Pelita Bandung Raya). 0Membeli tim yang sudah jadi lalu "diangkut" ke Madura. Namun, hal itu tak mengurangi kebanggaan mayoritas masyarakat Madura terhadap tim yang saat ini duduk di papan atas klasemen sementara Liga 1.
Hal unik dari Madura United adalah bersatunya semua suporter dari empat Kabupaten di Madura untuk memberikan dukungan. Seperti diketahui, Madura United memiliki suporter fanatik yang terdiri dari 4 elemen suporter dan menamakan dirinya dengan Suporter Madura Bersatu, yaitu Taretan Dhibik (pendukung Persepam Pamekasan), Peccot Mania (pendukung Perrsu Sumenep), Trunojoyo Mania (Truman, pendukung Persesa Sampang), K-Conk Mania (suporter tertua pendukung Perseba Bangkalan).
Sebagai orang Madura, saya merasa sangat bahagia ketika perjalanan sepakbola di Madura berkembang tanpa dihiasi anarkisme. Belum ada ceritanya suporter Madura "perang" dengan supporter manapun.
Sampai beberapa waktu, saya senang suporter Madura tidak mengenal kata musuh bebuyutan sebagaimana Jakarta-Persib, Arema-Persebaya, dll. Suporter Madura United nyaman dengan suporter manapun. Setidaknya tontonan itu mampu mereduksi stereotype yang sekian lama berkembang soal orang-orang Madura yang kerap bikin rusuh, kasar, kaku, dan terbelakang.
Namun, (kita sebut saja oknum) suporter Madura United mulai dimasuki virus mengerikan ketika pada beberapa waktu lalu (20 Juli 2019) melakukan chants (yang dianggap) rasis dan vandal, kata-kata kasar dan sarkas. Pagi penikmat bola, tentu saja ini mengecewakan.
Oknum suporter Madura United melakukan ejekan dengan menyanyikan yeal-yeal penghinaan terhadap Arema Malang. Hal itu diperparah dengan menyalakan flare di tribun penonton saat pertandingan. Dua hal yang merusak. Menyalakan flare, tentu saja mengganggu jalannya pertandingan. Sementara meneriaki, sarkasme verbal, dan ngata-ngatai, mengganggu psikis para pemain dan suporter lawan. 90 menit pertandingan menjadi hal yang mengerikan. Berpotensi menciptakan kegaduhan.
Buntutnya, Madura United didenda 100 juta karena menyalakan flare dan hukuman percobaan bertanding tanpa penonton pada saat menjadi tuan rumah selama dua bulan sampai akhir musim kompetisi tahun 2019. Maksudnya, kalau sekali lagi suporter Madura United berulah, secara otomatis hukuman dua bulan bertanding tanpa penonton itu akan berlaku.
Banyak yang mempertanyakan soal denda itu karena dianggap berlebihan dan terlalu berat. Terutama soal rasis dan vandal yang masih ambigu. Tapi yang jelas itu merugikan. Citra suporter Madura United tercoreng karena perilaku sarkas dan tindakan yang tak perlu dilakukan.
Tak ayal, Sang Presiden, Achsanul Qosasi, meradang dan "mengamuk". Ia menumpahkan kekecewaannya melalui cuitan yang cukup panjang di Twitter. Sebab ini bukan yang pertama. Kekecewaan yang sama pernah ditumpahkan oleh Achsanul Qosasi dua tahun lalu (10 September 2017) ketika oknum suporter Madura United melakukan hal yang sama dan terhadap klub sama.
Suporter Madura United, tak perlu diragukan lagi kecintaannya terhadap Laskar Sape Kerab. Mereka hanya mengekspresikan cinta dengan cara yang salah. Tak hanya salah, kecintaan itu justru merugikan dan hukuman terhadap yang dicintainya.
Sebelumnya, memang ada sedikit friksi antara Arema dengan Madura United, tapi tak sampai pada tahap ekstrim. Biasa saja.
Dalam perjalanannya, tak ada catatan suporter Madura United bebuyutan apalagi gontok-gontokan dengan Aremania. Sebab sejarah mencatat, Aremania justru memiliki "musuh bebuyutan" Bonek (suporter Persebaya Surabaya). Masalahnya, sebagian pendukung Madura United adalah "Separuh Bonek" yang "kembali pulang" ketika Madura memiliki tim yang membanggakan. Itu tak terhindarkan.
Catatan ini bisa dilacak melalui sejarah Surabaya yang dipenuhi oleh orang Madura, terutama di daerah bagian utara. Tapi, di Malang sana, juga banyak orang Madura.
Terlepas dari itu, hal ini harus menjadi pelajaran bagi para Suporter Madura United, bahwa sepak bola itu harus dinikmati dengan sebegitunya. Menikmatinya saat menang, dan tetap setia saat kalah. Tak perlu ada tindakan anarkisme, vandalisme, dan chants kotor untuk menunjukkan rasa cinta terhadap tim kesayangan.
Dalam satu sisi, harus juga diakui suporter Madura United masih termasuk "baru" dalam belantika persepak-bolaan di Indonesia. Semoga apa yang terjadi menjadi pendewasaan.
Suporter Madura United harus ikut terlibat dalam menciptakan persatuan dalam sepak bola. Mereka harus bersahabat dengan suporter tim manapun. Mereka harus menjadi tuan rumah yang baik untuk semua tamu yang datang ke Markas Besar Stadion Ratu Pamelingan, Pamekasan. Mereka harus menjadi tamu yang baik saat bertandang ke rumah lawan. Frasa khas sittong dhere dan taretan dhibik sepertinya harus dihunjamkan kembali.
Mari hentikan. Jangan menjadi kebiasaan.
"Mun gik maksah, ambhu jhek nyungu' bola. Oreng rasis, vandal, tokang ngumir ben tokang ca' nguca'en osa bueng deri Stadion. Ontalagi. Soro mule, jhek berrik labeng. Berarti jiah tak cinta ka Madureh. Benni taretan karena ak sittung dhere"
Akhirnya, rasisme masih tampak nyata, ia tak pernah mati. Rasisme, vandalism, anarkisme adalah racun yang mematikan bagi sepak bola. Sepakbola yang mestinya menyatukan berbagai perbedaan, meleburkan segenap identitas dalam sub-kultur bernama "penikmat sepak bola" justru menjadi begitu mengerikan. Mari kita hentikan, dan suporter Madura United harus berada di garda terdepan.
Salam Sittong Dhere!
Mustafa Afif, Asli Oreng Madureh.
Tulisan ini dimuat di : https://wp.me/pb2yOk-1m
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H