Selain pengalaman shalat ashar di masjid itu, beberapa minggu sebelumnya saya juga dicurhati seorang teman. Ia mengaku miris ketika menghadiri sebuah arisan keluarga di Makassar.Â
Hadir dalam acara rutin itu adalah ibu-ibu umumnya bukan berpendidikan rendah. Ada PNS. Ada juga dosen. Ada istri pejabat, istri mantan pejabat, bahkan di antaranya ada istri mantan pejabat negara.
Teman saya itu miris karena yang mendominasi obrolan dalam kelompok arisan keluarga itu justru hoax yang tersebar di media sosial. Mereka tampaknya meyakini salah satu calon presiden jika terpilih akan membatasi umat Islam beribadah. Akan melarang azan di mesjid. Akan mengizinkan komunis.Â
Akan mendatangkan tenaga-tenaga kerja asing menggantikan tenaga kerja di Indonesia, terutama tenaga kerja lokal. Dan masih banyak lagi. Teman saya itu prihatin justru karena hoax bisa meyakinkan orang-orang berpendidikan. Nah, bagaimana dengan kalangan masyarakat yang tidak punya pendidikan dan pengetahuan yang memadai.
Energi Buruk Hoax
Apa yang terjadi dengan sejumlah anak di masjid itu merupakan bagian dari dahsyatnya dampak dari energi berita bohong. Hoax menginfiltrasi ke dalam pengalaman kognitif anak-anak. Ini adalah infiltrasi psikologis berbahaya buat anak-anak di bawah umur. Ini akan membangun pengalaman buruk karena jiwa-jiwa yang masih polos terkontaminasi dengan informasi buruk, yang akan terus membekas.
Jika ini terus terpateri, kemungkinan akan menjadi pengalaman buruk yang membentuk karakter mereka kelak. Ketika anak-anak itu terlanjur meyakini seorang calon presiden yang menang dan kemudian calon lain yang dilantik, misalnya. Ini bakal memberi pengalaman buruk tentang ketidakpastian, kebenaran dan etika politik dalam demokrasi.
Perbincangan ibu-ibu di kelompok arisan yang memercayai kabar hoax juga menjadi hal yang ironis. Kejadian ini menggambarkan betapa rapuhnya ketahanan pemahaman individu dan pemahaman kolektif dalam menerima kabar bohong.
Betapa kabar bohong merasuk ke dalam keyakinan sosiologis orang-orang yang cukup berpendidikan. Mungkin dalam lubuk hati mereka, ada rasa ragu dengan kabar-kabar belum tentu benar itu. Tetapi, ketika di dalam pikiran dan perasaan harus bersekutu dengan perasaan fanatisme dukungan, kabar bohong justru berubah menjadi 'senjata' tutur yang menarik.
Debat berbisik di mesjid oleh anak-anak tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah pilpres, tidak terlepas dari anomali kompetisi politik melalaui kabar bohong. Keadaan yang dibentuk oleh hasrat politik, kemudian disebar dalam bentuk hoax. Rakayasa kabar bohong menyebar masif ketika menumpangi sarana berkekuatan dahsyat yang bernama media sosial.
Hari ini hoax lewat media sosial dengan mudah meruntuhkan akal sehat sebagian masyarakat. Dalam momentum politik musiman, hoax tidak sebatas kenakalan personal di ranah bebas media sosial. Buzzer dan produk hoax bahkan menjelma ''industri' musiman dengan target massa dan uang.