Terlepas dari itu, hal ini harus menjadi pelajaran bagi para Suporter Madura United, bahwa sepak bola itu harus dinikmati dengan sebegitunya. Menikmatinya saat menang, dan tetap setia saat kalah. Tak perlu ada tindakan anarkisme, vandalisme, dan chants kotor untuk menunjukkan rasa cinta terhadap tim kesayangan.
Dalam satu sisi, harus juga diakui suporter Madura United masih termasuk "baru" dalam belantika persepak-bolaan di Indonesia. Semoga apa yang terjadi menjadi pendewasaan.
Suporter Madura United harus ikut terlibat dalam menciptakan persatuan dalam sepak bola. Mereka harus bersahabat dengan suporter tim manapun. Mereka harus menjadi tuan rumah yang baik untuk semua tamu yang datang ke Markas Besar Stadion Ratu Pamelingan, Pamekasan. Mereka harus menjadi tamu yang baik saat bertandang ke rumah lawan. Frasa khas sittong dhere dan taretan dhibik sepertinya harus dihunjamkan kembali.
Mari hentikan. Jangan menjadi kebiasaan.
"Mun gik maksah, ambhu jhek nyungu' bola. Oreng rasis, vandal, tokang ngumir ben tokang ca' nguca'en osa bueng deri Stadion. Ontalagi. Soro mule, jhek berrik labeng. Berarti jiah tak cinta ka Madureh. Benni taretan karena ak sittung dhere"
Akhirnya, rasisme masih tampak nyata, ia tak pernah mati. Rasisme, vandalism, anarkisme adalah racun yang mematikan bagi sepak bola. Sepakbola yang mestinya menyatukan berbagai perbedaan, meleburkan segenap identitas dalam sub-kultur bernama "penikmat sepak bola" justru menjadi begitu mengerikan. Mari kita hentikan, dan suporter Madura United harus berada di garda terdepan.
Salam Sittong Dhere!
Mustafa Afif, Asli Oreng Madureh.
Tulisan ini dimuat di : https://wp.me/pb2yOk-1m
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H