Masna justru tak mengikuti jejak rekan-rekannya. Berbekal keuntungan bersama Rp 500.000, ia melanjutkan usaha bibit kakao di halaman rumah orangtuanya. Dari hasil penjualan bibit kakao itu, Masnah bisa membiayai kuliahnya di Politeknik Pertanian.
Tamat dari Politani 2016, Masna tak tergiur menjadi pegawai negeri. Ia tetap punya cita-cita menjadi petani.
 Mulai saat itu Masna intens menekuni aktivitas dengan mengelola kebun bibit di halaman rumahnya orangtuanya. Kebun bibit itu menampung 20.000 bibit satu kali kelola. Dalam setahun, Masna mengelola dua periode pembibitan sambung pucuk itu dengan omset penjualan sekitar Rp 100 juta. Dari hasil penjualan tersebut, Masna memperoleh keuntungan antara Rp 40 hingga Rp 60 juta setiap tahun.
Bibit kakao yang dikelola Masna dipasarkan ke petani di berbagai tempat. Selain di Luwu Timur dan Luwu Utara, pembeli juga datang dari berbagai daerah di antaranya, Soppeng, Sidrap, bahkan juga di Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah.
''Kami kadang tidak bisa memenuhi permintaan karena jumlah bibit kami masih terbatas dengan hanya 20.000 batang,'' ungkap Masna.
Selain mengelola bibit kakao, Masna juga mengelola kebun kakao sekitar 1 hektar milik orang tuanya. Tidak hanya itu, Masna juga memasarkan pupuk kandang dari Sidrap. Kotoran ternak ayam itu dibeli dengan harga Rp 17.000 per sak, dan dijual dengan harga Rp 22.000 per sak kepada petani. Setiap bulan Masna menjual 150 sak pupuk kandang yang dipasok langsung penjual dari daerah asalnya ini.
Peluang Regenerasi Petani
Cerita tentang Suardi dan Masna menjadi potret masih ada anak petani yang punya keinginan atau obsesi menjadi petani. Keduanya punya cita-cita tidak sekedar idealisme atau doktrin. Suardi dan Masnah bertekad menjadi petani karena ada peluang dan nilai ekonomi yang bisa menjamin kebutuhan hidup sehari-hari dan masa depan.
Keduanya termotivasi menjadi petani karena ada pelaung berupa pendidikan dan pelatihan dengan metode aplikatif yang diterapkan secara intens, dari Mars Indonesia. Suardi menolak kuliah karena membandingkan prospek kuliah empat atau lima tahun yang ketika lulus belum tentu memperoleh pekerjaan selain bertani. Namun, jika rentang waktu tersebut digunakan untuk bertani, dengan potensi yang tersedia, sudah ada jaminan untuk masa depannya.
Selain keterampilan aplikatif yang diperoleh, keduanya masih punya lahan yang bisa dikelola. Semangat keduanya juga masih kebetulan masih didukung pasar hasil pertanian yang layak. Masih beruntung, di tengah-tengah salah satu masalah besar petani adalah pasar hasil pertanian yang kerap fluktuatif.
Dari cerita ini, untuk membangun regenerasi petani, sebenarnya bukanlah hal yang sulit, ketika ada jaminan, keseriusan pemerintah serta optimisme masyarakat/petani. Ada jaminan pendidikan dan keterampilan aplikatif/inovatif dan riil buat petani. Ada jaminan ketersediaan lahan. Serta paling penting ada jaminan pasar inovatif untuk produk pertanian. *