Awalnya, implementasi pengetahuan Suardi yang diperolehnya lewat diklat, juga tidak serta-merta diterima orangtuanya. Ia berbeda pemahaman dengan ayahnya, yang punya kemampuan berkebun kakao secara tradisional. Â
Misalnya, tentang metode pemangkasan. ''Dari pengetahuan yang saya dapat, pemangkasan ranting atau cabang kakao  dilakukan berdasarkan waktu. Ada pemangkasan ringan setiap minggu atau setiap bulan, dan ada pemangkasan besar untuk produksi buah dilakukan enam bulan sekali. Tetapi, bagi bapak saya, pokoknya kalau musim hujan, harus dipangkas,'' cerita Suardi yang diselingi tawa.
Ketidaksepahaman Suardi dan ayahnya itu berakhir setelah melihat hasil praktik. Dari lahan dua hektar, Suardi dari lahan orangtuanya, bisa menghasilkan produksi biji kakao maksimal dua ton per hektar setiap musim. Harga biji kakao ketika itu antara Rp 30.000 samai Rp 35.000 per kilogram. Sementara biji basah dihargai Rp 11.000 hingga 15.000 per kilogram.
Selain mengelola kebun kakao sendiri dan mendampingi masyarakat, Suardi juga menjual bibit tanaman kakao. Dalam satu tahun ia  menjual kurang lebih 40.000 bibit atau dua kali penjualan masing-masing sekitar 20.000 bibit. Harga rata-rata bibit kakao sambung pucuk saat ini adalah Rp 4.000 per batang.
Dari hasil kebun kakao dan bibit, Suardi membeli empat hektar lahan kebun. ''Sebagai investasi masa depan,'' katanya. Â
Kisah Masna
Jika Suardi menolak kuliah karena ingin menjadi petani, lain hanya dengan Masnawati. Cewek kelahiran 16 Desember 1994 yang dipanggil Masna ini meski mengenyam pendidikan tinggi tetapi bertekad menjadi petani.
Sejak duduk di SMK Tomoni, warga Desa Tarengge, Kecamatan Wotu, Kabupaten Luwu Timur ini sudah tak punya pilihan lain. Ditanya mengapa bercita-cita meneruskan jejak orangtua? Alumnus Politeknik Pertanian Pangkep Sulawesi Selatan ini tegas menyatakan bertani adalah bebas menentukan jam kerja dan pendapatan.
Usaha bibit yang dikembangkan di halaman rumah orangtuanya, mampu meraih omset Rp 100 juta setiap tahun. Belum termasuk usaha penjualan pupuk organik dan hasil pengelolaan kebun coklat di lahan orangnya.
Ia pun mengurai cerita tentang obsesinya menjadi petani. Ketika duduk di bangku SMK, Masnah melakukan praktik lapangan di Pusat Riset dan Pabrik Pengolahan Kakao PT Masr Symbioscience Indonesia di Wotu. Berbekal pengetahuan dari praktik lapang ini selama tiga bulan ini, Masnah dan empat temannya lalu berkongsi membuat usaha bibit kakao. Lima sekawan ini bermodal Rp 500.000 hasil saweran masing-masing Rp 100.000.
Dari hasil jualan bibit kakao dengan modal Rp 500.000, mereka memperoleh keuntungan Rp 2.500.000. Keuntungan itu kemudian dibagi masing-masing Rp 500.000. Namun, setelah memperoleh keuntungan awal, usaha patungan itu harus bubar. Empat teman Masna sudah ada yang harus melanjutkan pendidikan, bekerja di tempat lain, dan ada yang menikah.