Mohon tunggu...
Mustam Arif
Mustam Arif Mohon Tunggu... Freelancer - Warga

Mustam Arif, penggiat LSM tinggal di Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Money

Kisah Suardi-Masna dan Regenerasi Petani Kakao

22 Mei 2019   15:01 Diperbarui: 22 Mei 2019   15:10 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masnawati di kebun pembibitan kakao miliknya (foto: mustamarif)

Tiga tahun lalu, saya terlibat sebuah riset sosial terhadap para petani kakao. Riset dilaksanakan di beberapa desa di Kabupaten Luwu Timur dan Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Tujuan riset adalah untuk melihat sejauh mana korelasi dinamika sosial dengan para petani kakao. Tetapi jauh dari itu, riset ini juga ingin menjawab keresahan sebuah perusahaan kakao tentang krisis regenerasi petani kakao (coklat).

Banyak anak muda yang ketika mengenyam pendidikan di kota, tidak mau lagi kembali ke desa. Mereka hendak berpaling dari asal-usul mereka sebagai anak petani. Sementara produk kakao menurun. Usia para petani kakao perlahan beranjak tua. Pohon kakao lambat laun jadi tua dan tidak produktif lagi. Sementara generasi muda enggan menjadi petani kakao.

Kurang lebih satu setengah tahun kemudian, saya bersama sebuah tim kecil mewawancarai anak-anak petani di lokasi yang sama. Hanya menemukan sangat sedikit anak-anak petani kakao melanjutkan profesi orangtua mereka. Ada yang terpaksa, karena tidak menemukan lapangan kerja lain. Tetapi masih ada yang sadar ingin menjadi petani kakao, karena ada jaminan memperoleh pendapatan.

Kisah Suardi

Suardi termasuk anak langka. Sebagai anak petani, ia menolak permintaan orantuanya agar kuliah di Makassar. Suardi justru bertekad menjadi petani. Warga Dusun Posintoe, Desa Balai Kembang, Kecamatan Mangkutana, Luwu Timur ini tidak tidak tergiur pendidikan di kota unuk alihprofesi.

Suardi mengelola sendiri dua hektar kebun kakao dan 40 ribu bibit kakao setiap tahun. Kebun itu diambil-alih dari lahan orangtuanya Hasilnya, tiga tahun kemudian Suardi membeli empat hektar tambahan kebun kakao. Tidak hanya itu, anak muda berusia 25 tahun ini juga mendampingi 135 petani kakao di Mangkutana dan Tomoni.

Suardi bercerita, tantangan awal adalah meyakinkan orangtuanya atas pilihannya bertani. Ketika tamat sekolah di SMA Tomoni, ayahnya menghendaki Suardi melanjutkan ke perguruan tinggi.

Tahun 2014, Suardi diajak mengikuti pendidikan dan latihan (diklat) yang dilaksanakan PT Mars Symbioscience Indonesia, sebuah perusahaan kakao multinasional yang mengelola perkebunan kakao di Luwu Timur. Program diklat pengaderan petani dari Mars ini memberi bekal berkebun bagi Suardi dengan predikat Cacao Doctor. Gelar bagi alumnus diklat yang sudah dianggap memiliki kemampuan dan keterampilan memadai dalam budidaya tanaman kakao. Selanjutnya, lepasan diklat ini akan membentuk dan mendampingi kelompok petani kakao.

Meski punya semangat yang tinggi, kendala tak pernah lepas dari Suardi. Di usia yang masih relatif muda, juga menjadi kendala bagi Suardi sebagai pendamping petani. Para petani senior yang merasa banyak pengalaman, memandang sebelah mata kepada anak muda sebagai pendamping.

Tetapi, Suardi tak patah semangat dengan hambatan ini. Ia menempuh strategi lain. Ia menerapkan ilmu yang dimilikinya ke lingkungan keluarga lebih dahulu. Sekira dua tahun, apa yang dilakukan Suardi membuahkan hasil memuaskan. Para petani yang sebelumnya menyepelekan anak ingusan ini, mulai tertarik dan kemudian mengikuti pendampingan.

''Jadi petani itu harus melihat dulu bukti, bukan hanya cerita. Setelah saya berhasil dengan beberapa keluarga, mereka sudah semangat untuk saya dampingi,'' ungkap Suardi dengan mata berkaca-kaca.

Suardi (foto:mustamarif)
Suardi (foto:mustamarif)
Awalnya, implementasi pengetahuan Suardi yang diperolehnya lewat diklat, juga tidak serta-merta diterima orangtuanya. Ia berbeda pemahaman dengan ayahnya, yang punya kemampuan berkebun kakao secara tradisional.  

Misalnya, tentang metode pemangkasan. ''Dari pengetahuan yang saya dapat, pemangkasan ranting atau cabang kakao  dilakukan berdasarkan waktu. Ada pemangkasan ringan setiap minggu atau setiap bulan, dan ada pemangkasan besar untuk produksi buah dilakukan enam bulan sekali. Tetapi, bagi bapak saya, pokoknya kalau musim hujan, harus dipangkas,'' cerita Suardi yang diselingi tawa.

Ketidaksepahaman Suardi dan ayahnya itu berakhir setelah melihat hasil praktik. Dari lahan dua hektar, Suardi dari lahan orangtuanya, bisa menghasilkan produksi biji kakao maksimal dua ton per hektar setiap musim. Harga biji kakao ketika itu antara Rp 30.000 samai Rp 35.000 per kilogram. Sementara biji basah dihargai Rp 11.000 hingga 15.000 per kilogram.

Selain mengelola kebun kakao sendiri dan mendampingi masyarakat, Suardi juga menjual bibit tanaman kakao. Dalam satu tahun ia  menjual kurang lebih 40.000 bibit atau dua kali penjualan masing-masing sekitar 20.000 bibit. Harga rata-rata bibit kakao sambung pucuk saat ini adalah Rp 4.000 per batang.

Dari hasil kebun kakao dan bibit, Suardi membeli empat hektar lahan kebun. ''Sebagai investasi masa depan,'' katanya.  

Kisah Masna

Jika Suardi menolak kuliah karena ingin menjadi petani, lain hanya dengan Masnawati. Cewek kelahiran 16 Desember 1994 yang dipanggil Masna ini meski mengenyam pendidikan tinggi tetapi bertekad menjadi petani.

Sejak duduk di SMK Tomoni, warga Desa Tarengge, Kecamatan Wotu, Kabupaten Luwu Timur ini sudah tak punya pilihan lain. Ditanya mengapa bercita-cita meneruskan jejak orangtua? Alumnus Politeknik Pertanian Pangkep Sulawesi Selatan ini tegas menyatakan bertani adalah bebas menentukan jam kerja dan pendapatan.

Usaha bibit yang dikembangkan di halaman rumah orangtuanya, mampu meraih omset Rp 100 juta setiap tahun. Belum termasuk usaha penjualan pupuk organik dan hasil pengelolaan kebun coklat di lahan orangnya.

Ia pun mengurai cerita tentang obsesinya menjadi petani. Ketika duduk di bangku SMK, Masnah melakukan praktik lapangan di Pusat Riset dan Pabrik Pengolahan Kakao PT Masr Symbioscience Indonesia di Wotu. Berbekal pengetahuan dari praktik lapang ini selama tiga bulan ini, Masnah dan empat temannya lalu berkongsi membuat usaha bibit kakao. Lima sekawan ini bermodal Rp 500.000 hasil saweran masing-masing Rp 100.000.

Dari hasil jualan bibit kakao dengan modal Rp 500.000, mereka memperoleh keuntungan Rp 2.500.000. Keuntungan itu kemudian dibagi masing-masing Rp 500.000. Namun, setelah memperoleh keuntungan awal, usaha patungan itu harus bubar. Empat teman Masna sudah ada yang harus melanjutkan pendidikan, bekerja di tempat lain, dan ada yang menikah.

Masna justru tak mengikuti jejak rekan-rekannya. Berbekal keuntungan bersama Rp 500.000, ia melanjutkan usaha bibit kakao di halaman rumah orangtuanya. Dari hasil penjualan bibit kakao itu, Masnah bisa membiayai kuliahnya di Politeknik Pertanian.

Tamat dari Politani 2016, Masna tak tergiur menjadi pegawai negeri. Ia tetap punya cita-cita menjadi petani.

 Mulai saat itu Masna intens menekuni aktivitas dengan mengelola kebun bibit di halaman rumahnya orangtuanya. Kebun bibit itu menampung 20.000 bibit satu kali kelola. Dalam setahun, Masna mengelola dua periode pembibitan sambung pucuk itu dengan omset penjualan sekitar Rp 100 juta. Dari hasil penjualan tersebut, Masna memperoleh keuntungan antara Rp 40 hingga Rp 60 juta setiap tahun.

Bibit kakao yang dikelola Masna dipasarkan ke petani di berbagai tempat. Selain di Luwu Timur dan Luwu Utara, pembeli juga datang dari berbagai daerah di antaranya, Soppeng, Sidrap, bahkan juga di Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah.

''Kami kadang tidak bisa memenuhi permintaan karena jumlah bibit kami masih terbatas dengan hanya 20.000 batang,'' ungkap Masna.

Selain mengelola bibit kakao, Masna juga mengelola kebun kakao sekitar 1 hektar milik orang tuanya. Tidak hanya itu, Masna juga memasarkan pupuk kandang dari Sidrap. Kotoran ternak ayam itu dibeli dengan harga Rp 17.000 per sak, dan dijual dengan harga Rp 22.000 per sak kepada petani. Setiap bulan Masna menjual 150 sak pupuk kandang yang dipasok langsung penjual dari daerah asalnya ini.

Peluang Regenerasi Petani

Cerita tentang Suardi dan Masna menjadi potret masih ada anak petani yang punya keinginan atau obsesi menjadi petani. Keduanya punya cita-cita tidak sekedar idealisme atau doktrin. Suardi dan Masnah bertekad menjadi petani karena ada peluang dan nilai ekonomi yang bisa menjamin kebutuhan hidup sehari-hari dan masa depan.

Keduanya termotivasi menjadi petani karena ada pelaung berupa pendidikan dan pelatihan dengan metode aplikatif yang diterapkan secara intens, dari Mars Indonesia. Suardi menolak kuliah karena membandingkan prospek kuliah empat atau lima tahun yang ketika lulus belum tentu memperoleh pekerjaan selain bertani. Namun, jika rentang waktu tersebut digunakan untuk bertani, dengan potensi yang tersedia, sudah ada jaminan untuk masa depannya.

Selain keterampilan aplikatif yang diperoleh, keduanya masih punya lahan yang bisa dikelola. Semangat keduanya juga masih kebetulan masih didukung pasar hasil pertanian yang layak. Masih beruntung, di tengah-tengah salah satu masalah besar petani adalah pasar hasil pertanian yang kerap fluktuatif.

Dari cerita ini, untuk membangun regenerasi petani, sebenarnya bukanlah hal yang sulit, ketika ada jaminan, keseriusan pemerintah serta optimisme masyarakat/petani. Ada jaminan pendidikan dan keterampilan aplikatif/inovatif dan riil buat petani. Ada jaminan ketersediaan lahan. Serta paling penting ada jaminan pasar inovatif untuk produk pertanian. *

Tulisan saya yang lain dapat dibaca di sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun